KPU dan MK Menentukan
A
A
A
MEMAHAMI pemilihan presiden (pilpres) semata dari perspektif hukum tata negara sebagai cara, tentu beradab, mekanisme yang dipilih bangsa ini dalam mengisi jabatan presiden juga tepat. Tetapi itu masih belum cukup.
Siapa yang akan dipatuhi sebagai satu-satunya figur di dalam tata negara yang membuat berbagai keputusan dalam memerintah dan mengatur bangsa ini juga penting dan harus dipertimbangkan. Itu sebabnya dalam tata negara modern, pilpres juga dipertimbangkan sebagai tata cara sebuah bangsa menyediakan jawaban-jawaban spesifik terhadap masalah-masalah bangsa. Agar diperoleh jawaban kredibel, maka tata cara penyelenggaraannya harus sederhana, juga adil, terbuka, suasana menuju bilik suara asyik, dan suara pemilih terjamin kerahasiaannya.
Ketaatan pada Aturan
Boleh saja orang bicara mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan, plus checks and balances dalam konteks relasi antarfungsi ketiga organ -eksekutif, legislatif dan yudikatif- tetapi harus diakui kedigdayaan organ presiden melebihi fungsi dua organ lain. Karena sifat dan jangkauan fungsi yang disandangnya itu kekuasaan ”presiden” merangsang banyak orang, khususnya politisi dan pengusaha. Mereka selalu terbakar rindu menggapainya. Tetapi, tentu bukan karena soal itu semata, yang mengakibatkan pemilu presiden mesti diberi sifat normatif. Pelembagaannya ke dalam serangkaian aturan, yang kelak melahirkan tatanan dan atau sistem politik yang adil adalah perkara yang tidak bisa ditawar.
Aturan-aturan yang menjadi hal terpenting dalam sistem pemilu itu, yang tidak lain merupakan respons atas pengalaman demi pengalaman sebelumnya, karena dihasilkan oleh politisi, acap terlalu rumit untuk hal tertentu, tetapi longgar untuk hal lainnya. Selalu, sebagaimana biasa, hukum pada umumnya, hukum pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena yang dihadapi bukanlah para filsuf -mereka yang arif dan bijak- melainkan politisi, yang kerap sangat konyol, kelemahan hukum pemilu itu, bukannya ditutupi dengan tindak tanduk etis dan bijak, melainkan memanfaatkannya untuk keuntungan diri, kelompok atau golongan masing-masing. Itulah soalnya.
Meminta elektoral organ, misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), saja yang menaati hukum pemilu, jelas tidak keliru, tetapi tidak cukup masuk akal. Kehebatan, bukan hanya hukum pemilu, melainkan sistem pemilu, plus implementasinya terletak pada kepatuhan semua pihak pada hukum pemilu itu secara sukarela. Para capres, termasuk partai politik yang mencalonkan mereka, yang menundukkan diri secara sukarela, tentu tanpa syarat pada hukum pemilu, adalah cara terhebat menghidupkan sistem pemilu dan menaikkan derajat demokratik bangsa itu.
Hanya KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah satu-satunya organ konstitusi, yang diberi kewenangan menyelenggarakan pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota legislatif maupun presiden. Kewenangan ini bersifat monopolistik, karena konstitusi tidak membaginya dengan organ lain, apa pun dan mana pun di Indonesia. Karena sifatnya yang monopolistik itulah, jangkauan kewenangan organ ini pun demikian luasnya. Mengawalinya dengan merencanakan penyelenggaraan pemilu dan mengakhirinya dengan pernyataan hukum tentang perolehan suara, dan siapa yang terpilih menjadi presiden, itulah medan kewenangan KPU.
Kapan mencoblos surat suara, siapa yang mencetak surat suara, kapan perhitungan di tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, KPU kota, kabupaten, provinsi dan nasional, semuanya menjadi kewenangan KPU. Hebatnya kewenangan itu, sekali lagi, karena telah disifatkan oleh pasal 22E UUD 1945, tidak dibagi kepada organ lain, apapun organ itu, dengan atau untuk alasan apapun, dan dalam keadaan apapun. Apa konsekuensinya? Semua tindakan hukum yang dilakukan oleh organ lain di luar KPU tentang, misalnya menyatakan bahwa capresnya memperoleh suara terbesar, tidak bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang sah.
Pada titik itu, pernyataan Megawati, Jokowi dan Jusuf Kalla tak lama setelah pencoblosan surat suara, yang seolah-olah memperoleh suara terbanyak, dan menjadi pasangan terpilih pada pemilu kali ini menarik. Dari segi waktu, jangankan di tingkat kecamatan, di tingkat desa sekali pun, KPU belum selesai melakukan rekapitulasi perolehan suara semua pasangan calon. Bagaimana nalar hukum kemenangan itu? Dari mana keadaan hukum -kemenangan- itu berasal dan diperoleh? Jelas pernyataan ini tidak memiliki nilai hukum, tidak juga menimbulkan akibat hukum, misalnya, menimbulkan hak bagi pasangan ini menyandang status sebagai pasangan capres terpilih.
Haruskah disayangkan tindakan hukum itu? Sudahlah, bila pun tindakan hukum terasa mengurangi cita rasa demokratis dalam konstitusionalisme pemilu kali ini, terimalah tindakan hukum itu sekadar sebagai kembang-kembang pesta yang sangat damai kemarin. Bila ada sedikit kekeliruan dalam pemilu ini, Amerika Serikat, yang demokrasinya kadang dipuji setinggi langit itu, juga memiliki banyak cerita serupa. Bahkan tatanannya menjadi penghalang kesetaraan untuk jangka waktu yang lama. Apa yang terjadi di Florida kala George W Bus berhadapan dengan Al Gore adalah salah satu contohnya.
Tetapi luka itu diselesaikan di Mahkamah Agung, (Grier Steven, 2001). Mengagumkan, republik ini memiliki Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 diketahui MK adalah satu-satunya organ konstitusi yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu presiden. Sama halnya dengan KPU, kewenangan MK pun tidak didelegasikan ke organ lain, apa pun itu, dalam keadaan apa pun, dan untuk alasan apa pun. Hebatnya pula, tidak ada organ lain, apa pun organ itu, yang dapat menangguhkan penggunaan kewenangan MK.
Nantikanlah tanggal 22 Juli, tanggal pleno rekapitulasi perolehan suara secara nasional resmi KPU. Pada tanggal ini, akan jelas secara hukum siapa di antara dua pasangan capres yang memperoleh suara terbanyak. Akankah ada sengketa? Semoga tidak. Namun bila pun ada, MK-lah yang memutuskannya, bukan lembaga survei. Cara menyelesaikan sengketa pemilu ini adalah penanda terbaik atas derajat keberadaban republik tercinta ini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
Siapa yang akan dipatuhi sebagai satu-satunya figur di dalam tata negara yang membuat berbagai keputusan dalam memerintah dan mengatur bangsa ini juga penting dan harus dipertimbangkan. Itu sebabnya dalam tata negara modern, pilpres juga dipertimbangkan sebagai tata cara sebuah bangsa menyediakan jawaban-jawaban spesifik terhadap masalah-masalah bangsa. Agar diperoleh jawaban kredibel, maka tata cara penyelenggaraannya harus sederhana, juga adil, terbuka, suasana menuju bilik suara asyik, dan suara pemilih terjamin kerahasiaannya.
Ketaatan pada Aturan
Boleh saja orang bicara mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan, plus checks and balances dalam konteks relasi antarfungsi ketiga organ -eksekutif, legislatif dan yudikatif- tetapi harus diakui kedigdayaan organ presiden melebihi fungsi dua organ lain. Karena sifat dan jangkauan fungsi yang disandangnya itu kekuasaan ”presiden” merangsang banyak orang, khususnya politisi dan pengusaha. Mereka selalu terbakar rindu menggapainya. Tetapi, tentu bukan karena soal itu semata, yang mengakibatkan pemilu presiden mesti diberi sifat normatif. Pelembagaannya ke dalam serangkaian aturan, yang kelak melahirkan tatanan dan atau sistem politik yang adil adalah perkara yang tidak bisa ditawar.
Aturan-aturan yang menjadi hal terpenting dalam sistem pemilu itu, yang tidak lain merupakan respons atas pengalaman demi pengalaman sebelumnya, karena dihasilkan oleh politisi, acap terlalu rumit untuk hal tertentu, tetapi longgar untuk hal lainnya. Selalu, sebagaimana biasa, hukum pada umumnya, hukum pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena yang dihadapi bukanlah para filsuf -mereka yang arif dan bijak- melainkan politisi, yang kerap sangat konyol, kelemahan hukum pemilu itu, bukannya ditutupi dengan tindak tanduk etis dan bijak, melainkan memanfaatkannya untuk keuntungan diri, kelompok atau golongan masing-masing. Itulah soalnya.
Meminta elektoral organ, misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), saja yang menaati hukum pemilu, jelas tidak keliru, tetapi tidak cukup masuk akal. Kehebatan, bukan hanya hukum pemilu, melainkan sistem pemilu, plus implementasinya terletak pada kepatuhan semua pihak pada hukum pemilu itu secara sukarela. Para capres, termasuk partai politik yang mencalonkan mereka, yang menundukkan diri secara sukarela, tentu tanpa syarat pada hukum pemilu, adalah cara terhebat menghidupkan sistem pemilu dan menaikkan derajat demokratik bangsa itu.
Hanya KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah satu-satunya organ konstitusi, yang diberi kewenangan menyelenggarakan pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota legislatif maupun presiden. Kewenangan ini bersifat monopolistik, karena konstitusi tidak membaginya dengan organ lain, apa pun dan mana pun di Indonesia. Karena sifatnya yang monopolistik itulah, jangkauan kewenangan organ ini pun demikian luasnya. Mengawalinya dengan merencanakan penyelenggaraan pemilu dan mengakhirinya dengan pernyataan hukum tentang perolehan suara, dan siapa yang terpilih menjadi presiden, itulah medan kewenangan KPU.
Kapan mencoblos surat suara, siapa yang mencetak surat suara, kapan perhitungan di tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, KPU kota, kabupaten, provinsi dan nasional, semuanya menjadi kewenangan KPU. Hebatnya kewenangan itu, sekali lagi, karena telah disifatkan oleh pasal 22E UUD 1945, tidak dibagi kepada organ lain, apapun organ itu, dengan atau untuk alasan apapun, dan dalam keadaan apapun. Apa konsekuensinya? Semua tindakan hukum yang dilakukan oleh organ lain di luar KPU tentang, misalnya menyatakan bahwa capresnya memperoleh suara terbesar, tidak bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang sah.
Pada titik itu, pernyataan Megawati, Jokowi dan Jusuf Kalla tak lama setelah pencoblosan surat suara, yang seolah-olah memperoleh suara terbanyak, dan menjadi pasangan terpilih pada pemilu kali ini menarik. Dari segi waktu, jangankan di tingkat kecamatan, di tingkat desa sekali pun, KPU belum selesai melakukan rekapitulasi perolehan suara semua pasangan calon. Bagaimana nalar hukum kemenangan itu? Dari mana keadaan hukum -kemenangan- itu berasal dan diperoleh? Jelas pernyataan ini tidak memiliki nilai hukum, tidak juga menimbulkan akibat hukum, misalnya, menimbulkan hak bagi pasangan ini menyandang status sebagai pasangan capres terpilih.
Haruskah disayangkan tindakan hukum itu? Sudahlah, bila pun tindakan hukum terasa mengurangi cita rasa demokratis dalam konstitusionalisme pemilu kali ini, terimalah tindakan hukum itu sekadar sebagai kembang-kembang pesta yang sangat damai kemarin. Bila ada sedikit kekeliruan dalam pemilu ini, Amerika Serikat, yang demokrasinya kadang dipuji setinggi langit itu, juga memiliki banyak cerita serupa. Bahkan tatanannya menjadi penghalang kesetaraan untuk jangka waktu yang lama. Apa yang terjadi di Florida kala George W Bus berhadapan dengan Al Gore adalah salah satu contohnya.
Tetapi luka itu diselesaikan di Mahkamah Agung, (Grier Steven, 2001). Mengagumkan, republik ini memiliki Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 diketahui MK adalah satu-satunya organ konstitusi yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu presiden. Sama halnya dengan KPU, kewenangan MK pun tidak didelegasikan ke organ lain, apa pun itu, dalam keadaan apa pun, dan untuk alasan apa pun. Hebatnya pula, tidak ada organ lain, apa pun organ itu, yang dapat menangguhkan penggunaan kewenangan MK.
Nantikanlah tanggal 22 Juli, tanggal pleno rekapitulasi perolehan suara secara nasional resmi KPU. Pada tanggal ini, akan jelas secara hukum siapa di antara dua pasangan capres yang memperoleh suara terbanyak. Akankah ada sengketa? Semoga tidak. Namun bila pun ada, MK-lah yang memutuskannya, bukan lembaga survei. Cara menyelesaikan sengketa pemilu ini adalah penanda terbaik atas derajat keberadaban republik tercinta ini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
(hyk)