Lembaga Survei di Ujung Tanduk

Jum'at, 11 Juli 2014 - 05:25 WIB
Lembaga Survei di Ujung...
Lembaga Survei di Ujung Tanduk
A A A
JAKARTA - Nasib lembaga survei di ujung tanduk. Akar permasalahan utamanya adalah perbedaan hasil quick count (hitung cepat) pada Pilpres 9 Juli 2014. Akibat adanya perbedaan hasil versi hitung cepat ini, masyarakat resah dan bingung. Kondisi ini makin diperparah dengan munculnya komentar saling memojokkan antar lembaga survei atau penelitian.

Data hasil hitung cepat, delapan lembaga survei seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Populi Center, Center Strategic International Studies (CSIS), Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan Poltracking memenangkan pasangan nomor urut dua (2), Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Sedangkan data hitung cepat empat lembaga survei, Puskaptis, Indonesia Research Center (IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) memenangkan pasangan nomor urut satu (1), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

“Kisruh ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila semua pimpinan lembaga survei mau menahan diri dan tidak mengklaim bahwa hasil survei atau penelitian mereka yang paling benar, cepat, dan benar. Dan celakanya yang betarung dalam masalah ini juga melibatkan dewa survei Indonesia," kata Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata kepada Sindonews, Kamis 10 Juli 2014 malam.

Menurut jebolan University Sains Malaysia (USM) itu, saat ini publik dibuat bingung hasil hitung cepat mana yang mereka bisa percayai. Saat ini, publik sudah menilai lembaga survei yang menggelar hitung cepat sudah masuk bagian tim sukses masing-masing capres-cawapres.

"Karena itu, lembaga yang menggelar hitung cepat harus jujur, apakah mereka bagian tim sukses atau bukan. Jangan mengorbankan rakyat dan negara melalui ilmu pengetahuan dan komersialitas," tegas Dian.

Kepercayaan publik terhadap keberadaan lembaga survei mulai mengkristal jelang dua hingga tiga minggu pelaksanaan pilpres. Pada saat itu, publik dibuat heran, lembaga survei mainstream sangat rajin melakukan publikasi hasil riset jelang pileg. Tapi, jelang pilpres malah sebaliknya.

Dian menuturkan, sebaiknya untuk kasus hitung cepat pada pilpres kali ini, semua pimpinan lembaga survei mampu menahan diri dan tidak menyatakan bahwa hasil merekalah yang paling benar, cepat, dan tepat. Karena, bisa saja perbedaan itu bukan karena metodologi melainkan karena adanya sistem yang dirusak melalui jaringan internet. Soalnya, hitung cepat sangat mengandalkan keberlangsungan informasi dan teknologi (IT).

"Gallup saja si penemu ilmu ini pernah meleset pada pilpres di Amerika Serikat 1948. Mereka meleset dalam memprediksi siapa yang bakal menang. Waktu itu, prediksi mereka yang menang adalah Dewey-capres dari Partai Republik. Tapi pas hari coblosan yang menang adalah Truman-capres dari Partai Demokrat. Mbahnya surveinya aja pernah meleset, apalagi yang di Indonesia."

Untuk kasus perbedaan hitung cepat ini, saran Dian, sebaiknya lembaga survei yang melakukan hitung cepat, diperiksa oleh lembaga independen dan kredibel. Mereka tidak diperiksa oleh asosiasi masing-masing lembaga survei untuk menghindari sarat kepentingan (vested interest). "Jadi tidak menjadi polisi, jaksa, dan sekaligus jaksa," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0898 seconds (0.1#10.140)