Penyelenggara Pemilu Diminta Luruskan Polemik Quick Count
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengawaslu Pemilu (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diminta untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa hasil hitung cepat (quick count) Pilpres 2014 tidak bisa dijadikan sebagai dasar kemenangan pasangan capres manapun.
Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak merasa bingung dengan hasil hitung cepat lembaga survei yang berbeda-beda itu. Tidak pula menjadi sumber pertikaian elite yang bisa memprovokasi masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan gesekan yang menyebabkan gangguan keamanan.
"Penyelenggara pemilu perlu mempertegas kembali bahwa hasil pilpres yang sah adalah berdasarkan penghitungan manual oleh KPU, yang hasilnya mungkin saja mirip dengan hasil hitung cepat dari lembaga yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta atau yang memenangkan Jokowi-JK," ujar Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Said Salahuddin kepada Sindonews, Kamis 10 Juli 2014 malam.
Menurut dia, penjelasan dari penyelenggara pemilu itu penting untuk disampaikan secepatnya, agar masyarakat tidak larut dalam kebingungan, serta diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif.
"Secara psikologis, komisioner KPU mempunyai beban mental karena sebelumnya ada anggota mereka yang sempat dikabarkan berpihak kepada pasangan Jokowi-JK pada kasus dugaan pembocoran materi debat, dan ada pula yang pernah diisukan menguntungkan pasangan Prabowo-Hatta pada saat pemungutan suara di Hongkong," ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Said, apabila hasil resmi KPU nantinya ternyata memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, maka bukan mustahil akan muncul serangan kepada KPU yang dilakukan oleh kubu Jokowi-JK dengan mengaitkan pada kasus Hongkong itu.
Sebaliknya, ujar dia, jika hasil resmi KPU memenangkan pasangan Jokowi-JK, maka bisa saja nantinya KPU dituding oleh kubu Prabowo-Hatta telah berpihak kepada pasangan nomor urut 2, karena sebelumnya ada anggota KPU yang dituding telah membocorkan materi debat.
"Terhadap hal itu saya kira KPU tak perlu khawatir. Sepanjang tidak ada putusan DKPP yang menyatakan komisioner KPU telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena terbukti bersikap tidak netral atau terbukti menguntungkan pasangan calon tertentu misalnya, maka KPU semestinya tetap pede dalam melaksanakan tugasnya," jelas Said.
Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak merasa bingung dengan hasil hitung cepat lembaga survei yang berbeda-beda itu. Tidak pula menjadi sumber pertikaian elite yang bisa memprovokasi masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan gesekan yang menyebabkan gangguan keamanan.
"Penyelenggara pemilu perlu mempertegas kembali bahwa hasil pilpres yang sah adalah berdasarkan penghitungan manual oleh KPU, yang hasilnya mungkin saja mirip dengan hasil hitung cepat dari lembaga yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta atau yang memenangkan Jokowi-JK," ujar Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Said Salahuddin kepada Sindonews, Kamis 10 Juli 2014 malam.
Menurut dia, penjelasan dari penyelenggara pemilu itu penting untuk disampaikan secepatnya, agar masyarakat tidak larut dalam kebingungan, serta diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif.
"Secara psikologis, komisioner KPU mempunyai beban mental karena sebelumnya ada anggota mereka yang sempat dikabarkan berpihak kepada pasangan Jokowi-JK pada kasus dugaan pembocoran materi debat, dan ada pula yang pernah diisukan menguntungkan pasangan Prabowo-Hatta pada saat pemungutan suara di Hongkong," ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Said, apabila hasil resmi KPU nantinya ternyata memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, maka bukan mustahil akan muncul serangan kepada KPU yang dilakukan oleh kubu Jokowi-JK dengan mengaitkan pada kasus Hongkong itu.
Sebaliknya, ujar dia, jika hasil resmi KPU memenangkan pasangan Jokowi-JK, maka bisa saja nantinya KPU dituding oleh kubu Prabowo-Hatta telah berpihak kepada pasangan nomor urut 2, karena sebelumnya ada anggota KPU yang dituding telah membocorkan materi debat.
"Terhadap hal itu saya kira KPU tak perlu khawatir. Sepanjang tidak ada putusan DKPP yang menyatakan komisioner KPU telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena terbukti bersikap tidak netral atau terbukti menguntungkan pasangan calon tertentu misalnya, maka KPU semestinya tetap pede dalam melaksanakan tugasnya," jelas Said.
(kri)