Memaknai Kemenangan
A
A
A
RAKYAT Indonesia sudah menunaikan haknya untuk memilih presiden yang akan memimpin bangsa besar ini lima tahun ke depan. Antusiasme masyarakat mengikuti pilpres kali ini, sudah terasa sejak masa kampanye terbuka bergulir.
Beragam bentuk dukungan digulirkan segenap elemen masyarakat melalui deklarasi komunitas, organisasi, ekspresi simbolik di media massa maupun media sosial. Pemilu presiden kali ini memang menjadi pemilu paling kompetitif karena sejak awal menghadirkan hanya dua pasang kandidat. Wajar jika secara faktual masyarakat terpolarisasi ke dalam dua arus utama dukungan.
Quick Count
Setelah waktu pencoblosan, hal yang banyak mendapatkan sorotan adalah hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei yang difasilitasi oleh televisi dan radio. Bukan hal baru, jika media memublikasikan hitung cepat karena sejak Pemilu 2004 dan 2009 fenomena ini sudah menjadi bagian yang lumrah dilakukan sejumlah lembaga survei. Tetapi kali ini beda! Lembaga survei terbelah dalam publikasi hitung cepatnya, ada yang memenangkan kubu Prabowo-Hatta, banyak juga yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK.
Hingga pukul 20.00 WIB (9 Juli), ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan nomor 1 Prabowo-Hatta. Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Prabowo-Hatta dengan perolehan 50,36% dan Jokowi-JK 49,64%. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan angka 52,05% dan Jokowi- JK 47,95%. Di hitung cepat LSN, Prabowo-Hatta 50,54% dan Jokowi-JK 49,46%. Indonesia Research Center (IRC) menutup hasil hitung cepat dengan perolehan pasangan Prabowo- Hatta mencapai 51,11% dan pasangan Jokowi-JK mencapai 48,89%.
Di sisi lain, pasangan nomor 2 Jokowi-JK menang di quick count CSIS-Cyrus 52,1%, sedangkan Prabowo-Hatta 47,9%. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dengan 52,76% untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta 47,24%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Jokowi-JK 53,35%, Prabowo Hatta 46,65%. Litbang Kompas, Jokowi-JK mendapat 52,26% suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 47,74%. Indikator Politik Indonesia melansir Jokowi- JK mendapat 52,74% suara, sedangkan Prabowo Hatta 47,26%.
Perbedaan ini menjadi perdebatan panas para netizen di media sosial, di diskusi-diskusi grup akademisi, dan obrolan banyak masyarakat awam. Di kalangan kelompok terdidik, diskusi bergulir dalam hal kredibilitas lembaga survei, kepentingan ekonomi dan politik di balik sejumlah lembaga hitung cepat, dan penyajiannya di media massa yang mulai menuai keresahan pasca pencoblosan.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan hasil hitung cepat sejumlah lembaga? Quick count atau hitung cepat adalah penghitungan hasil pemilu berdasarkan hasil yang diperoleh dari beberapa TPS sebagai sampel. Dengan mempergunakan perhitungan/metodologi tertentu, hasil yang diperoleh pada sampel-sampel tersebut akan memberikan gambaran perolehan suara secara keseluruhan secara akurat dan cepat. Secara teknis, quick count hanya menghitung sampel data dari TPS.
Misalnya dari 12.000 TPS, data yang diambil hanya dari 1.200 TPS. Penyenggara quick count biasanya lengkap dengan tim yang disebarkan ke semua sampel TPS. Penyelenggara hitung cepat hanya melaporkan data total, tidak bisa data detail per TPS. Hitung cepat ini tentu saja merupakan pendekatan ilmiah yang lazim digunakan dalam praktik demokrasi elektoral modern. Biasanya dipakai untuk dua hal.
Pertama, memprediksi kemenangan lebih cepat dari hitungan nyata (real count). Kedua, bisa menjadi alat kontrol dalam pengawalan rekapitulasi suara berjenjang yang akan dilakukan oleh KPU. Keberadaan hitung cepat diakui UU No 42 Tahun 2008 Pasal 186 ayat 2 sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilpres.
Kedewasaan Politik
Ada beberapa catatan kritis terkait dengan hitung cepat sejumlah lembaga survei dalam kaitannya dengan proses literasi politik di masyarakat. Pertama, seluruh lembaga survei memang perlu menjaga integritas dan profesionalitas dalam melakukan hitung cepat. Sebagaimana kita ketahui, eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut.
Supremasi warga negara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan llopinion publique atau opini publik. Survei, hitung cepat, maupun exit poll bukan semata membutuhkan kemampuan teknis, melainkan juga nilai luhur marwah akademik. Kedua, hitung cepat ini harus dipahami bukan sebagai justifikasi kemenangan resmi.
Rekapitulasi suara sah nasional yang akan diumumkan KPU pada 22 Juli lah yang menjadi real count. Basis real count itu menghitung data dari semua TPS, maksudnya data 100% dari semua TPS, bukan diambil dari sampel. Basis data real count tentu saja berjenjang dari TPS, ke kelurahan, kecamatan, hingga nasional. Dalam konteks itulah, semua masyarakat harus memahami bahwa di tengah situasi yang serba sensitif dan rawan gesekan di antara para pendukung dari dua kubu berbeda sebaiknya hati-hati melakukan klaim kemenangan.
Bisa saja masing-masing kandidat mengumumkan dan menjadikan data hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, tetapi harus dengan tegas dan jelas dinyatakan bahwa kemenangan yang dimaksud adalah versi lembaga survei yang merilis hitung cepat dan masih harus menunggu serta menghormati pengumuman resmi KPU.
Ketiga, media juga harus turut berhati-hati saat memublikasikan informasi hitung cepat ini. Harus tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik, jangan memancing di air keruh. Misalnya tidak menjadikan hitung cepat sebagai upaya glorifikasi, propaganda, pengaburan fakta, dramatisasi fakta palsu, atau provokasi di tengah masyarakat. Saatnya para kandidat dan masyarakat lebih bijak dalam memahami dan memaknai fenomena ini.
Jangan sampai karena kesimpangsiuran informasi hitung cepat dan arogansi masing-masing pasangan dalam mengklaim kemenangan prematur, menciptakan situasi tidak kondusif dan merangsang konflik horizontal di masyarakat. Kemenangan dan kekalahan pada akhirnya akan datang dan semua harus siap menerimanya.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Beragam bentuk dukungan digulirkan segenap elemen masyarakat melalui deklarasi komunitas, organisasi, ekspresi simbolik di media massa maupun media sosial. Pemilu presiden kali ini memang menjadi pemilu paling kompetitif karena sejak awal menghadirkan hanya dua pasang kandidat. Wajar jika secara faktual masyarakat terpolarisasi ke dalam dua arus utama dukungan.
Quick Count
Setelah waktu pencoblosan, hal yang banyak mendapatkan sorotan adalah hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei yang difasilitasi oleh televisi dan radio. Bukan hal baru, jika media memublikasikan hitung cepat karena sejak Pemilu 2004 dan 2009 fenomena ini sudah menjadi bagian yang lumrah dilakukan sejumlah lembaga survei. Tetapi kali ini beda! Lembaga survei terbelah dalam publikasi hitung cepatnya, ada yang memenangkan kubu Prabowo-Hatta, banyak juga yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK.
Hingga pukul 20.00 WIB (9 Juli), ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan nomor 1 Prabowo-Hatta. Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Prabowo-Hatta dengan perolehan 50,36% dan Jokowi-JK 49,64%. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan angka 52,05% dan Jokowi- JK 47,95%. Di hitung cepat LSN, Prabowo-Hatta 50,54% dan Jokowi-JK 49,46%. Indonesia Research Center (IRC) menutup hasil hitung cepat dengan perolehan pasangan Prabowo- Hatta mencapai 51,11% dan pasangan Jokowi-JK mencapai 48,89%.
Di sisi lain, pasangan nomor 2 Jokowi-JK menang di quick count CSIS-Cyrus 52,1%, sedangkan Prabowo-Hatta 47,9%. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dengan 52,76% untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta 47,24%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Jokowi-JK 53,35%, Prabowo Hatta 46,65%. Litbang Kompas, Jokowi-JK mendapat 52,26% suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 47,74%. Indikator Politik Indonesia melansir Jokowi- JK mendapat 52,74% suara, sedangkan Prabowo Hatta 47,26%.
Perbedaan ini menjadi perdebatan panas para netizen di media sosial, di diskusi-diskusi grup akademisi, dan obrolan banyak masyarakat awam. Di kalangan kelompok terdidik, diskusi bergulir dalam hal kredibilitas lembaga survei, kepentingan ekonomi dan politik di balik sejumlah lembaga hitung cepat, dan penyajiannya di media massa yang mulai menuai keresahan pasca pencoblosan.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan hasil hitung cepat sejumlah lembaga? Quick count atau hitung cepat adalah penghitungan hasil pemilu berdasarkan hasil yang diperoleh dari beberapa TPS sebagai sampel. Dengan mempergunakan perhitungan/metodologi tertentu, hasil yang diperoleh pada sampel-sampel tersebut akan memberikan gambaran perolehan suara secara keseluruhan secara akurat dan cepat. Secara teknis, quick count hanya menghitung sampel data dari TPS.
Misalnya dari 12.000 TPS, data yang diambil hanya dari 1.200 TPS. Penyenggara quick count biasanya lengkap dengan tim yang disebarkan ke semua sampel TPS. Penyelenggara hitung cepat hanya melaporkan data total, tidak bisa data detail per TPS. Hitung cepat ini tentu saja merupakan pendekatan ilmiah yang lazim digunakan dalam praktik demokrasi elektoral modern. Biasanya dipakai untuk dua hal.
Pertama, memprediksi kemenangan lebih cepat dari hitungan nyata (real count). Kedua, bisa menjadi alat kontrol dalam pengawalan rekapitulasi suara berjenjang yang akan dilakukan oleh KPU. Keberadaan hitung cepat diakui UU No 42 Tahun 2008 Pasal 186 ayat 2 sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilpres.
Kedewasaan Politik
Ada beberapa catatan kritis terkait dengan hitung cepat sejumlah lembaga survei dalam kaitannya dengan proses literasi politik di masyarakat. Pertama, seluruh lembaga survei memang perlu menjaga integritas dan profesionalitas dalam melakukan hitung cepat. Sebagaimana kita ketahui, eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut.
Supremasi warga negara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan llopinion publique atau opini publik. Survei, hitung cepat, maupun exit poll bukan semata membutuhkan kemampuan teknis, melainkan juga nilai luhur marwah akademik. Kedua, hitung cepat ini harus dipahami bukan sebagai justifikasi kemenangan resmi.
Rekapitulasi suara sah nasional yang akan diumumkan KPU pada 22 Juli lah yang menjadi real count. Basis real count itu menghitung data dari semua TPS, maksudnya data 100% dari semua TPS, bukan diambil dari sampel. Basis data real count tentu saja berjenjang dari TPS, ke kelurahan, kecamatan, hingga nasional. Dalam konteks itulah, semua masyarakat harus memahami bahwa di tengah situasi yang serba sensitif dan rawan gesekan di antara para pendukung dari dua kubu berbeda sebaiknya hati-hati melakukan klaim kemenangan.
Bisa saja masing-masing kandidat mengumumkan dan menjadikan data hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, tetapi harus dengan tegas dan jelas dinyatakan bahwa kemenangan yang dimaksud adalah versi lembaga survei yang merilis hitung cepat dan masih harus menunggu serta menghormati pengumuman resmi KPU.
Ketiga, media juga harus turut berhati-hati saat memublikasikan informasi hitung cepat ini. Harus tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik, jangan memancing di air keruh. Misalnya tidak menjadikan hitung cepat sebagai upaya glorifikasi, propaganda, pengaburan fakta, dramatisasi fakta palsu, atau provokasi di tengah masyarakat. Saatnya para kandidat dan masyarakat lebih bijak dalam memahami dan memaknai fenomena ini.
Jangan sampai karena kesimpangsiuran informasi hitung cepat dan arogansi masing-masing pasangan dalam mengklaim kemenangan prematur, menciptakan situasi tidak kondusif dan merangsang konflik horizontal di masyarakat. Kemenangan dan kekalahan pada akhirnya akan datang dan semua harus siap menerimanya.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(hyk)