Debat Pertahanan Capres Minim Gereget
A
A
A
DEBAT calon presiden (capres) pada 22 Juni lalu semestinya dapat menjadi sesi debat capres yang paling menarik. Sayangnya, para kandidat belum berhasil menghadirkan debat cerdas dan dialektis. Mereka berdua sering terjebak dalam retorika, serta membiarkan loose ends dan unanswered questions.
Sesekali bahkan, terdapat false arguments yang tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab. Dalam subtema mengenai pengamanan kepentingan nasional di bidang telekomunikasi misalnya, capres Joko Widodo menjelaskan bahwa privatisasi atas Indosat yang notabene menyebabkan lepasnya slot orbit satelit yang dioperasikan oleh BUMN tersebut, sebagai suatu tindakan yang dapat dimaklumi. Alasannya, karena dilakukan di saat negara tengah mengalami krisis pada 1998. Sungguh argumentasi ini sangat mengejutkan bagi kami.
Pertama, slot orbit satelit adalah sumber strategis yang konstitusi kita memerintahkan agar dikuasai negara. Kedua, penjualannya terjadi pada tahun 2001, bukan 1998. Syukurnya, para pendiri (founding fathers) negara ini tak menganut garis pemikiran serupa dengan Capres Joko Widodo. Padahal, krisis yang dihadapi beliau-beliau antara tahun 1945-1949 tentu lebih gawat dari krisis yang dialami Indonesia pasca 1998. Terlebih lagi, menggunakan krisis sebagai justifikasi bagi pelanggaran konstitusi tentu tidak dapat dibenarkan. Jika hal itu diucapkan secara publik, apalagi oleh seorang calon presiden, maka anasir-anasir yang beriktikad tidak baik terhadap negeri ini tentu akan bergembira ria.
Mereka memperoleh suatu ultimate recipe gratisan untuk merongrong Indonesia. Artinya, cukup ciptakan krisis, selebihnya, Indonesia sendiri yang akan merusak dirinya sendiri, at the cost of its own national interests, for and at the service of other! Tidak adanya kontra-argumentasi dari pihak capres Prabowo Subianto dalam hal ini, juga membuat kami equally shocked. Dalam segmen pertahanan dan keamanan, capres Joko Widodo juga secara tidak tepat menyalahkan pembelian tank MBT Leopard II. Jokowi menilai tank jenis itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan tekstur topografis Indonesia.
Infrastruktur jalan, jembatan, dan sebagainya dapat rusak karenanya. Untungnya, capres Prabowo Subianto menyampaikan tanggapan tepat. Pertama, beliau merujuk pada berbagai hasil studi yang dilakukan atas penggunaan dan penggelaran unit-unit MBT dalam formasi militer reguler di medan Asia Tenggara. Vietnam Utara, misalnya, menggelar MBT buatan Rusia dalam Perang Vietnam (1959-1975). Kedua, seiring dengan semakin aktifnya Indonesia dalam berbagai operasi perdamaian dunia yang digelar PBB, kehadiran MBT Leopard II memungkinkan Indonesia mulai berperan dalam operasi-operasi PBB yang bersifat peace enforcement.
Cukup disayangkan, dalam debat itu Prabowo Subianto tidak melengkapi referensi historis tersebut dengan beberapa hal. Pertama, technical rebuttal dengan dua kata kunci, yakni rubber shoes (pada roda rantai tank), dan tank transporter (untuk pergeseran administratif satuan-satuan lapis baja di dalam kota melalui jalan raya). Singkat kata, jika hanya untuk urusan rusak-merusaki jalan raya, tank-tank yang ada dalam inventaris TNI saat ini semisal AMX-13, PT-76 atau ranpur AMX-VCI dan BTR-50 (yang rata-rata berbobot ”hanya” 14- 15 ton) sudah lebih dari cukup merusak jalan-jalan kelas satu dan bahkan jalan protokol Ibu Kota, khususnya yang asphalt based, jika tidak dilengkapi dengan rubber shoes pada tracknya.
Kedua, argumentasi beliau tidak ditunjang pula dengan komparasi kontemporer vis a vis negara-negara tetangga Indonesia semisal Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki tekstur dan kontur topografis serupa dengan Indonesia. Di antara negara- negara tersebut, Indonesia jelas merupakan negara terakhir yang mengakuisisi dan menggunakan tank jenis MBT. Bahkan ditinjau dari rasio antara jumlah MBT yang dimiliki dengan luas teritori (khususnya wilayah daratan) yang harus dipertahankan, Indonesia menempati posisi terbawah.
Argumen ini, apabila dikemukakan, tentu akan lebih meyakinkan dan menjadi rebuttal menarik secara politis dan teknis kemiliteran. Terakhir, debat capres ditutup dengan menyisakan satu konsep yaitu ”Indonesia sebagai Poros Maritim” yang diutarakan oleh capres Joko Widodo, tanpa pernah sempat terbahas dengan mendalam. Padahal, ini isu yang sangat penting, khususnya dikaitkan dengan fakta bahwa posisi ”poros maritim” dimaksud saat ini kurang lebih berada di tangan Singapura, khususnya untuk dimensi maritime trade.
Secara umum dapat dikatakan bahwa debat capres pada 22 Juni 2014 tidak memenuhi harapan. Perdebatan terasa kering, khususnya bagi kalangan yang memiliki pemahaman substantif terhadap tema yang diangkat. Para kandidat tidak menampilkan kapasitas maksimalnya dalam memanfaatkan alokasi waktu yang diberikan, dan secara prosedural, format debat juga kurang memberikan keleluasaan bagi para capres untuk tampil dengan suatu argumentasi dan kontra-argumentasi yang cukup dalam. Terlepas dari semua itu, para capres juga masih menyisakan ampleroomforimprovements, baik dari penguasaan substantif (capres Joko Widodo) maupun artikulasi retorik (capres Prabowo Subianto).
Sangat kuat kesan bahwa sementara salah satu capres tak lebih dari mengucapkan apa yang terdapat dalam catatan kecilnya (dengan improvisasi ala kadarnya), sementara capres lainnya justru kurang memiliki kefasihan verbal untuk menerjemahkan kompetensi profesional yang dimilikinya ke dalam suatu argumentasi persuasif yang telak dan meyakinkan.
Capres yang satu terjun ke dalam detail tanpa pemahaman yang memadai dan tersesat di dalamnya, sementara capres yang satu lagi terlalu hati-hati untuk masuk ke dalam ranah detail, dan justru membuka dirinya untuk dituduh abstrak, tidak konkret, dan retorik.
Ini tentu tidak menggembirakan, karena kita bicara mengenai calon pemimpin nomor satu di negeri ini. Akurasi kata-kata seorang kepala negara bernilai sama dengan akurasi senjata yang dimiliki bala tentaranya. Seorang kepala negara mutlak harus memiliki keduanya, untuk dapat tetap memimpin secara efektif baik di masa perang maupun damai, atau dalam zona abu-abu di antara keduanya. Berbagai tokoh penting dalam sejarah, mulai Marcus Tullius Cicero hingga Khalifah Umar bin Khattab, sangat menekankan pentingnya hal ini.
Setiap kepala negara, atau siapa pun yang berkeinginan untuk menduduki jabatan tersebut, perlu memahami bahwa kalimat dan goresan penanya, adalah ujung dari suatu polaritas, di mana moncong laras meriamnya adalah ujung lain dari polaritas yang sama. Hal inilah membuat Napoleon I menyebut meriam sebagai ”Ultima Ratio Regnum”, atau ”KingsKings Final Argument”. Tapi semua bermula, dari sebuah kata.
NANDA AVALIST
Pengamat Militer
Tinggal di Jenewa
Sesekali bahkan, terdapat false arguments yang tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab. Dalam subtema mengenai pengamanan kepentingan nasional di bidang telekomunikasi misalnya, capres Joko Widodo menjelaskan bahwa privatisasi atas Indosat yang notabene menyebabkan lepasnya slot orbit satelit yang dioperasikan oleh BUMN tersebut, sebagai suatu tindakan yang dapat dimaklumi. Alasannya, karena dilakukan di saat negara tengah mengalami krisis pada 1998. Sungguh argumentasi ini sangat mengejutkan bagi kami.
Pertama, slot orbit satelit adalah sumber strategis yang konstitusi kita memerintahkan agar dikuasai negara. Kedua, penjualannya terjadi pada tahun 2001, bukan 1998. Syukurnya, para pendiri (founding fathers) negara ini tak menganut garis pemikiran serupa dengan Capres Joko Widodo. Padahal, krisis yang dihadapi beliau-beliau antara tahun 1945-1949 tentu lebih gawat dari krisis yang dialami Indonesia pasca 1998. Terlebih lagi, menggunakan krisis sebagai justifikasi bagi pelanggaran konstitusi tentu tidak dapat dibenarkan. Jika hal itu diucapkan secara publik, apalagi oleh seorang calon presiden, maka anasir-anasir yang beriktikad tidak baik terhadap negeri ini tentu akan bergembira ria.
Mereka memperoleh suatu ultimate recipe gratisan untuk merongrong Indonesia. Artinya, cukup ciptakan krisis, selebihnya, Indonesia sendiri yang akan merusak dirinya sendiri, at the cost of its own national interests, for and at the service of other! Tidak adanya kontra-argumentasi dari pihak capres Prabowo Subianto dalam hal ini, juga membuat kami equally shocked. Dalam segmen pertahanan dan keamanan, capres Joko Widodo juga secara tidak tepat menyalahkan pembelian tank MBT Leopard II. Jokowi menilai tank jenis itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan tekstur topografis Indonesia.
Infrastruktur jalan, jembatan, dan sebagainya dapat rusak karenanya. Untungnya, capres Prabowo Subianto menyampaikan tanggapan tepat. Pertama, beliau merujuk pada berbagai hasil studi yang dilakukan atas penggunaan dan penggelaran unit-unit MBT dalam formasi militer reguler di medan Asia Tenggara. Vietnam Utara, misalnya, menggelar MBT buatan Rusia dalam Perang Vietnam (1959-1975). Kedua, seiring dengan semakin aktifnya Indonesia dalam berbagai operasi perdamaian dunia yang digelar PBB, kehadiran MBT Leopard II memungkinkan Indonesia mulai berperan dalam operasi-operasi PBB yang bersifat peace enforcement.
Cukup disayangkan, dalam debat itu Prabowo Subianto tidak melengkapi referensi historis tersebut dengan beberapa hal. Pertama, technical rebuttal dengan dua kata kunci, yakni rubber shoes (pada roda rantai tank), dan tank transporter (untuk pergeseran administratif satuan-satuan lapis baja di dalam kota melalui jalan raya). Singkat kata, jika hanya untuk urusan rusak-merusaki jalan raya, tank-tank yang ada dalam inventaris TNI saat ini semisal AMX-13, PT-76 atau ranpur AMX-VCI dan BTR-50 (yang rata-rata berbobot ”hanya” 14- 15 ton) sudah lebih dari cukup merusak jalan-jalan kelas satu dan bahkan jalan protokol Ibu Kota, khususnya yang asphalt based, jika tidak dilengkapi dengan rubber shoes pada tracknya.
Kedua, argumentasi beliau tidak ditunjang pula dengan komparasi kontemporer vis a vis negara-negara tetangga Indonesia semisal Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki tekstur dan kontur topografis serupa dengan Indonesia. Di antara negara- negara tersebut, Indonesia jelas merupakan negara terakhir yang mengakuisisi dan menggunakan tank jenis MBT. Bahkan ditinjau dari rasio antara jumlah MBT yang dimiliki dengan luas teritori (khususnya wilayah daratan) yang harus dipertahankan, Indonesia menempati posisi terbawah.
Argumen ini, apabila dikemukakan, tentu akan lebih meyakinkan dan menjadi rebuttal menarik secara politis dan teknis kemiliteran. Terakhir, debat capres ditutup dengan menyisakan satu konsep yaitu ”Indonesia sebagai Poros Maritim” yang diutarakan oleh capres Joko Widodo, tanpa pernah sempat terbahas dengan mendalam. Padahal, ini isu yang sangat penting, khususnya dikaitkan dengan fakta bahwa posisi ”poros maritim” dimaksud saat ini kurang lebih berada di tangan Singapura, khususnya untuk dimensi maritime trade.
Secara umum dapat dikatakan bahwa debat capres pada 22 Juni 2014 tidak memenuhi harapan. Perdebatan terasa kering, khususnya bagi kalangan yang memiliki pemahaman substantif terhadap tema yang diangkat. Para kandidat tidak menampilkan kapasitas maksimalnya dalam memanfaatkan alokasi waktu yang diberikan, dan secara prosedural, format debat juga kurang memberikan keleluasaan bagi para capres untuk tampil dengan suatu argumentasi dan kontra-argumentasi yang cukup dalam. Terlepas dari semua itu, para capres juga masih menyisakan ampleroomforimprovements, baik dari penguasaan substantif (capres Joko Widodo) maupun artikulasi retorik (capres Prabowo Subianto).
Sangat kuat kesan bahwa sementara salah satu capres tak lebih dari mengucapkan apa yang terdapat dalam catatan kecilnya (dengan improvisasi ala kadarnya), sementara capres lainnya justru kurang memiliki kefasihan verbal untuk menerjemahkan kompetensi profesional yang dimilikinya ke dalam suatu argumentasi persuasif yang telak dan meyakinkan.
Capres yang satu terjun ke dalam detail tanpa pemahaman yang memadai dan tersesat di dalamnya, sementara capres yang satu lagi terlalu hati-hati untuk masuk ke dalam ranah detail, dan justru membuka dirinya untuk dituduh abstrak, tidak konkret, dan retorik.
Ini tentu tidak menggembirakan, karena kita bicara mengenai calon pemimpin nomor satu di negeri ini. Akurasi kata-kata seorang kepala negara bernilai sama dengan akurasi senjata yang dimiliki bala tentaranya. Seorang kepala negara mutlak harus memiliki keduanya, untuk dapat tetap memimpin secara efektif baik di masa perang maupun damai, atau dalam zona abu-abu di antara keduanya. Berbagai tokoh penting dalam sejarah, mulai Marcus Tullius Cicero hingga Khalifah Umar bin Khattab, sangat menekankan pentingnya hal ini.
Setiap kepala negara, atau siapa pun yang berkeinginan untuk menduduki jabatan tersebut, perlu memahami bahwa kalimat dan goresan penanya, adalah ujung dari suatu polaritas, di mana moncong laras meriamnya adalah ujung lain dari polaritas yang sama. Hal inilah membuat Napoleon I menyebut meriam sebagai ”Ultima Ratio Regnum”, atau ”KingsKings Final Argument”. Tapi semua bermula, dari sebuah kata.
NANDA AVALIST
Pengamat Militer
Tinggal di Jenewa
(hyk)