Kampanye Pajak
A
A
A
DEBAT calon presiden (capres) RI periode kedua dengan mengusung tema ”Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial” terasa garing karena tidak menyentuh urusan perpajakan.
Kedua kandidat presiden cenderung berputar-putar pada urusan kebocoran dan penghematan anggaran tanpa pernah menyoalkan urusan pajak yang menjadi sumber pendapatan utama negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Urusan perpajakan memang cenderung diabaikan. Buktinya, tak sepotong pun pertanyaan soal itu terlontar dari moderator.
Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBN-P) 2014, penerimaan pajak dipatok sekitar 80% dari total penerimaan negara. Dalam visi dan misi kedua capres memang tidak ketinggalan menyelipkan urusan perpajakan, namun tidak menjadi perhatian serius, padahal persoalan pajak adalah motor utama penggerak pembangunan.
Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berjanji menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio dari 12% saat ini menjadi sekitar 16%. Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla tak mau kalah dengan melempar wacana untuk membentuk lembaga pemungut pajak yang setingkat dengan kementerian. Tetapi, sayang sekali, janji-janji kedua capres tersebut tidak diiringi cara meningkatkan penerimaan pajak itu.
Selama ini penerimaan pajak masih jauh dari optimal dengan melihat jumlah wajib pajak yang cukup besar. Bila mencermati penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir ini, memang mengundang pertanyaan besar, ada masalah apa mengingat tak pernah mencapai target yang dipatok pemerintah. Tahun ini target penerimaan pajak telah dikoreksi dari sebesar Rp1.110,1 triliun menjadi Rp1.059,7 triliun atau terjadi penurunan sebesar Rp50,4 triliun.
Sejumlah alasan yang melatarbelakangi terjadi koreksi penerimaan pajak di antaranya target pertumbuhan ekonomi berubah dari sekitar 6% turun menjadi sekitar 5,5%, pertumbuhan sektoral yang terganggu seperti pertambangan dan perkebunan, dan penurunan ekspor ke sejumlah pasar utama yakni Tiongkok dan Amerika Serikat. Untuk mengetahui hambatan penerimaan pajak mengapa selalu meleset dari target yang dipatok pemerintah, tak ada salahnya menyimak hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tahun lalu target pajak kembali meleset hanya terealisasi sebesar Rp1.099 triliun atau kurang sekitar 4% dari target yang dipatok pemerintah, berdasarkan versi BPK realisasi penerimaan pajak itu meleset karena dipicu oleh tiga faktor utama yang terdiri atas kebijakan pajak, institusi pajak, dan wajib pajak.
Dari sisi kebijakan pajak sebenarnya sudah tidak ada masalah dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sayangnya, menurut pihak BPK, kebijakan tersebut tidak dibarengi penegakan hukum yang efektif sehingga tak membuat wajib pajak untuk patuh menunaikan kewajibannya.
Sedang persoalan pada institusi pemungut pajak masih harus berjibaku mengembalikan kepercayaan wajib pajak setelah sejumlah petugas pajak melakukan tindakan tidak terpuji dengan menyelewengkan dana pajak.
Temuan BPK tersebut diamini Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dengan mengakui bahwa salah satu kelemahan institusi perpajakan karena tidak dilengkapi komponen legal enforcement atau sistem penegakan kepatuhan terhadap wajib pajak.
Di negara maju dengan tingkat penerimaan pajak yang tinggi pasti diperkuat dengan legal enforcement . Masalahnya, institusi perpajakan di negeri ini masih bergelut dengan persoalan yang sangat mendasar yakni petugas pajak yang terbatas. Saat ini petugas pajak hanya sekitar 33.000 orang dibandingkan dengan total penduduk yang kini menyentuh 250 juta orang.
Ini persoalan klasik yang selalu jadi curhat Dirjen Pajak jika dipersoalkan realisasi pajak yang rendah. Dengan melihat persoalan penerimaan pajak yang masih krusial, kita berharap siapa pun presiden terpilih kelak harus punya strategi yang jitu bagaimana meningkatkan pendapatan pajak. Ingat, pembiayaan belanja negara didominasi dari penerimaan pajak.
Jangan sekadar melontarkan janji manis untuk membangun segala lini, bermacam-macam infrastruktur, pendidikan gratis bila tidak mampu membenahi sumber pendapatan untuk belanja negara yang berasal dari pajak.
Kedua kandidat presiden cenderung berputar-putar pada urusan kebocoran dan penghematan anggaran tanpa pernah menyoalkan urusan pajak yang menjadi sumber pendapatan utama negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Urusan perpajakan memang cenderung diabaikan. Buktinya, tak sepotong pun pertanyaan soal itu terlontar dari moderator.
Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBN-P) 2014, penerimaan pajak dipatok sekitar 80% dari total penerimaan negara. Dalam visi dan misi kedua capres memang tidak ketinggalan menyelipkan urusan perpajakan, namun tidak menjadi perhatian serius, padahal persoalan pajak adalah motor utama penggerak pembangunan.
Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berjanji menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio dari 12% saat ini menjadi sekitar 16%. Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla tak mau kalah dengan melempar wacana untuk membentuk lembaga pemungut pajak yang setingkat dengan kementerian. Tetapi, sayang sekali, janji-janji kedua capres tersebut tidak diiringi cara meningkatkan penerimaan pajak itu.
Selama ini penerimaan pajak masih jauh dari optimal dengan melihat jumlah wajib pajak yang cukup besar. Bila mencermati penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir ini, memang mengundang pertanyaan besar, ada masalah apa mengingat tak pernah mencapai target yang dipatok pemerintah. Tahun ini target penerimaan pajak telah dikoreksi dari sebesar Rp1.110,1 triliun menjadi Rp1.059,7 triliun atau terjadi penurunan sebesar Rp50,4 triliun.
Sejumlah alasan yang melatarbelakangi terjadi koreksi penerimaan pajak di antaranya target pertumbuhan ekonomi berubah dari sekitar 6% turun menjadi sekitar 5,5%, pertumbuhan sektoral yang terganggu seperti pertambangan dan perkebunan, dan penurunan ekspor ke sejumlah pasar utama yakni Tiongkok dan Amerika Serikat. Untuk mengetahui hambatan penerimaan pajak mengapa selalu meleset dari target yang dipatok pemerintah, tak ada salahnya menyimak hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tahun lalu target pajak kembali meleset hanya terealisasi sebesar Rp1.099 triliun atau kurang sekitar 4% dari target yang dipatok pemerintah, berdasarkan versi BPK realisasi penerimaan pajak itu meleset karena dipicu oleh tiga faktor utama yang terdiri atas kebijakan pajak, institusi pajak, dan wajib pajak.
Dari sisi kebijakan pajak sebenarnya sudah tidak ada masalah dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sayangnya, menurut pihak BPK, kebijakan tersebut tidak dibarengi penegakan hukum yang efektif sehingga tak membuat wajib pajak untuk patuh menunaikan kewajibannya.
Sedang persoalan pada institusi pemungut pajak masih harus berjibaku mengembalikan kepercayaan wajib pajak setelah sejumlah petugas pajak melakukan tindakan tidak terpuji dengan menyelewengkan dana pajak.
Temuan BPK tersebut diamini Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dengan mengakui bahwa salah satu kelemahan institusi perpajakan karena tidak dilengkapi komponen legal enforcement atau sistem penegakan kepatuhan terhadap wajib pajak.
Di negara maju dengan tingkat penerimaan pajak yang tinggi pasti diperkuat dengan legal enforcement . Masalahnya, institusi perpajakan di negeri ini masih bergelut dengan persoalan yang sangat mendasar yakni petugas pajak yang terbatas. Saat ini petugas pajak hanya sekitar 33.000 orang dibandingkan dengan total penduduk yang kini menyentuh 250 juta orang.
Ini persoalan klasik yang selalu jadi curhat Dirjen Pajak jika dipersoalkan realisasi pajak yang rendah. Dengan melihat persoalan penerimaan pajak yang masih krusial, kita berharap siapa pun presiden terpilih kelak harus punya strategi yang jitu bagaimana meningkatkan pendapatan pajak. Ingat, pembiayaan belanja negara didominasi dari penerimaan pajak.
Jangan sekadar melontarkan janji manis untuk membangun segala lini, bermacam-macam infrastruktur, pendidikan gratis bila tidak mampu membenahi sumber pendapatan untuk belanja negara yang berasal dari pajak.
(nfl)