Evaluasi Pelaksanaan Haji
A
A
A
MENTERI Agama Lukman Hakim Saifuddin beberapa waktu lalu datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berkoordinasi atas pelaksanaan haji yang terus bermasalah hingga saat ini.
Kebijakan menteri baru pengganti Suryadharma Ali yang telah menjadi tersangka kasus haji tersebut patut didukung dan diapresiasi. Sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar pada sistem pengelolaan haji agar ke depan tidak lagi terjadi penyimpangan-penyimpangan. Mengapa?
Permasalahan haji bukan hal yang baru. Penyimpangan-penyimpangan telah terjadi bukan satu atau dua tahun, tetapi sudah terjadi sejak sangat lama. Selama itu pula hampir tidak tersentuh oleh penegak hukum.
Karena itu, masuknya KPK untuk mengusut kebobrokan pengurusan haji diharapkan bisa menjadi awal untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah tersebut. KPK juga harus mampu mengusut tuntas kebocoran dalam pengurusan haji. Selain harus menyeret seluruh pelakunya ke pengadilan dan dihukum seberat-beratnya, penegak hukum juga wajib mengembalikan dana yang telah dicurinya ke kas negara.
Ada sejumlah pintu kebocoran yang dipakai sebagai langganan para oknum pejabat atau petugas haji untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi maupun golongannya. Mulai dari penyalahgunaan kuota haji, katering hingga pemondokan. Bukan rahasia lagi, cerita betapa pelayanan haji yang diberikan untuk jamaah Indonesia kurang bagus, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia.
Banyak sekali cerita bagaimana para jamaah haji Indonesia mengeluhkan pelayanan haji mulai jauhnya pemondokan dengan Masjidilharam hingga masalah katering. Cerita-cerita “menyedihkan” itu pun terus berulang hampir setiap tahun. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama seperti tidak mau belajar dari kelemahan-kelemahan yang terjadi, bahkan terkesan membiarkan berbagai penyimpangan tersebut. Aneh memang, tapi begitulah kenyataannya.
Tak salah bila banyak kalangan menilai ada banyak mafia yang ikut bermain dalam masalah haji ini. Ingat, dana cash yang dikelola dalam penyelenggaraan haji ini sangat besar, sekitar Rp80 triliun. Tentu jumlah tersebut sangat menggiurkan dan rentan disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab jika tidak ada pengawasan yang ketat dalam penggunaannya. Karena itu, kini sudah saatnya mengubah secara mendasar bagaimana penyelenggaraan haji bisa dilakukan secara baik.
Jangan sampai terjadi lagi pemerintah “memanfaatkan” dana para jamaah haji untuk kepentingan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kran-kran yang berpotensi kebocoran harus ditutup rapatrapat. Caranya tentu tidak mudah. Dalam hal ini keseriusan penegak hukum untuk membongkar dugaan penyimpangan pada kasus haji sampai tuntas dan seakar-akarnya sangat diperlukan.
Penegak hukum juga harus membongkar mafia yang bermain dalam kasus haji ini. Hukuman yang berat perlu diberikan kepada siapa yang terlibat dalam kasus haji ini. Hal ini sangat penting untuk memberikan efek jera bagi yang lain agar berpikir seribu kali saat melakukan korupsi. Yang tak kalah penting adalah bagaimana menteri agama yang baru membangun sistem yang baik agar pelaksanaan haji bisa meminimalkan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Karena hanya dengan sistem, termasuk juga pengawasan yang ketat, penyimpangan bisa ditekan, bahkan bisa dihilangkan. Namun, pembuatan sistem yang baik harus pula disertai dengan komitmen untuk menjalankannya secara baik bagi para seluruh stakeholder. Tanpa komitmen semua pihak tersebut, sistem yang baik pun tidak akan banyak gunanya untuk memperbaiki pelaksanaan haji yang sudah sangat kronis.
Jadi, selain perlu penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang ketat, sistem pelaksanaan yang baik, komitmen para stakeholder di segala lini diperlukan untuk mengawal pelaksanaan haji agar lebih baik dan bermartabat. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan.
Perlu terobosan besar dari menteri agama yang baru agar pelaksanaan haji tidak lagi dinodai para oknum yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, pelaksanaan haji tinggal beberapa bulan lagi. Kita tunggu keseriusan Kementerian Agama untuk memperbaiki kinerjanya.
Kebijakan menteri baru pengganti Suryadharma Ali yang telah menjadi tersangka kasus haji tersebut patut didukung dan diapresiasi. Sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar pada sistem pengelolaan haji agar ke depan tidak lagi terjadi penyimpangan-penyimpangan. Mengapa?
Permasalahan haji bukan hal yang baru. Penyimpangan-penyimpangan telah terjadi bukan satu atau dua tahun, tetapi sudah terjadi sejak sangat lama. Selama itu pula hampir tidak tersentuh oleh penegak hukum.
Karena itu, masuknya KPK untuk mengusut kebobrokan pengurusan haji diharapkan bisa menjadi awal untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah tersebut. KPK juga harus mampu mengusut tuntas kebocoran dalam pengurusan haji. Selain harus menyeret seluruh pelakunya ke pengadilan dan dihukum seberat-beratnya, penegak hukum juga wajib mengembalikan dana yang telah dicurinya ke kas negara.
Ada sejumlah pintu kebocoran yang dipakai sebagai langganan para oknum pejabat atau petugas haji untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi maupun golongannya. Mulai dari penyalahgunaan kuota haji, katering hingga pemondokan. Bukan rahasia lagi, cerita betapa pelayanan haji yang diberikan untuk jamaah Indonesia kurang bagus, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia.
Banyak sekali cerita bagaimana para jamaah haji Indonesia mengeluhkan pelayanan haji mulai jauhnya pemondokan dengan Masjidilharam hingga masalah katering. Cerita-cerita “menyedihkan” itu pun terus berulang hampir setiap tahun. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama seperti tidak mau belajar dari kelemahan-kelemahan yang terjadi, bahkan terkesan membiarkan berbagai penyimpangan tersebut. Aneh memang, tapi begitulah kenyataannya.
Tak salah bila banyak kalangan menilai ada banyak mafia yang ikut bermain dalam masalah haji ini. Ingat, dana cash yang dikelola dalam penyelenggaraan haji ini sangat besar, sekitar Rp80 triliun. Tentu jumlah tersebut sangat menggiurkan dan rentan disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab jika tidak ada pengawasan yang ketat dalam penggunaannya. Karena itu, kini sudah saatnya mengubah secara mendasar bagaimana penyelenggaraan haji bisa dilakukan secara baik.
Jangan sampai terjadi lagi pemerintah “memanfaatkan” dana para jamaah haji untuk kepentingan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kran-kran yang berpotensi kebocoran harus ditutup rapatrapat. Caranya tentu tidak mudah. Dalam hal ini keseriusan penegak hukum untuk membongkar dugaan penyimpangan pada kasus haji sampai tuntas dan seakar-akarnya sangat diperlukan.
Penegak hukum juga harus membongkar mafia yang bermain dalam kasus haji ini. Hukuman yang berat perlu diberikan kepada siapa yang terlibat dalam kasus haji ini. Hal ini sangat penting untuk memberikan efek jera bagi yang lain agar berpikir seribu kali saat melakukan korupsi. Yang tak kalah penting adalah bagaimana menteri agama yang baru membangun sistem yang baik agar pelaksanaan haji bisa meminimalkan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Karena hanya dengan sistem, termasuk juga pengawasan yang ketat, penyimpangan bisa ditekan, bahkan bisa dihilangkan. Namun, pembuatan sistem yang baik harus pula disertai dengan komitmen untuk menjalankannya secara baik bagi para seluruh stakeholder. Tanpa komitmen semua pihak tersebut, sistem yang baik pun tidak akan banyak gunanya untuk memperbaiki pelaksanaan haji yang sudah sangat kronis.
Jadi, selain perlu penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang ketat, sistem pelaksanaan yang baik, komitmen para stakeholder di segala lini diperlukan untuk mengawal pelaksanaan haji agar lebih baik dan bermartabat. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan.
Perlu terobosan besar dari menteri agama yang baru agar pelaksanaan haji tidak lagi dinodai para oknum yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, pelaksanaan haji tinggal beberapa bulan lagi. Kita tunggu keseriusan Kementerian Agama untuk memperbaiki kinerjanya.
(nfl)