Perekonomian Melambat
A
A
A
PELAMBATAN pertumbuhan perekonomian Indonesia pada kuartal kedua ditengarai sejumlah analis ekonomi bakal menyusul pelambatan pada kuartal pertama yang hanya mencapai 5,2%.
Meski demikian, kecenderungan penurunan tersebut tidak akan menembus di bawah 5%. Indikator tersebut terlihat dari defisit neraca perdagangan yang masih terus menghantui sepanjang kuartal kedua ini, yang ditandai dengan kinerja ekspor belum maksimal dan perkembangan nilai tukar rupiah yang kembali melemah dalam beberapa pekan belakangan ini. Bahkan pada pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menjilat pada level Rp12.000 per USD.
Meski terjadi penurunan pertumbuhan perekonomian pemerintah masih tenang-tenang saja, sepanjang penurunan itu masih dalam batasan wajar atau tak jauh dari target yang dipatok. Pasalnya, pertumbuhan perekonomian dalam beberapa tahun terakhir yang mencapai di atas 6% terjadi kecenderungan overheating. Jadi, kalau dalam kuartal kedua pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,1% hingga 5,2% belum perlu dirisaukan.
Berdasarkan prediksi Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,1% hingga 5,5% sepanjang tahun ini. Itu pula yang menjadi alasan bank sentral belum mengutak-atik bunga acuan yang masih setia berada di level 7,5%. Dalam paparan Macroeconomic Outlook Bank Mandiri yang disampaikan Chief Economist Bank Mandiri Destry Damayanti, kemarin di Jakarta, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan hanya mencapai pada kisaran 5,1% hingga 5,2% pada kuartal kedua.
Selain dipengaruhi kinerja ekspor yang masih jauh dari harapan, menurut Destry, juga tak bisa dilepaskan dalam pengaruh lingkungan eksternal terutama dari kondisi negara-negara yang mengendalikan perekonomian dunia.
Perekonomian Tiongkok yang melemah hanya bertumbuh sekitar 7% hingga 7,5% dipastikan berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian domestik. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu menyerap ekspor tak kurang dari 12% dari total ekspor Indonesia. Prediksi pelambatan pertumbuhan perekonomian Indonesia pada kuartal kedua tak bisa dilepaskan dari defisit neraca perdagangan.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan mencapai sebesar USD1,96 miliar untuk April 2014, defisit tersebut dipicu oleh sektor minyak dan gas (migas). Sepanjang April lalu, nilai ekspor hanya menembus USD14,29 miliar, dibanding perolehan nilai ekspor Maret maka terjadi penurunan sekitar 5,20%. Dan, bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu maka tercatat penurunan sebesar 3,16%.
Sebaliknya, nilai impor April 2014 tembus USD16,26 miliar atau melonjak 11,93% dibanding nilai impor Maret 2014. Sementara itu, defisit neraca perdagangan sepanjang Januari hingga April 2014 tercatat sebesar USD894 juta.
Defisit neraca perdagangan pada periode April lalu, membuat kalangan pengusaha diliputi perasaan penuh kekhawatiran. Karena itu, para pengusaha yang tergabung di bawah payung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk memberi perhatian serius untuk menangani masalah defisit tersebut.
Kuncinya, sebagaimana diusulkan Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto, agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan moneter yang lebih ketat, dan harus ada ambang batas defisit sehingga bila ambang itu terlewati perlu segera koreksi. Sebab bila defisit neraca perdagangan terus menyandera pemerintah akan berdampak langsung pada iklim investasi, yang pada ujungnya mengganggu pertumbuhan perekonomian.
Di balik defisit neraca perdagangan yang membuat kalangan pengusaha dan pemerintah diliputi kekhawatiran serius, ternyata masih ada kabar yang cukup menggembirakan seputar cadangan devisa Indonesia. Sebagaimana diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, cadangan devisa mengalami peningkatan dari sebesar USD105,6 miliar pada April 2014 naik menjadi sekitar USD107 miliar pada Mei 2014.
Bandingkan cadangan devisa pada awal tahun yang berada di kisaran USD99 miliar. Meski demikian, peningkatan cadangan devisa tersebut masih terlalu kecil dibandingkan peningkatan cadangan devisa sejumlah negara tetangga.
Meski demikian, kecenderungan penurunan tersebut tidak akan menembus di bawah 5%. Indikator tersebut terlihat dari defisit neraca perdagangan yang masih terus menghantui sepanjang kuartal kedua ini, yang ditandai dengan kinerja ekspor belum maksimal dan perkembangan nilai tukar rupiah yang kembali melemah dalam beberapa pekan belakangan ini. Bahkan pada pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menjilat pada level Rp12.000 per USD.
Meski terjadi penurunan pertumbuhan perekonomian pemerintah masih tenang-tenang saja, sepanjang penurunan itu masih dalam batasan wajar atau tak jauh dari target yang dipatok. Pasalnya, pertumbuhan perekonomian dalam beberapa tahun terakhir yang mencapai di atas 6% terjadi kecenderungan overheating. Jadi, kalau dalam kuartal kedua pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,1% hingga 5,2% belum perlu dirisaukan.
Berdasarkan prediksi Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,1% hingga 5,5% sepanjang tahun ini. Itu pula yang menjadi alasan bank sentral belum mengutak-atik bunga acuan yang masih setia berada di level 7,5%. Dalam paparan Macroeconomic Outlook Bank Mandiri yang disampaikan Chief Economist Bank Mandiri Destry Damayanti, kemarin di Jakarta, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan hanya mencapai pada kisaran 5,1% hingga 5,2% pada kuartal kedua.
Selain dipengaruhi kinerja ekspor yang masih jauh dari harapan, menurut Destry, juga tak bisa dilepaskan dalam pengaruh lingkungan eksternal terutama dari kondisi negara-negara yang mengendalikan perekonomian dunia.
Perekonomian Tiongkok yang melemah hanya bertumbuh sekitar 7% hingga 7,5% dipastikan berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian domestik. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu menyerap ekspor tak kurang dari 12% dari total ekspor Indonesia. Prediksi pelambatan pertumbuhan perekonomian Indonesia pada kuartal kedua tak bisa dilepaskan dari defisit neraca perdagangan.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan mencapai sebesar USD1,96 miliar untuk April 2014, defisit tersebut dipicu oleh sektor minyak dan gas (migas). Sepanjang April lalu, nilai ekspor hanya menembus USD14,29 miliar, dibanding perolehan nilai ekspor Maret maka terjadi penurunan sekitar 5,20%. Dan, bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu maka tercatat penurunan sebesar 3,16%.
Sebaliknya, nilai impor April 2014 tembus USD16,26 miliar atau melonjak 11,93% dibanding nilai impor Maret 2014. Sementara itu, defisit neraca perdagangan sepanjang Januari hingga April 2014 tercatat sebesar USD894 juta.
Defisit neraca perdagangan pada periode April lalu, membuat kalangan pengusaha diliputi perasaan penuh kekhawatiran. Karena itu, para pengusaha yang tergabung di bawah payung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk memberi perhatian serius untuk menangani masalah defisit tersebut.
Kuncinya, sebagaimana diusulkan Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto, agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan moneter yang lebih ketat, dan harus ada ambang batas defisit sehingga bila ambang itu terlewati perlu segera koreksi. Sebab bila defisit neraca perdagangan terus menyandera pemerintah akan berdampak langsung pada iklim investasi, yang pada ujungnya mengganggu pertumbuhan perekonomian.
Di balik defisit neraca perdagangan yang membuat kalangan pengusaha dan pemerintah diliputi kekhawatiran serius, ternyata masih ada kabar yang cukup menggembirakan seputar cadangan devisa Indonesia. Sebagaimana diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, cadangan devisa mengalami peningkatan dari sebesar USD105,6 miliar pada April 2014 naik menjadi sekitar USD107 miliar pada Mei 2014.
Bandingkan cadangan devisa pada awal tahun yang berada di kisaran USD99 miliar. Meski demikian, peningkatan cadangan devisa tersebut masih terlalu kecil dibandingkan peningkatan cadangan devisa sejumlah negara tetangga.
(nfl)