Koalisi Tanpa Syarat, Mungkinkah?
A
A
A
DEWASA ini, panggung politik nasional menjelang pemilihan presiden kian terbuka konfigurasi antar partai politik. Ada dua poros politik yang sampai saat ini dipastikan akan bertarung pada Pilpres 9 Juli mendatang. Pertama, poros Jokowi yang didukung PDIP, Nasdem, dan PKB. Kedua, Poros Prabowo yang didukung Partai Gerindra dan PAN. Sementara Partai Demokrat tidak menentukan ijtihad politiknya antara bergabung dengan poros politik yang sudah ada atau membuat poros ketiga.
Koalisi Politik
Langkah koalisi politik memang harus ditempuh masing-masing partai politik. Pasalnya perolehan suara pada pemilu legislatif, tidak ada satu pun partai politik yang melewati ambang batas suara minimal 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi parlemen. Oleh karena itu, koalisi ini menjadi persyaratan mutlak bagi parpol untuk mengusung capres dan cawapresnya pada pilpres 9 Juli mendatang.
Ada yang menarik dari bangunan koalisi parpol yang perlu dicermati yaitu “koalisi politik tanpa syarat”. Biasanya koalisi tidak bisa dilepaskan dari ajang bagi-bagi kekuasaan antar elite parpol. Nah, mungkinkah koalisi tanpa syarat ini benar-benar bisa diimplementasikan dalam perpolitikan nasional kita?
Jika penulis merujuk pada teori dramaturgi politik yang dipopulerkan oleh Erving Goffman dalam bukunya presentation of self in everyday life. Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa kehidupan politik kental dengan pengaruh drama atau pertunjukan fiksi di atas panggung, di mana seorang aktor memainkan karakternya masing-masing. Dalam teori dramaturgi terdiri dari front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Kerap aktor politik memainkan peran yang berbeda antara panggung depan dan panggung belakang.
Pada panggung depan (di media massa atau kampanye terbuka), para elite politik menyatakan bahwa koalisi parpol tanpa melakukan transaksi politik bagi-bagi kursi atau kekuasaan (power sharing), melainkan murni ingin membangun bangsa dan negara ini. Namun di panggung belakang mereka mendesain koalisi yang penuh dengan nuansa politik transaksional. Ada bagi-bagi kekuasaan yang sudah disepakati di antara anggota koalisi parpol.
Ada beberapa faktor mengapa koalisi politik tanpa syarat perlu dipertanyakan. Pertama, politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan. Orang yang terjun di dunia politik, tentu memiliki tujuan untuk menduduki posisi jabatan tertentu. Kedua, masing-masing partai politik dalam mendapatkan suara pada pemilu legislatif penuh dengan perjuangan ekstra keras. Kerja-kerja politik itu disimbiosiskan dengan power sharing, sehingga sesuatu yang wajar jika elite politik menginginkan jabatan yang sesuai dengan perolehan di pemilu legislatif. Dalam koalisi akan selalu berbasiskan matematika politik yang diperoleh masing-masing parpol. Ketiga, dalam politik tidak ada makan siang gratis (no free lunch), artinya setiap koalisi yang dibangun para elite bisa dipastikan ada kontrak politik yang penuh dengan transaksional. Menurut Lasswell, politik adalah masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how).
Oleh karena itu, kita perlu mengkritisi koalisi politik tanpa syarat antar parpol menjelang pilpres. Namun, sebagai rakyat biasa, kita satu sisi juga perlu berpikir positif dan optimis terhadap desain koalisi tanpa syarat yang dibangun oleh para elite politik. Semoga hal itu tidak hanya menjadi wacana politik (political discourse) dan ruang pencitraan politik (political image) para elite untuk mengambil simpati rakyat belaka. Namun, koalisi tanpa syarat harus dibuktikan oleh capres terpilih nantinya.
M ROSIT
Peneliti The Political Literacy Institute
Koalisi Politik
Langkah koalisi politik memang harus ditempuh masing-masing partai politik. Pasalnya perolehan suara pada pemilu legislatif, tidak ada satu pun partai politik yang melewati ambang batas suara minimal 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi parlemen. Oleh karena itu, koalisi ini menjadi persyaratan mutlak bagi parpol untuk mengusung capres dan cawapresnya pada pilpres 9 Juli mendatang.
Ada yang menarik dari bangunan koalisi parpol yang perlu dicermati yaitu “koalisi politik tanpa syarat”. Biasanya koalisi tidak bisa dilepaskan dari ajang bagi-bagi kekuasaan antar elite parpol. Nah, mungkinkah koalisi tanpa syarat ini benar-benar bisa diimplementasikan dalam perpolitikan nasional kita?
Jika penulis merujuk pada teori dramaturgi politik yang dipopulerkan oleh Erving Goffman dalam bukunya presentation of self in everyday life. Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa kehidupan politik kental dengan pengaruh drama atau pertunjukan fiksi di atas panggung, di mana seorang aktor memainkan karakternya masing-masing. Dalam teori dramaturgi terdiri dari front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Kerap aktor politik memainkan peran yang berbeda antara panggung depan dan panggung belakang.
Pada panggung depan (di media massa atau kampanye terbuka), para elite politik menyatakan bahwa koalisi parpol tanpa melakukan transaksi politik bagi-bagi kursi atau kekuasaan (power sharing), melainkan murni ingin membangun bangsa dan negara ini. Namun di panggung belakang mereka mendesain koalisi yang penuh dengan nuansa politik transaksional. Ada bagi-bagi kekuasaan yang sudah disepakati di antara anggota koalisi parpol.
Ada beberapa faktor mengapa koalisi politik tanpa syarat perlu dipertanyakan. Pertama, politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan. Orang yang terjun di dunia politik, tentu memiliki tujuan untuk menduduki posisi jabatan tertentu. Kedua, masing-masing partai politik dalam mendapatkan suara pada pemilu legislatif penuh dengan perjuangan ekstra keras. Kerja-kerja politik itu disimbiosiskan dengan power sharing, sehingga sesuatu yang wajar jika elite politik menginginkan jabatan yang sesuai dengan perolehan di pemilu legislatif. Dalam koalisi akan selalu berbasiskan matematika politik yang diperoleh masing-masing parpol. Ketiga, dalam politik tidak ada makan siang gratis (no free lunch), artinya setiap koalisi yang dibangun para elite bisa dipastikan ada kontrak politik yang penuh dengan transaksional. Menurut Lasswell, politik adalah masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how).
Oleh karena itu, kita perlu mengkritisi koalisi politik tanpa syarat antar parpol menjelang pilpres. Namun, sebagai rakyat biasa, kita satu sisi juga perlu berpikir positif dan optimis terhadap desain koalisi tanpa syarat yang dibangun oleh para elite politik. Semoga hal itu tidak hanya menjadi wacana politik (political discourse) dan ruang pencitraan politik (political image) para elite untuk mengambil simpati rakyat belaka. Namun, koalisi tanpa syarat harus dibuktikan oleh capres terpilih nantinya.
M ROSIT
Peneliti The Political Literacy Institute
(hyk)