Permohonan 12 Parpol di MK Bermasalah
A
A
A
JAKARTA - Semua permohonan 12 partai politik (parpol) nasional dalam perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 bermasalah. Hal itu berdasarkan sidang pleno pemeriksaan pendahuluan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini.
Seperti diketahui, 12 parpol nasional peserta Pemilu 2014 meminta MK membatalkan Ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 411/Kpts/KPU2014 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara nasional.
Seluruh berkas pemohon setelah melewati tahap perbaikan permohonan tidak lengkap seperti, permohonan antar calon anggota legislatif (caleg) DPR yang berada dalam satu parpol tidak menyertakan tandatangan dari pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Ketua umum partai. Bahkan, seluruh parpol memasukkan objek baru dalam tahap perbaikan berkas permohonan itu.
Menurut majelis hakim, hal teknis lainnya yang perlu diperbaiki adalah mengenai posita dan petitum yang tidak jelas, seperti permohonan Partai Golkar.
”Mekanisme permohonan soal posita dan petitum, lalu saudara mempersoalkan ambang batas, jelaskan itu apa yang dimaksud agar lebih jelas,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, dalam ruang sidang, Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2014).
Sementara itu, Kuasa hukum Partai Golkar Zainudin Paru mengakui bahwa berkas yang dimohonkan oleh pihaknya tidak lengkap seperti belum adanya tanda tangan kuasa hukum, dan banyaknya berkas-berkas lampiran yang tidak tersusun sesuai ketentuan.
Dia beralasan, waktu yang tersedia sejak ketetapan KPU diputuskan hingga batas waktu permohonan sedikit. Kendati demikian, pihaknya yakin bahwa dalam waktu 1x24 jam permohonan yang diajukan dapat memenuhi Peraturan MK (PMK).
”Soal sistematika lagi-lagi ini teknis, jadi format iu sudah sejak minggu lalu kita perbaiki, mudah-mudahan dalam waktu 1x24 jam bisa seusai PMK. Soal ambang batas kami juga perlu klarifikasi dengan teman-teman walaupun sudah kami perbaiki sesuai sistematikanya,” kata Zainudin dalam kesempatan yang sama.
Sekedar informasi, Partai Golkar mengajukan 131 perkara ke MK. Parpol urutan kedua yang memperoleh suara terbanyak itu menggugat hasil pileg di 26 provinsi. Jumlah tersebut terdiri antara lain dari 10 perkara terkait perolehan suara di tingkat DPRD Provinsi, 15 perkara perseorangan calon anggota DPRD Provinsi, 41 perkara di tingkat DPRD Kabupaten/kota.
Papua merupakan provinsi terbanyak yang dipersoalkan Golkar yakni, 38 perkara. Dalam permohonannya Golkar, menganggap terjadinya pelanggaran dan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.
Hamdan Zoelva juga meminta Partai PKS mengoreksi permohonannya sebab, terdapat kesalahan dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK. Parpol yang mendaftarkan 43 kasus ke MK itu diketahui salah mencantumkan dapil yang diperkarakan.
”Masalah dapil, Dapil Riau misalnya dijudul tertulis Riau 1 tapi isinya Riau 2, coba cek yang benar,” kata Hamdan.
Sedangkan, Wakil Ketua MK Arief Hidayat mengatakan bahwa dalam permohonan PPP juga tidak lengkap karena tidak mencantumkan putusan KPU yang menempatkan nomor urut.
”Lalu, perlu dilihat kembali pada bbrapa dapil terdapat ketidaksesuaian posita dengan nama atau fokus dapilnya di mana. Supaya kami mudah memeriksa, posita berisi dapil lalu petitum yang ditunjukkan dengan bukti, pada umumnya yang didalilkan dan buktinya tidak konsisten,” ujarnya.
Seperti diketahui, 12 parpol nasional peserta Pemilu 2014 meminta MK membatalkan Ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 411/Kpts/KPU2014 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara nasional.
Seluruh berkas pemohon setelah melewati tahap perbaikan permohonan tidak lengkap seperti, permohonan antar calon anggota legislatif (caleg) DPR yang berada dalam satu parpol tidak menyertakan tandatangan dari pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Ketua umum partai. Bahkan, seluruh parpol memasukkan objek baru dalam tahap perbaikan berkas permohonan itu.
Menurut majelis hakim, hal teknis lainnya yang perlu diperbaiki adalah mengenai posita dan petitum yang tidak jelas, seperti permohonan Partai Golkar.
”Mekanisme permohonan soal posita dan petitum, lalu saudara mempersoalkan ambang batas, jelaskan itu apa yang dimaksud agar lebih jelas,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, dalam ruang sidang, Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2014).
Sementara itu, Kuasa hukum Partai Golkar Zainudin Paru mengakui bahwa berkas yang dimohonkan oleh pihaknya tidak lengkap seperti belum adanya tanda tangan kuasa hukum, dan banyaknya berkas-berkas lampiran yang tidak tersusun sesuai ketentuan.
Dia beralasan, waktu yang tersedia sejak ketetapan KPU diputuskan hingga batas waktu permohonan sedikit. Kendati demikian, pihaknya yakin bahwa dalam waktu 1x24 jam permohonan yang diajukan dapat memenuhi Peraturan MK (PMK).
”Soal sistematika lagi-lagi ini teknis, jadi format iu sudah sejak minggu lalu kita perbaiki, mudah-mudahan dalam waktu 1x24 jam bisa seusai PMK. Soal ambang batas kami juga perlu klarifikasi dengan teman-teman walaupun sudah kami perbaiki sesuai sistematikanya,” kata Zainudin dalam kesempatan yang sama.
Sekedar informasi, Partai Golkar mengajukan 131 perkara ke MK. Parpol urutan kedua yang memperoleh suara terbanyak itu menggugat hasil pileg di 26 provinsi. Jumlah tersebut terdiri antara lain dari 10 perkara terkait perolehan suara di tingkat DPRD Provinsi, 15 perkara perseorangan calon anggota DPRD Provinsi, 41 perkara di tingkat DPRD Kabupaten/kota.
Papua merupakan provinsi terbanyak yang dipersoalkan Golkar yakni, 38 perkara. Dalam permohonannya Golkar, menganggap terjadinya pelanggaran dan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.
Hamdan Zoelva juga meminta Partai PKS mengoreksi permohonannya sebab, terdapat kesalahan dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK. Parpol yang mendaftarkan 43 kasus ke MK itu diketahui salah mencantumkan dapil yang diperkarakan.
”Masalah dapil, Dapil Riau misalnya dijudul tertulis Riau 1 tapi isinya Riau 2, coba cek yang benar,” kata Hamdan.
Sedangkan, Wakil Ketua MK Arief Hidayat mengatakan bahwa dalam permohonan PPP juga tidak lengkap karena tidak mencantumkan putusan KPU yang menempatkan nomor urut.
”Lalu, perlu dilihat kembali pada bbrapa dapil terdapat ketidaksesuaian posita dengan nama atau fokus dapilnya di mana. Supaya kami mudah memeriksa, posita berisi dapil lalu petitum yang ditunjukkan dengan bukti, pada umumnya yang didalilkan dan buktinya tidak konsisten,” ujarnya.
(kri)