Memahami laporan HAM

Jum'at, 16 Mei 2014 - 14:47 WIB
Memahami laporan HAM
Memahami laporan HAM
A A A
MUKA Indonesia kembali ditampar laporan buruk tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Laporan yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan disusun pelapor khusus, MainaKiai, membeber catatan buruk terkait kondisi kebebasan berkumpul dan berorganisasi bagi kelompok minoritas dan rentan.

Rapor merah yang disebarkan ke media nasional oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) rencananya bahkan akan dibawa ke Dewan HAM pada Juli depan. KontraS bahkan secara lantang mengingatkan, rapor merah bisa menjadi kekuatan moral dan politis serta akan menjadi pertimbangan dunia internasional yang akan bekerja sama dengan Indonesia. Laporan miring tentang kondisi HAM di Tanah Air tidaklah mengagetkan karena hal yang sama sudah muncul pada 2012 dan 2013.

Malahan KontraS secara tegas menyimpulkan keprihatinannya akan kondisi HAM selama hampir sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penilaian HAM dari PBB tentu harus diapresiasi positif untuk mengingatkan bangsa ini, khususnya pemerintah, untuk memberi perlindungan kepada warganya tanpa pandang bulu. Tapi di sisi lain, kita tidak boleh menelan mentah-mentah laporan tersebut. Premisnya, apa pun yang dilakukan bangsa ini terkait persoalan terhadap tidak akan pernah menghapuskan laporan negatif.

Dalam konteks apa pun, termasuk menghadapi gerakan separatis seperti kasus Timor Timur, Aceh, hingga Papua saat ini, Indonesia tetap dipersalahkan. Padahal di sisi lain banyak pelanggaran dan kasus HAM sesungguhnya seperti di negara-negara Barat yang selama ini menjadi kiblat HAM ternyata tidak pernah terekspos secara objektif. Pun di negara kawasan seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura yang juga masih menyimpan persoalan HAM jauh lebih serius ternyata juga tidak pernah terdengar di publik. Mengapa hanya Indonesia, Indonesia, dan Indonesia!

Inilah yang harus dipahami bangsa ini, hingga tidak menelan mentah-mentah setiap laporan negatif. Bangsa ini harus paham, di balik dunia yang adem-ayem ini, tersimpan bara konflik dan pertarungan bangsa-bangsa yang dikonsepsikan sebagai asymmetric warfare. Perang kini bukan hanya diartikan secara konvensional sebagaimana dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya ketika menggunakan tentara dan senjata mutakhirnya membombardir Irak dan Libya, tapi ada perang lebih canggih yang memanfaatkan saluran informasi dan komunikasi.

Pembelajar hubungan internasional pasti sudah memahami posisi PBB sebagai hegemoni Barat untuk membentuk novus ordo seclorum atau new world order. Sebagai pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dkk tentu memanfaatkan kekuatan legal tersebut untuk menata dunia baru dan mengendalikannya berdasar kepentingan mereka.

Tentu cara-cara perang konvensional bukanlah pilihan beradab dan murah dan cara rasional dengan efek yang dahsyat salah satunya melakukan disinformasi dan kasak-kusuk negatif melalui berbagai saluran informasi yang kian terbuka. Langkah perang asimetris seringkali memanfaatkan komprador di negara sasaran seperti LSM atau kelompok kepentingan. Dengan demikian, arah framing yang terbangun bukanlah untuk kepentingan negara sasaran, melainkan negara pemesan. Ujungnya adalah citra buruk dan Indonesia bisa dikendalikan.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8631 seconds (0.1#10.140)