Presiden dan urusan BBM
A
A
A
PARA elite partai politik kini larut dalam urusan siapa berkoalisi dengan siapa untuk memenangkan pertarungan meraih kursi pemimpin nomor wahid di negeri ini. Sepak terjang para politikus tersebut melahirkan berbagai analisis politik di masyarakat.
Diskusi itu semakin menarik ketika membahas apa yang harus dilakukan presiden terpilih nanti dalam waktu terdekat. Barangkali kalau digelar survei dengan tema bahasan, apa langkah pertama yang harus dibenahi presiden terpilih?
Boleh jadi jawaban yang muncul salah satunya bagaimana mengatasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggerogoti anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN). Selamainipara pengambilkeputusandinegeri ini sangat memahami betapa subsidi BBM sudah menyandera anggaran negara bahkan salah sasaran.
Namun, solusi yang tepat mengatasi itu agar anggaran tersebut bisa dialihkan untuk pembangunan yang lebih produktif hanya berputar pada wacana. Memang, pemerintah tidak tinggal diam untuk mengurangi subsidi BBM, setidaknya upaya itu tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah yang akan dilakukan secara bertahap. Namun, fakta di lapangan, angka subsidi BBM semakin sulit dikendalikan, target yang dipatok pemerintah setiap tahun jebol.
Mungkin karena gemes masalah ini tak bisa dipecahkan segera, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo melontarkan sebuah pernyataan yang sedikit nyeleneh bahwa mendukung calon presiden yang mengagendakan pengurangan subsidi BBM. ”Kalau ada calon presiden yang membawa agenda pengurangan subsidi BBM, itu sangat bagus sekali,” ujarnya.
Melihat realisasi penyaluran BBM bersubsidi yang mencapai 11,2 juta kilo liter (KL) atau sekitar 23,6% terhadap kuota BBM bersubsidi yang dialokasikan dalam APBN 2014, pada kuartal pertama tahun ini, diprediksi bakal terjadi kenaikan subsidi pada tahun ini.
Kementerian Keuangan memperkirakan bakal terjadi kenaikan anggaran subsidi sebesar Rp30 triliun dari sisi pelemahan nilai tukar rupiah, belum dihitung pembengkakan dari angka konsumsi. Pemerintah mematok anggaran subsidi BBM 2014 sebesar Rp210,7 triliun dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp10.500 per USD.
Nah, nilai kurs rata-rata berada pada kisaran Rp11.500 hingga akhir tahun sehingga anggaran subsidi bisa jebol mencapai Rp240 triliun. Adakah kemungkinan presiden terpilih kelak bakal mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM bersubsidi?
Kemungkinannya kecil sekali. Selain itu, untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus menyiapkan berbagai langkah pengamanan, terutama program kompensasi untuk masyarakat kecil yang terkena langsung dampak kenaikan BBM bersubsidi.
Sebenarnya, menaikkan harga BBM bersubsidi boleh saja sepanjang sudah dilaksanakan berbagai cara yang selama ini direkomendasikan berbagai pihak dan bahkan sejumlah rumusan yang ideal dari pihak pemerintah, tidak menunjukkan hasil. Yang menjadi masalah, berbagai kebijakan dan rekomendasi itu belum diimplementasikan.
Pemerintah seperti kebingungan sendiri melihat angka impor BBM yang terus menggelembung dan menggerek anggaran subsidi lebih tinggi lagi, kemudian berdampak pada pembesaran defisit neraca perdagangan yang semakin mengkhawatirkan karena mengancam laju pertumbuhan ekonomi.
Salah satu program realistis membatasi konsumsi BBM bersubsidi yang sempat digembar-gemborkan adalah program konversi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Program konversi hanya kencang pada awal, namun mati suri dalam perjalanannya. Buktinya, rencana pemerintah membangun stasiun pengisian bahan bakar gas hanya terealisasi dalam hitungan jari.
Begitu pula rencana menyiapkan konvertor (alat konversi BBM ke BBG) untuk mobil pribadi tidak terealisasi, padahal anggaran selalu disebutkan tersedia kapan saja. Lalu, masalahnya di mana?
Karena itu, kita berharap presiden terpilih kelak punya strategi jitu atau dengan kata lain langkah ekstrem mengatasi konsumsi BBM bersubsidi seperti gagasan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menantang pemerintah pusat untuk membebaskan Jakarta dari BBM bersubsidi.
Diskusi itu semakin menarik ketika membahas apa yang harus dilakukan presiden terpilih nanti dalam waktu terdekat. Barangkali kalau digelar survei dengan tema bahasan, apa langkah pertama yang harus dibenahi presiden terpilih?
Boleh jadi jawaban yang muncul salah satunya bagaimana mengatasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggerogoti anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN). Selamainipara pengambilkeputusandinegeri ini sangat memahami betapa subsidi BBM sudah menyandera anggaran negara bahkan salah sasaran.
Namun, solusi yang tepat mengatasi itu agar anggaran tersebut bisa dialihkan untuk pembangunan yang lebih produktif hanya berputar pada wacana. Memang, pemerintah tidak tinggal diam untuk mengurangi subsidi BBM, setidaknya upaya itu tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah yang akan dilakukan secara bertahap. Namun, fakta di lapangan, angka subsidi BBM semakin sulit dikendalikan, target yang dipatok pemerintah setiap tahun jebol.
Mungkin karena gemes masalah ini tak bisa dipecahkan segera, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo melontarkan sebuah pernyataan yang sedikit nyeleneh bahwa mendukung calon presiden yang mengagendakan pengurangan subsidi BBM. ”Kalau ada calon presiden yang membawa agenda pengurangan subsidi BBM, itu sangat bagus sekali,” ujarnya.
Melihat realisasi penyaluran BBM bersubsidi yang mencapai 11,2 juta kilo liter (KL) atau sekitar 23,6% terhadap kuota BBM bersubsidi yang dialokasikan dalam APBN 2014, pada kuartal pertama tahun ini, diprediksi bakal terjadi kenaikan subsidi pada tahun ini.
Kementerian Keuangan memperkirakan bakal terjadi kenaikan anggaran subsidi sebesar Rp30 triliun dari sisi pelemahan nilai tukar rupiah, belum dihitung pembengkakan dari angka konsumsi. Pemerintah mematok anggaran subsidi BBM 2014 sebesar Rp210,7 triliun dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp10.500 per USD.
Nah, nilai kurs rata-rata berada pada kisaran Rp11.500 hingga akhir tahun sehingga anggaran subsidi bisa jebol mencapai Rp240 triliun. Adakah kemungkinan presiden terpilih kelak bakal mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM bersubsidi?
Kemungkinannya kecil sekali. Selain itu, untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus menyiapkan berbagai langkah pengamanan, terutama program kompensasi untuk masyarakat kecil yang terkena langsung dampak kenaikan BBM bersubsidi.
Sebenarnya, menaikkan harga BBM bersubsidi boleh saja sepanjang sudah dilaksanakan berbagai cara yang selama ini direkomendasikan berbagai pihak dan bahkan sejumlah rumusan yang ideal dari pihak pemerintah, tidak menunjukkan hasil. Yang menjadi masalah, berbagai kebijakan dan rekomendasi itu belum diimplementasikan.
Pemerintah seperti kebingungan sendiri melihat angka impor BBM yang terus menggelembung dan menggerek anggaran subsidi lebih tinggi lagi, kemudian berdampak pada pembesaran defisit neraca perdagangan yang semakin mengkhawatirkan karena mengancam laju pertumbuhan ekonomi.
Salah satu program realistis membatasi konsumsi BBM bersubsidi yang sempat digembar-gemborkan adalah program konversi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Program konversi hanya kencang pada awal, namun mati suri dalam perjalanannya. Buktinya, rencana pemerintah membangun stasiun pengisian bahan bakar gas hanya terealisasi dalam hitungan jari.
Begitu pula rencana menyiapkan konvertor (alat konversi BBM ke BBG) untuk mobil pribadi tidak terealisasi, padahal anggaran selalu disebutkan tersedia kapan saja. Lalu, masalahnya di mana?
Karena itu, kita berharap presiden terpilih kelak punya strategi jitu atau dengan kata lain langkah ekstrem mengatasi konsumsi BBM bersubsidi seperti gagasan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menantang pemerintah pusat untuk membebaskan Jakarta dari BBM bersubsidi.
(nfl)