Mitigasi perlambatan emerging market

Senin, 12 Mei 2014 - 11:41 WIB
Mitigasi perlambatan...
Mitigasi perlambatan emerging market
A A A
SEJAK pertengahan 2013 hingga triwulan I 2014, sejumlah negara berkembang terus menghadapi tekanan pembalikan arah ekonomi Amerika Serikat (AS) pascakrisis 2008 menyusul kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang secara bertahap menghentikan stimulus.

Hal ini memicu volatilitas arus modal khususnya bagi negara-negara berkembang yang selama ini tumbuh akibat capital inflow melimpah beberapa tahun terakhir. Akibatnya terjadi depresiasi nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang diikuti dengan lonjakan inflasi (di samping volatilitas harga komoditas akibat cuaca ekstrem).

Volatilitas arus modal ini juga memberi sentimen negatif bagi likuiditas negara-negara berkembang yang menyebabkan banyak di antaranya menaikkan suku bunga acuan untuk menahan arus modal yang keluar dan mengendalikan kenaikan inflasi.

Kondisi di atas merupakan tantangan pemulihan global saat ini khususnya bagi negara-negara berkembang yang memiliki struktur ekonomi yang rentan dengan defisit transaksi berjalan yang besar. Negara-negara seperti Brasil, India, Turki, dan negara-negara Afrika merupakan kelompok negara berkembang yang mengalami hal ini. Realitas ini mendorong banyak pandangan yang menilai pemulihan global masih dalam tren mencari bentuk yang ideal mengingat ketidakseimbangan struktur ekonomi global yang selama ini terjadi telah menghadirkan ambiguitas dalam proses pemulihannya.

Negara-negara berkembang seperti China, Brasil, dan India yang pada tahun 2010– 2011 menopang pertumbuhan ekonomi global kini mengalami perlambatan yang berkelanjutan sejak 2012. China pada periode Januari– Maret 2014 hanya mampu bertumbuh 7,4% (pertumbuhan terendah sejak triwulan III 2012) atau lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 7,7%.

Kebijakan ekonomi China dalam mencari keseimbangan baru pascaperubahan orientasi pertumbuhan ke berbasis konsumsi domestik menunjukkan tren perlambatan yang terus menurun sejak 2012. Tahun 2014, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan China berada pada level 7,5% dan 7,3% pada tahun 2015.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti China, Brasil, Tiongkok, India, dan negaranegara Afrika mendorong beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF merevisi proyeksi pertumbuhan negara-negara berkembang termasuk untuk kawasan Asia.

Meningkatnya arus modal keluar dari negara berkembang yang mendorong ketatnya likuiditas, ancaman inflasi, dan depresiasi nilai tukar menjadi argumentasi revisi ke bawah pertumbuhan negara-negara berkembang. Tentunya kondisi ini juga dikhawatirkan oleh negara-negara berkembang lainnya khususnya yang memiliki interdependensi ekonomi yang tinggi dengan negara-negara berkembang yang sedang melambat.

Hal ini pula yang kini dihadapi Indonesia mengingat China merupakan mitra dagang terbesar yang menguasai 20% pangsa pasar ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2014 mengumumkan data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia periode triwulan I 2014 sebesar 5,21% (yoy). Seluruh sektor mengalami pertumbuhan kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang turun sebesar 0,38%. Sektor pengangkutan dan komunikasi adalah sektor dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 10,23%.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan triwulan I 2014 didukung konsumsi rumah tangga sebesar 5,61%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 5,13%, dan konsumsi pemerintah 3,58%. Adapun ekspor dan impor masing- masing mengalami kontraksi sebesar 0,78% dan 0,66%.

Pertumbuhan triwulan I 2014 sebesar 5,21% disebabkan berkontraksinya ekspor riil khususnya di sektor pertambangan seperti batu bara dan konsentrat mineral. Kontraksi ini dipicu melemahnya permintaan global terutama menurunnya permintaan dari China. Ekspor Indonesia ke China periode Maret 2014 turun 11,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Selain itu volatilitas harga komoditas dunia juga memberi andil penekanan kinerja ekspor nasional. Harga seperti komoditas tembaga turun 8,1%, batubara turun 5,2%, dan karet yang paling dalam mencapai 15,6%. Walaupun lebih rendah dari target dan pertumbuhan triwulan sebelumnya, pertumbuhan 5,21% di triwulan I 2014 masih berada pada kategori pertumbuhan tinggi di dunia saat ini di tengah perlambatan yang dalam dialami negara-negara lain. Pertumbuhan triwulan I 2014 sebenarnya dapat dipahami sebagai akumulasi tekanan yang dihadapi baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun internal.

Dari sisi eksternal, pertama, harga komoditas global yang terus menurun akibat cuaca ekstrem dan perlambatan permintaan global. Kedua, tertekannya permintaan global khususnya bersumber dari negaranegara yang selama ini dengan permintaan terbesar seperti China, Amerika, Jepang, dan Eropa.

Ketiga, permintaan pada lapis kedua di negara-negara berkembang juga terkendala perlambatan ekonomi yang sedang dihadapi. Adapun dari sisi internal, ancaman defisit transaksi berjalan beberapa waktu lalu mendorong pemerintah untuk melakukan pengendalian importasi dan pelarangan ekspor mineral mentah.

Lazimnya, setiap kebijakan memiliki konsekuensi (trade-off). Sama halnya dengan kebijakan pengendalian impor dan pembatasan ekspor mineral mentah. Bagi Indonesia saat ini, fundamental ekonomi terus membaik walau masih dibayang-bayangi tekanan perlambatan global terutama dari negara-negara mitra strategis seperti China dan Jepang.

Struktur dan fundamental ekonomi nasional terus menunjukkan perbaikan yang positif. Kinerja neraca transaksi berjalan terus menunjukkan tren yang membaik. Defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2014 turun menjadi USD4,2 miliar (2,06% PDB) dibandingkan USD4,3 miliar (2,12% PDB) pada triwulan IV 2013.

Kepercayaan pasar terhadap perekonomian nasional terus melanjutkan tren peningkatan. Hal ini terlihat dari total aliran dana asing yang masuk triwulan I 2014 mencapai USD12,3 miliar atau meningkat dari USD10,5 miliar pada triwulan IV 2013 sehingga pada periode triwulan I 2014 terjadi surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar.

Perbaikan transaksi berjalan dan surplus transaksi modal dan finansial mendorong surplus neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2014 sebesar USD2,1 miliar. Surplus NPI ini pula yang mendorong kenaikan cadangan devisa yang mencapai USD105,6 miliar pada akhir April 2014.

Di sektor riil, survei BPS menunjukkan Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada triwulan I 2014 sebesar 101,95 atau meningkat dari triwulan sebelumnya akibat peningkatan kapasitas produksi.
Meningkatnya kapasitas produksi juga dikonfirmasi oleh data pertumbuhan produksi baik untuk industri manufaktur besar-sedang (tumbuh 3,76%) maupun industri mikro- kecil (tumbuh 4,41%).

Untuk terus mendorong kapasitas ekonomi nasional terutama menghadapi tekanan perlambatan global, pemerintah terus mendorong sektorsektor strategis yang mampu memberi efek pengganda lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mengantisipasi perlambatan global, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan relaksasi seperti revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk menstimulasi investasi masuk ke Indonesia. Sektor investasi baik untuk pembangunan infrastruktur maupun sektor riil diharapkan dapat memperbesar kapasitas ekonomi nasional di masa mendatang.

Selain itu, program industrialisasi dan hilirisasi juga diharapkan tidak hanya mendorong daya saing nasional, tetapi juga memperluas kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Begitu pula dengan program MP3EI yang sedang berjalan seiring dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus di sejumlah titik. Saya optimistis dan percaya, transformasi ekonomi nasional yang sedang berjalan ini akan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat yang seluasluasnya.

PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0831 seconds (0.1#10.140)