Jangan anggap sepele penyakit batuk
A
A
A
Sindonews.com - Batuk oleh sebagian sebagian besar masyarakat sering dianggap sebagai 'penyakit' sepele. Padahal batuk bisa menjadi salah satu gejala penyakit serius lainnya.
"Kalau ada keadaan tidak normal di tubuh, seperti batuk, itu tandanya ada gangguan," kata praktisi kesehatan dr Aldrin Neilwan Pancaputra dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat dihubungi, Rabu (7/5/2014).
Dari batuk, kata dr Aldrin, bisa jadi karena alergi, polusi, namun bisa juga gejala gangguan paru dan jantung. Karena itu, kata dia, baiknya langsung diperiksa ke ahlinya. "Jika kita mendapati masalah kesehatan, berobatlah pada ahlinya," timpalnya.
Namun demikian, kata dia, ada hal pertama yang harus diperhatikan, yakni kenali diri sendiri terlebih dahulu apa saja yang menyebabkan tubuh terkena batuk.
"Bisa jadi dia alergi debu yang, ternyata banyak pakaian kotor digantung di sekitarnya," ujarnya.
Menurut dia, tanggung jawab kesehatan ada pada diri sendiri. Karena itu, terapkan pola hidup sehat di kehidupan sehari-hari.
Jika memang harus mengkonsumsi obat, kata dia, gunakan secara rasional, sesuai indikasi dan tata cara. Mengingat banyaknya obat batuk yang beredar di pasaran, menurut dia, masyarakat juga harus hati-hati. "Lihat kemasannya dan harus teregistrasi dari BPOM," ujarnya.
Mengenai zat aktif yang ada di dalam suatu obat, menurut dia memang ada kemungkinan efek negatifnya. "Tapi seberapa besar efeknya, tergantung penggunaannya," kata dia.
Disinggung mengenai adanya keputusan Kepala BPOM No.HK.04.1.35.06.13.3534 tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal, menurut dr Aldrin kebijakan yang dikeluarkan pastinya sudah melalui kajian yang mendalam.
"Tentunya BPOM punya alasan dan pertimbangan mengapa penggunaan zat itu dilarang," imbuhnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM Retno Tyas Utami mengatakan pada Juni 2014 mendatang dipastikan semua dekstrometorfan sediaan tunggal tidak lagi beredar di masyarakat.
"Yang diizinkan beredar adalah dekstrometorfan yang sudah dikombinasikan dengan zat lain," kata Retno pada acara media gathering di kantor BPOM, beberapa waktu lalu.
Retno mengungkapkan, desktrometorfan merupakan obat batuk untuk batuk kering (antitusif) yang bekerja dengan menekan pusat batuk di susunan saraf pusat. Bentuk dekstrometorfan dapat berupa tablet maupun sirup.
Berdasarkan surat edaran BPOM, obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal memiliki efek sedatif-disosiatif dan banyak disalahgunakan dan sudah jarang digunakan untuk terapi di kalangan medis.
Mengkonsumsi obat batuk ini harus menggunakan resep dokter. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 9548/A/SK/71 tahun 1971 batas penggunaan dekstrometorfan sebagi obat tidak boleh lebih dari 16 mg.
"Kalau ada keadaan tidak normal di tubuh, seperti batuk, itu tandanya ada gangguan," kata praktisi kesehatan dr Aldrin Neilwan Pancaputra dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat dihubungi, Rabu (7/5/2014).
Dari batuk, kata dr Aldrin, bisa jadi karena alergi, polusi, namun bisa juga gejala gangguan paru dan jantung. Karena itu, kata dia, baiknya langsung diperiksa ke ahlinya. "Jika kita mendapati masalah kesehatan, berobatlah pada ahlinya," timpalnya.
Namun demikian, kata dia, ada hal pertama yang harus diperhatikan, yakni kenali diri sendiri terlebih dahulu apa saja yang menyebabkan tubuh terkena batuk.
"Bisa jadi dia alergi debu yang, ternyata banyak pakaian kotor digantung di sekitarnya," ujarnya.
Menurut dia, tanggung jawab kesehatan ada pada diri sendiri. Karena itu, terapkan pola hidup sehat di kehidupan sehari-hari.
Jika memang harus mengkonsumsi obat, kata dia, gunakan secara rasional, sesuai indikasi dan tata cara. Mengingat banyaknya obat batuk yang beredar di pasaran, menurut dia, masyarakat juga harus hati-hati. "Lihat kemasannya dan harus teregistrasi dari BPOM," ujarnya.
Mengenai zat aktif yang ada di dalam suatu obat, menurut dia memang ada kemungkinan efek negatifnya. "Tapi seberapa besar efeknya, tergantung penggunaannya," kata dia.
Disinggung mengenai adanya keputusan Kepala BPOM No.HK.04.1.35.06.13.3534 tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal, menurut dr Aldrin kebijakan yang dikeluarkan pastinya sudah melalui kajian yang mendalam.
"Tentunya BPOM punya alasan dan pertimbangan mengapa penggunaan zat itu dilarang," imbuhnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM Retno Tyas Utami mengatakan pada Juni 2014 mendatang dipastikan semua dekstrometorfan sediaan tunggal tidak lagi beredar di masyarakat.
"Yang diizinkan beredar adalah dekstrometorfan yang sudah dikombinasikan dengan zat lain," kata Retno pada acara media gathering di kantor BPOM, beberapa waktu lalu.
Retno mengungkapkan, desktrometorfan merupakan obat batuk untuk batuk kering (antitusif) yang bekerja dengan menekan pusat batuk di susunan saraf pusat. Bentuk dekstrometorfan dapat berupa tablet maupun sirup.
Berdasarkan surat edaran BPOM, obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal memiliki efek sedatif-disosiatif dan banyak disalahgunakan dan sudah jarang digunakan untuk terapi di kalangan medis.
Mengkonsumsi obat batuk ini harus menggunakan resep dokter. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 9548/A/SK/71 tahun 1971 batas penggunaan dekstrometorfan sebagi obat tidak boleh lebih dari 16 mg.
(sms)