Korbannya adalah bocah
A
A
A
DALAM beberapa pekan ini, kita semua disuguhi peristiwa yang menjadikan anak-anak atau bocah menjadi korban. Sungguh miris, bahwa peristiwa demi peristiwa menempatkan para bocah menjadi korban. Pertama adalah kasus seksual di sekolah internasional Jakarta International School (JIS).
Beberapa anak taman kanak-kanak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas cleaning service. Berikutnya adalah kasus Emon dari Sukabumi. Puluhan bahkan banyak yang memperkirakan korban mencapai ratusan. Lagi-lagi yang menjadi korban Emon adalah anak-anak.
Sedangkan di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), kasus seksual mirip kasus di JIS juga terjadi. Siswa SD Charitas Batam menjadi korban kekerasan seksual oleh petugas kebersihan sekolah. Dan yang terakhir adalah Renggo Khadafi, yang tewas setelah dipukuli kakak kelasnya yang juga masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Belum lagi kekerasan yang justru dilakukan oleh orang terdekat di keluarga terhadap anak. Anak-anak memang rentan menjadi korban karena posisinya, baik secara fisik maupun nonfisik lebih inferior dibandingkan orang yang lebih dewasa. Kasarnya, anak-anak lebih berpeluang menjadi objek penderita karena memang posisinya yang sulit untuk melakukan perlawanan.
Dalam beberapa kasus di atas, anak-anak yang menjadi korban seolah hanya bisa pasrah terhadap tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual. Pertanyaannya siapa yang bisa melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban? Tentu yang utama menjadi pelindung anak-anak adalah orang terdekatnya.
Orang tua, saudara, ataupun guru mereka di sekolah adalah garda paling depan untuk melindungi anak-anak menjadi korban. orang-orang terdekat menjadi pelindung utama, karena anak-anak tidak akan lepas dari lingkungan sosial.
Mencegah anak-anak untuk tidak berinteraksi dengan lingkungan sosial bukan sebuah tindakan yang tepat juga karena anak-anak bertumbuh kembang di lingkungan sosial. Akan sulit mendidik anak-anak dengan cara mengarantina mereka di rumah dan sekolah saja. Pengawasan terhadap anak-anak oleh orang-orang terdekat menjadi penting karena berinteraksi dengan lingkungan sosial tak bisa dihindarkan.
Orang tua maupun guru harus pintar-pintar memberikan pengawasan secara teliti agar anak-anak yang melakukan interaksi sosial terhindar dari tindak kekerasan. Bak mengikat anak-anak dengan tali namun tidak menariknya secara kuat.
Tali terkadang harus dikendurkan dan bisa ditarik kencang sesuai kebutuhan pengawasan. Terlalu kencang menarik berarti terlalu menjauhkan anak-anak dari lingkungan sosial. Tetapi terlalu mengendurkan tali juga, berarti sekadar memasrahkan anak-anak kita dibentuk hanya oleh lingkungan sosial.
Pengawasan penting yang dilakukan oleh orang tua dan guru adalah bentuk komunikasi dua arah. Meluangkan waktu beberapa saat untuk melakukan komunikasi intens dengan anak-anak menjadi modal penting untuk pengawasan. Bahkan jika perlu, anakanak dilibatkan dalam keputusan-keputusan kecil dalam keluarga.
Dengan sedikit melibatkan anak-anak dalam persoalan keluarga, seolah menjadikan anak-anak seperti sosok yang dibutuhkan dalam keluarga. ”Mengorangkan” anak-anak menjadi penting agar mereka juga sesuatu yang dilakukan di rumah. Hal yang sepele untuk pengambilan keputusan ketika mengajak anak-anak jalan ke luar rumah, akan lebih baik jika anak-anak juga dimintai pendapat.
Dan masih banyak hal kecil yang bisa dilakukan. Namun, saat ini banyak yang terjadi justru orang tua sibuk dengan kegiatannya sendiri dan sekadar memberikan kebutuhan jasmani kepada anak-anak. Akibatnya, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan luar tanpa kendali orang tua.
Anak-anak justru merasa bahagia keluar dari lingkungan rumah atau lebih banyak menghabiskan waktunya bermain di lingkungan luar. Akibatnya pengawasan menjadi lemah, sedangkan di sisi lain anakanak masih belum mampu melindungi diri mereka secara baik.
Beberapa anak taman kanak-kanak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas cleaning service. Berikutnya adalah kasus Emon dari Sukabumi. Puluhan bahkan banyak yang memperkirakan korban mencapai ratusan. Lagi-lagi yang menjadi korban Emon adalah anak-anak.
Sedangkan di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), kasus seksual mirip kasus di JIS juga terjadi. Siswa SD Charitas Batam menjadi korban kekerasan seksual oleh petugas kebersihan sekolah. Dan yang terakhir adalah Renggo Khadafi, yang tewas setelah dipukuli kakak kelasnya yang juga masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Belum lagi kekerasan yang justru dilakukan oleh orang terdekat di keluarga terhadap anak. Anak-anak memang rentan menjadi korban karena posisinya, baik secara fisik maupun nonfisik lebih inferior dibandingkan orang yang lebih dewasa. Kasarnya, anak-anak lebih berpeluang menjadi objek penderita karena memang posisinya yang sulit untuk melakukan perlawanan.
Dalam beberapa kasus di atas, anak-anak yang menjadi korban seolah hanya bisa pasrah terhadap tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual. Pertanyaannya siapa yang bisa melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban? Tentu yang utama menjadi pelindung anak-anak adalah orang terdekatnya.
Orang tua, saudara, ataupun guru mereka di sekolah adalah garda paling depan untuk melindungi anak-anak menjadi korban. orang-orang terdekat menjadi pelindung utama, karena anak-anak tidak akan lepas dari lingkungan sosial.
Mencegah anak-anak untuk tidak berinteraksi dengan lingkungan sosial bukan sebuah tindakan yang tepat juga karena anak-anak bertumbuh kembang di lingkungan sosial. Akan sulit mendidik anak-anak dengan cara mengarantina mereka di rumah dan sekolah saja. Pengawasan terhadap anak-anak oleh orang-orang terdekat menjadi penting karena berinteraksi dengan lingkungan sosial tak bisa dihindarkan.
Orang tua maupun guru harus pintar-pintar memberikan pengawasan secara teliti agar anak-anak yang melakukan interaksi sosial terhindar dari tindak kekerasan. Bak mengikat anak-anak dengan tali namun tidak menariknya secara kuat.
Tali terkadang harus dikendurkan dan bisa ditarik kencang sesuai kebutuhan pengawasan. Terlalu kencang menarik berarti terlalu menjauhkan anak-anak dari lingkungan sosial. Tetapi terlalu mengendurkan tali juga, berarti sekadar memasrahkan anak-anak kita dibentuk hanya oleh lingkungan sosial.
Pengawasan penting yang dilakukan oleh orang tua dan guru adalah bentuk komunikasi dua arah. Meluangkan waktu beberapa saat untuk melakukan komunikasi intens dengan anak-anak menjadi modal penting untuk pengawasan. Bahkan jika perlu, anakanak dilibatkan dalam keputusan-keputusan kecil dalam keluarga.
Dengan sedikit melibatkan anak-anak dalam persoalan keluarga, seolah menjadikan anak-anak seperti sosok yang dibutuhkan dalam keluarga. ”Mengorangkan” anak-anak menjadi penting agar mereka juga sesuatu yang dilakukan di rumah. Hal yang sepele untuk pengambilan keputusan ketika mengajak anak-anak jalan ke luar rumah, akan lebih baik jika anak-anak juga dimintai pendapat.
Dan masih banyak hal kecil yang bisa dilakukan. Namun, saat ini banyak yang terjadi justru orang tua sibuk dengan kegiatannya sendiri dan sekadar memberikan kebutuhan jasmani kepada anak-anak. Akibatnya, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan luar tanpa kendali orang tua.
Anak-anak justru merasa bahagia keluar dari lingkungan rumah atau lebih banyak menghabiskan waktunya bermain di lingkungan luar. Akibatnya pengawasan menjadi lemah, sedangkan di sisi lain anakanak masih belum mampu melindungi diri mereka secara baik.
(nfl)