Kekerasan di STIP

Senin, 28 April 2014 - 06:49 WIB
Kekerasan di STIP
Kekerasan di STIP
A A A
TINDAKAN kekerasan di lembaga pendidikan tinggi yang menyebabkan korban jiwa terjadi lagi. Seorang taruna yunior Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Dimas Dikita Handoko, 19, tewas setelah dipukuli dan dianiaya tujuh taruna seniornya.

Adapun enam taruna yunior terluka pada kejadian yang sama Jumat lalu (25/4) itu. Lokasi penganiayaan terjadi di rumah kos salah seorang tersangka yang biasa jadi posko berkumpulnya taruna-taruna senior untuk memberi ìpelajaranî kepada taruna yuniornya.

Menurut catatan, peristiwa mengenaskan demikian bukan kali pertama terjadi. Hal serupa, yakni arogansi taruna senior kepada yunior, juga terjadi pada 12 Mei 2008 dan 10 November 2008. Pada 9 Februari 2010 beredar luas video penganiayaan taruna yunior STIP oleh kakak angkatan sendiri.

Mengapa kejadian seperti ini terus berulang? Apakah ini fenomena gunung es, kelihatan sedikit di permukaan tapi sebenarnya banyak yang belum terungkap? Kampus adalah wilayah akademis dan sakral yang seharusnya tidak menjadi ajang persemaian kekerasan.

Kelak taruna yunior yang jadi korban kekerasan para senior itu akan melampiaskan dendam kepada yunior di bawahnya lagi, begitu seterusnya sehingga budaya aniaya ini terus terpelihara alias lestari.

Ada beberapa hal yang membuat kekerasan seperti ini terus berulang, di antaranya lemahnya pengawasan, punishment kepada para pelaku yang terlalu ringan, pola hubungan senior yunior yang ganjil.

Lingkaran setan yang menyebabkan kelestarian aksi kekerasan ini harus diputus bersama-sama baik oleh penanggung jawab sekolah, kepolisian maupun masyarakat. Pola rekrutmen taruna juga harus diubah dan muatan-muatan kurikulum kedisiplinan yang disalahgunakan harus diperbaiki atau diganti.

Penanggung jawab sekolah, akademisi, dan perwakilan masyarakat perlu duduk bersama untuk mengevaluasi sistem di dalam. Tidak hanya di STIP, tapi semua sekolah tinggi atau kampus yang sudah memiliki catatan-catatan khusus tentang kekerasan harus dievaluasi. Potret lembaga pendidikan yang sedang buram ini harus segera dibersihkan.

Memang secara persentase kampus maupun sekolah tinggi yang di dalamnya memelihara kultur kekerasan tidak terlalu banyak. Kita belum tahu apakah ada unsur kesengajaan melestarikan kultur kekerasan itu untuk tujuan tertentu atau ada sebab lain yang lebih spesifik yang mengondisikan para peserta didik bertindak seperti itu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki peran besar untuk mengikis praktik-praktik kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan. Meskipun tidak semua sekolah tinggi berada di bawah pembinaan Kemendikbud, paling tidak harus ada evaluasi terhadap masalah ini. Bayangkan jika kejadian demikian dibiarkan dengan penyelesaian kasus per kasus saja.

Sangat besar kemungkinan akan terus berulang. Atau sebenarnya korban lain dari aksi-aksi seperti ini banyak yang tidak mau melapor ke polisi karena takut ancaman senior atau berupaya menutupi aib sekolah mereka.

Yang paling penting dilakukan sekarang adalah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang menaungi STIP harus segera membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap kejadian memilukan itu bekerja sama dengan kepolisian, masyarakat, dan para taruna.

Temuan-temuan tim khusus ini harus disampaikan secara transparan kepada publik untuk menjawab kekhawatiran keluarga korban dan meyakinkan para orang tua mahasiswa bahwa kekerasan tidak akan terulang kembali. Harus ada kesungguhan dan ketegasan pihak Kemenhub dalam kasus ini. Jangan sampai kasus yang mencoreng dunia pendidikan kita ini justru dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja oleh kalangan internal STIP sendiri.

Jika persepsinya sudah seperti itu, berarti tim yang lebih luas harus turun tangan untuk mengevaluasi STIP.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7532 seconds (0.1#10.140)