Pengelolaan anggaran lemah
A
A
A
KERUGIAN negara akibat kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundangundangan masih saja terjadi, meski pemerintah terus-menerus mengingatkan agar pengelola keuangan negara selalu taat asas agar tidak terjadi penyimpangan.
Peringatan itu seperti angin lalu saja bila mengaitkan penemuan fakta lapangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Awal pekan ini, BPK telah membeberkan laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II pada 2013 yang mengungkapkan 10.966 kasus dengan kerugian negara senilai Rp13,96 triliun. Kelalaian pengelola keuangan negara itu harus ditindaklanjuti, jangan sampai hasil temuan BPK hanya mengendap di laci.
Dari puluhan ribu kasus tersebut, BPK menemukan dari hasil pemeriksaan terhadap entitas di lingkungan pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan lembaga atau instansi yang mengelola keuangan negara. BPK merinci sebanyak 3.452 kasus senilai Rp9,24 triliun berdampak finansial yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan.
Objek yang bermasalah dari temuan BPK sebagian besar sudah menjadi rahasia publik. Artinya, tanpa audit BPK, pihak berwenang seharusnya sudah bisa membereskan kasus tersebut. Terdapat 1.840 kasus yang menimbulkan kerugian senilai Rp1,78 triliun, potensi kerugian senilai Rp4,83 triliun untuk 586 kasus, dan 1.026 kasus kekurangan penerimaan senilai Rp2,63 triliun.
Selain itu, ditemukan pula 1.782 kasus kelemahan administrasi dan 2.257 kasus ketidakefisienan senilai Rp4,72 triliun. Sepanjang proses pemeriksaan, pihak BPK mengungkapkan sejumlah entitas terperiksa sudah menindaklanjuti hasil pemeriksaan dengan melakukan penyetoran ke kas negara dan perusahaan sekitar Rp173,55 miliar.
Beberapa kasus yang akrab di telinga publik di antaranya sejumlah proyek di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), salah satu proyek yang disasar BPK adalah proyek jalan jalur pantura untuk wilayah Ciasem–Pamanukan, Jawa Barat. BPK menemukan kelemahan pelaksanaan proyek melalui kontrak berbasis kinerja yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp106,96 miliar.
Anggaran proyek jalan Ciasem–Pamanukan sepanjang 18,5 kilometer berasal dari anggaran negara dengan tahun jamak selama tiga tahun yang dimulai sejak 2011 lalu. Kasus lainnya yang disorot BPK adalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan oleh delapan kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Kasus itu berdampak pada kekurangan penerimaan negara yang mencapai Rp994,80 miliar.
Hal ini terjadi karena pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dinilai tidak maksimal menjalankan tugas. Sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, SKK Migas dinilai melanggar kepatuhan dengan membebankan biaya yang tidak tepat untuk cost recovery. Hal itu berdampak pada penurunan nilai bagi hasil produksi migas.
Tentu, masih banyak kasus lainnya yang terus menggerogoti anggaran negara. Yang harus dicermati, modus penyelewengan keuangan negara semakin canggih seiring dengan perkembangan teknologi, sehingga untuk menelisiknya juga dibutuhkan keahlian khusus. Karena itu, BPK juga harus mengembangkan pola pengusutan yang tidak manual lagi. Langkah BPK membentuk pusat data adalah salah satu solusi yang tepat.
Pusat data yang didukung teknologi canggih kabarnya bisa memantau setiap transaksi keuangan negara di pusat dan daerah secara lengkap. Persoalannya, sejauh mana pihak berwenang menindaklanjuti setiap temuan BPK yang merugikan negara. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau hasil audit BPK sering kali hanya sekadar informasi bahwa terjadi pelanggaran pengelolaan keuangan negara. Hal ini masih menjadi persoalan krusial yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Sekadar ilustrasi saja, kalau belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp2.000 triliun—saat ini APBN 2014 sebesar Rp1.842 triliun—terjadi kebocoran sekitar 1% saja, maka nilainya sudah mencapai triliunan. Bisa dibayangkan, kabarnya kebocoran APBN selama ini berkisar antara 20% hingga 30% berapa anggaran terbuang sia-sia.
Peringatan itu seperti angin lalu saja bila mengaitkan penemuan fakta lapangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Awal pekan ini, BPK telah membeberkan laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II pada 2013 yang mengungkapkan 10.966 kasus dengan kerugian negara senilai Rp13,96 triliun. Kelalaian pengelola keuangan negara itu harus ditindaklanjuti, jangan sampai hasil temuan BPK hanya mengendap di laci.
Dari puluhan ribu kasus tersebut, BPK menemukan dari hasil pemeriksaan terhadap entitas di lingkungan pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan lembaga atau instansi yang mengelola keuangan negara. BPK merinci sebanyak 3.452 kasus senilai Rp9,24 triliun berdampak finansial yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan.
Objek yang bermasalah dari temuan BPK sebagian besar sudah menjadi rahasia publik. Artinya, tanpa audit BPK, pihak berwenang seharusnya sudah bisa membereskan kasus tersebut. Terdapat 1.840 kasus yang menimbulkan kerugian senilai Rp1,78 triliun, potensi kerugian senilai Rp4,83 triliun untuk 586 kasus, dan 1.026 kasus kekurangan penerimaan senilai Rp2,63 triliun.
Selain itu, ditemukan pula 1.782 kasus kelemahan administrasi dan 2.257 kasus ketidakefisienan senilai Rp4,72 triliun. Sepanjang proses pemeriksaan, pihak BPK mengungkapkan sejumlah entitas terperiksa sudah menindaklanjuti hasil pemeriksaan dengan melakukan penyetoran ke kas negara dan perusahaan sekitar Rp173,55 miliar.
Beberapa kasus yang akrab di telinga publik di antaranya sejumlah proyek di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), salah satu proyek yang disasar BPK adalah proyek jalan jalur pantura untuk wilayah Ciasem–Pamanukan, Jawa Barat. BPK menemukan kelemahan pelaksanaan proyek melalui kontrak berbasis kinerja yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp106,96 miliar.
Anggaran proyek jalan Ciasem–Pamanukan sepanjang 18,5 kilometer berasal dari anggaran negara dengan tahun jamak selama tiga tahun yang dimulai sejak 2011 lalu. Kasus lainnya yang disorot BPK adalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan oleh delapan kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Kasus itu berdampak pada kekurangan penerimaan negara yang mencapai Rp994,80 miliar.
Hal ini terjadi karena pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dinilai tidak maksimal menjalankan tugas. Sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, SKK Migas dinilai melanggar kepatuhan dengan membebankan biaya yang tidak tepat untuk cost recovery. Hal itu berdampak pada penurunan nilai bagi hasil produksi migas.
Tentu, masih banyak kasus lainnya yang terus menggerogoti anggaran negara. Yang harus dicermati, modus penyelewengan keuangan negara semakin canggih seiring dengan perkembangan teknologi, sehingga untuk menelisiknya juga dibutuhkan keahlian khusus. Karena itu, BPK juga harus mengembangkan pola pengusutan yang tidak manual lagi. Langkah BPK membentuk pusat data adalah salah satu solusi yang tepat.
Pusat data yang didukung teknologi canggih kabarnya bisa memantau setiap transaksi keuangan negara di pusat dan daerah secara lengkap. Persoalannya, sejauh mana pihak berwenang menindaklanjuti setiap temuan BPK yang merugikan negara. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau hasil audit BPK sering kali hanya sekadar informasi bahwa terjadi pelanggaran pengelolaan keuangan negara. Hal ini masih menjadi persoalan krusial yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Sekadar ilustrasi saja, kalau belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp2.000 triliun—saat ini APBN 2014 sebesar Rp1.842 triliun—terjadi kebocoran sekitar 1% saja, maka nilainya sudah mencapai triliunan. Bisa dibayangkan, kabarnya kebocoran APBN selama ini berkisar antara 20% hingga 30% berapa anggaran terbuang sia-sia.
(nfl)