Antara pengaruh Prabowo dengan Jokowi effect
Sabtu, 12 April 2014 - 03:01 WIB

Antara pengaruh Prabowo dengan Jokowi effect
A
A
A
Sindonews.com - Prediksi bahwa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mampu meningkatkan perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014, ternyata tak terbukti.
Dosen Psikologi dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen mengatakan, effect Jokowi yang dikungkapkan berbagai lembaga survei, ternyata pepesan kosong belaka.
"Meski menjadi pemenang, PDIP hanya mampu meraih suara 19 persen, selaras dengan perkiraan hasil survei, sebelum Jokowi resmi di deklarasikan menjadi capres PDIP," kata Dewi dalam keterangan resminya, Jumat 11 April 2014.
Bahkan, menurut pakar branding dan penulis buku 'Personal Branding, Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik' ini, justru partai yang berbasis ideologi Islam yang sebelumnya diperkirakan ditenggelamkan oleh ketokohan Jokowi, justru meraih hasil yang menggembirakan dengan kenaikan perolehan suara signifikan. Kondisi ini, ujar dia, membuat banyak orang terkejut.
"Publik membandingkan dengan Prabowo effect yang secara kasat mata hasilnya terlihat jauh lebih baik dibanding Jokowi effect dimana Gerindra yang pada Pemilu 2009 meraih 4,46 persen secara nasional, saat ini menurut quick count menempati urutan ke tiga dengan meraih suara di kisaran 11 sampai 12 persen," tuturnya.
Dari berbagai analisa, lanjut dia, ada kenyataan yang luput dari mata pengamat. "Yaitu kejelian dari Prabowo Subianto untuk memilih orang-orang komunikasi yang berada di barisan belakangnya," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemilihan orang-orang yang tepat untuk memudahkan komunikasi antara media dengan Prabowo juga merupakan kunci penting dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya. "Tim media dan komunikasi Prabowo terlihat bekerja maksimal melalui berbagai media termasuk sosial media yang dulunya dikuasai oleh Jokowi," imbuhnya.
Sehingga, sambung dia, personal branding Prabowo sebagai pribadi yang bersikap tegas terhadap apapun, antikorupsi, jiwa sosialnya yang sangat tinggi, serta konsep ekonominya yang sangat jelas untuk memakmurkan rakyat yang kuat, secara terus menerus dikomunikasikan dengan baik dan konsisten kepada swing voters sampai hari H pencoblosan.
"Rupanya hal ini yang tidak disadari oleh Jokowi dan tim pendukungnya dari PDIP. Bisa jadi mereka sama sekali tidak mempelajari bagaimana Jokowi berhasil dalam pilkada DKI yang lalu. Mereka sudah merasa di atas angin karena menganggap Jokowi ‘media darling’ serta terbuai dengan hasil survei," kata dia.
Menurut dia, tim pendukung Jokowi juga tidak terlihat melakukan upaya yang nyata, sehingga pemilih tidak mendapat informasi yang cukup. Dia mengatakan, pada saat-saat akhir jelang kampanye dimana mulai ada pergeseran persepsi masyarakat terhadap figur Jokowi yang disebut sebagai capres boneka dan selalu ‘manut’ pada Mega.
"Padahal situasi dan kondisi yang ‘rawan’ seharusnya disikapi dengan cerdas oleh tim, tapi kenyataannya tidak disadari oleh tim Jokowi sehingga pembiaran ini akhirya berharga mahal dengan tidak efektifnya personal brand Jokowi terhadap PDIP di Pileg 2014," pungkasnya.
Dosen Psikologi dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen mengatakan, effect Jokowi yang dikungkapkan berbagai lembaga survei, ternyata pepesan kosong belaka.
"Meski menjadi pemenang, PDIP hanya mampu meraih suara 19 persen, selaras dengan perkiraan hasil survei, sebelum Jokowi resmi di deklarasikan menjadi capres PDIP," kata Dewi dalam keterangan resminya, Jumat 11 April 2014.
Bahkan, menurut pakar branding dan penulis buku 'Personal Branding, Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik' ini, justru partai yang berbasis ideologi Islam yang sebelumnya diperkirakan ditenggelamkan oleh ketokohan Jokowi, justru meraih hasil yang menggembirakan dengan kenaikan perolehan suara signifikan. Kondisi ini, ujar dia, membuat banyak orang terkejut.
"Publik membandingkan dengan Prabowo effect yang secara kasat mata hasilnya terlihat jauh lebih baik dibanding Jokowi effect dimana Gerindra yang pada Pemilu 2009 meraih 4,46 persen secara nasional, saat ini menurut quick count menempati urutan ke tiga dengan meraih suara di kisaran 11 sampai 12 persen," tuturnya.
Dari berbagai analisa, lanjut dia, ada kenyataan yang luput dari mata pengamat. "Yaitu kejelian dari Prabowo Subianto untuk memilih orang-orang komunikasi yang berada di barisan belakangnya," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemilihan orang-orang yang tepat untuk memudahkan komunikasi antara media dengan Prabowo juga merupakan kunci penting dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya. "Tim media dan komunikasi Prabowo terlihat bekerja maksimal melalui berbagai media termasuk sosial media yang dulunya dikuasai oleh Jokowi," imbuhnya.
Sehingga, sambung dia, personal branding Prabowo sebagai pribadi yang bersikap tegas terhadap apapun, antikorupsi, jiwa sosialnya yang sangat tinggi, serta konsep ekonominya yang sangat jelas untuk memakmurkan rakyat yang kuat, secara terus menerus dikomunikasikan dengan baik dan konsisten kepada swing voters sampai hari H pencoblosan.
"Rupanya hal ini yang tidak disadari oleh Jokowi dan tim pendukungnya dari PDIP. Bisa jadi mereka sama sekali tidak mempelajari bagaimana Jokowi berhasil dalam pilkada DKI yang lalu. Mereka sudah merasa di atas angin karena menganggap Jokowi ‘media darling’ serta terbuai dengan hasil survei," kata dia.
Menurut dia, tim pendukung Jokowi juga tidak terlihat melakukan upaya yang nyata, sehingga pemilih tidak mendapat informasi yang cukup. Dia mengatakan, pada saat-saat akhir jelang kampanye dimana mulai ada pergeseran persepsi masyarakat terhadap figur Jokowi yang disebut sebagai capres boneka dan selalu ‘manut’ pada Mega.
"Padahal situasi dan kondisi yang ‘rawan’ seharusnya disikapi dengan cerdas oleh tim, tapi kenyataannya tidak disadari oleh tim Jokowi sehingga pembiaran ini akhirya berharga mahal dengan tidak efektifnya personal brand Jokowi terhadap PDIP di Pileg 2014," pungkasnya.
(maf)