Kiprah kebangsaan kaum muda
A
A
A
POSISI generasi muda khusus pemilih pemula dalam penyelenggaraan Pemilu yang secara rutin berlangsung lima tahun sekali masih diposisikan sebagai objek dalam perebutan suara partai politik. Meskipun jumlahnya besar dan signifikan dalam perolehan suaranya, tetapi pendekatan partai kepada pemilih pemula masih tidak dewasa dan tidak memberdayakan, bahkan menjurus frontal atau anarkis. Permainan money politic pun dilakukan untuk memenangkan hasil pemilu khususnya dalam Pemilihan Anggota Legislatif DPR dan DPRD. Money politic ini semakin marak mendekati Pemilu 2014.
Padahal, kalau kita melihat potensi suara generasi muda khususnya pemilih pemula dalam pemilu-pemilu sebelumnya seperti Pemilu 2009 ataupun Pemilu 2004, memiliki jumlah suara paling banyak di setiap putaran pemilu. Bahkan suara pemilih pemula semakin diperhitungkan dan menjadi target kemenangan dalam setiap gelaran demokrasi di Indonesia.
Sekarang ini, pendekatan partai politik yang digunakan oleh setiap partai politik yakni memfokuskan penguatan paradigma pergerakan pemilih pemula agar tidak apatis dalam pusaran Pemilu 2014, baik dalam tingkat Pemilu Legisltif DPR/ DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Secara historis, kaum generasi muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan perjalanan kemerdekaan bangsa ini. Bahkan dari zaman Soekarno, peran pemuda sangat dibutuhkan untuk kemajuan suatu negara. Ada tutur Soekarno yang sangat terkenal, “Berikan Aku 10 Pemuda maka Aku akan Guncangkan Dunia”.
Slogan tersebut menggambarkan pentingnya peran pemuda dalam kemajuan negara. Pemuda adalah harapan bangsa, dengan masa depan bangsa ada di pundak mereka. Generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa kedepannya. Setiap generasi muda memiliki potensi untuk melakukan perubahan baik dalam hal yang kecil tetapi akan berdampak yang besar untuk perubahan suatu bangsa.
Renungan setelah 15 tahun reformasi dan tantangan bangsa sekarang ini, adanya hambatan dalam proses konsolidasi demokrasi di partai politik menjadi persoalan yang menyebabkan sistem demokrasi Indonesia berjalan stagnan. Permainan politik dan pergerakan politik sekarang ini menjadi persoalan dalam paradigma pergerakan generasi muda, khususnya para pemilih pemula. Bahkan, permainan politik berbasis transaksional terhadap kelompok elite partai lebih dominan dibandingkan dari fungsi-fungsi ataupun platform partai di masyarakat.
Sekarang ini, partai tidak bermetamorfosis menjadi institusi kuat, dewasa dan modern dalam pergerakannya, melainkan melakukannya dengan basis feodalisme yang menjadi corak lama dari sebuah permainan politik. Bahkan lahirnya partai-partai baru dalam setiap pemilu di Indonesia menggambarkan adanya ketidakdewasaan partai politik, adanya rasa sakit hati atas kekalahan dalam setiap konvensi. Ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara pemilih (masyarakat) dengan partai politik, dan adanya sikap apatis bahkan apolitis masyarakat khususnya generasi muda terhadap partai.
Dampaknya, identifikasi atau rasa memiliki partai politik ke dalam masyarakat menjadi lemahnya dan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Ketidakpercayaan generasi muda terhadap partai mengakibatkan sikap acuh dan apatis terhadap perkembangan ataupun pergerakan politik. Selain itu, adanya persepsi buruk terhadap partai politik dalam penyampaian di dalam media massa ataupun media sosial.
Banyaknya informasi dari media massa yang menjadikan kaum muda bersikap skeptis atas isu yang terjadi menuju pemilu. Kasus-kasus yang menjadi rutinitas bahkan menjadi ritual yang di-publish menuju pemilihan pesta demokrasi akbar (pemilu) seperti korupsi lintas partai, perselingkuhan elit partai, terpampang jelas di media. Kurangnya pengetahuan ataupun adanya penyelenggaraan pendidikan politik di basis-basis pemilih muda seperti dialog kebangsaan mengenai pergerakan pemilih pemula menuju Pemilu 2014, mempublikasikan tulisan ataupun opini terkait harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok-kelompok politik dalam aktivitas yang memberdayakan generasi muda.
Selain itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menganalisis respon opini publik terkait kebijakan publik seputar pemilu, dan mengintensifkan diskusi pemilu melalui beragam teknologi komunikasi politik.
Saatnya kaum muda menjadi lebih memberikan pencerahan, dan memiliki sikap yang tegas berbasis pemahaman politik yang memadai dalam menentukan perolehan suara di Pemilihan Presiden 2014. Satu suara generasi muda akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Pemilih pemula bukan lagi massa mengambang yang mudah dimanipulasi oleh institusi manapun, karena pemilih pemula adalah yang menentukan suatu kebijakan dalam suatu kebijakan pemerintahan.
VANIA UTAMIE SUBIAKTO
Peneliti Muda The Political Literacy Institute
Padahal, kalau kita melihat potensi suara generasi muda khususnya pemilih pemula dalam pemilu-pemilu sebelumnya seperti Pemilu 2009 ataupun Pemilu 2004, memiliki jumlah suara paling banyak di setiap putaran pemilu. Bahkan suara pemilih pemula semakin diperhitungkan dan menjadi target kemenangan dalam setiap gelaran demokrasi di Indonesia.
Sekarang ini, pendekatan partai politik yang digunakan oleh setiap partai politik yakni memfokuskan penguatan paradigma pergerakan pemilih pemula agar tidak apatis dalam pusaran Pemilu 2014, baik dalam tingkat Pemilu Legisltif DPR/ DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Secara historis, kaum generasi muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan perjalanan kemerdekaan bangsa ini. Bahkan dari zaman Soekarno, peran pemuda sangat dibutuhkan untuk kemajuan suatu negara. Ada tutur Soekarno yang sangat terkenal, “Berikan Aku 10 Pemuda maka Aku akan Guncangkan Dunia”.
Slogan tersebut menggambarkan pentingnya peran pemuda dalam kemajuan negara. Pemuda adalah harapan bangsa, dengan masa depan bangsa ada di pundak mereka. Generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa kedepannya. Setiap generasi muda memiliki potensi untuk melakukan perubahan baik dalam hal yang kecil tetapi akan berdampak yang besar untuk perubahan suatu bangsa.
Renungan setelah 15 tahun reformasi dan tantangan bangsa sekarang ini, adanya hambatan dalam proses konsolidasi demokrasi di partai politik menjadi persoalan yang menyebabkan sistem demokrasi Indonesia berjalan stagnan. Permainan politik dan pergerakan politik sekarang ini menjadi persoalan dalam paradigma pergerakan generasi muda, khususnya para pemilih pemula. Bahkan, permainan politik berbasis transaksional terhadap kelompok elite partai lebih dominan dibandingkan dari fungsi-fungsi ataupun platform partai di masyarakat.
Sekarang ini, partai tidak bermetamorfosis menjadi institusi kuat, dewasa dan modern dalam pergerakannya, melainkan melakukannya dengan basis feodalisme yang menjadi corak lama dari sebuah permainan politik. Bahkan lahirnya partai-partai baru dalam setiap pemilu di Indonesia menggambarkan adanya ketidakdewasaan partai politik, adanya rasa sakit hati atas kekalahan dalam setiap konvensi. Ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara pemilih (masyarakat) dengan partai politik, dan adanya sikap apatis bahkan apolitis masyarakat khususnya generasi muda terhadap partai.
Dampaknya, identifikasi atau rasa memiliki partai politik ke dalam masyarakat menjadi lemahnya dan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Ketidakpercayaan generasi muda terhadap partai mengakibatkan sikap acuh dan apatis terhadap perkembangan ataupun pergerakan politik. Selain itu, adanya persepsi buruk terhadap partai politik dalam penyampaian di dalam media massa ataupun media sosial.
Banyaknya informasi dari media massa yang menjadikan kaum muda bersikap skeptis atas isu yang terjadi menuju pemilu. Kasus-kasus yang menjadi rutinitas bahkan menjadi ritual yang di-publish menuju pemilihan pesta demokrasi akbar (pemilu) seperti korupsi lintas partai, perselingkuhan elit partai, terpampang jelas di media. Kurangnya pengetahuan ataupun adanya penyelenggaraan pendidikan politik di basis-basis pemilih muda seperti dialog kebangsaan mengenai pergerakan pemilih pemula menuju Pemilu 2014, mempublikasikan tulisan ataupun opini terkait harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok-kelompok politik dalam aktivitas yang memberdayakan generasi muda.
Selain itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menganalisis respon opini publik terkait kebijakan publik seputar pemilu, dan mengintensifkan diskusi pemilu melalui beragam teknologi komunikasi politik.
Saatnya kaum muda menjadi lebih memberikan pencerahan, dan memiliki sikap yang tegas berbasis pemahaman politik yang memadai dalam menentukan perolehan suara di Pemilihan Presiden 2014. Satu suara generasi muda akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Pemilih pemula bukan lagi massa mengambang yang mudah dimanipulasi oleh institusi manapun, karena pemilih pemula adalah yang menentukan suatu kebijakan dalam suatu kebijakan pemerintahan.
VANIA UTAMIE SUBIAKTO
Peneliti Muda The Political Literacy Institute
(hyk)