Demokrasi di era internet
A
A
A
PERKEMBANGAN teknologi informasi saat ini semakin pesat menerjang batasan-batasan geografis. Pada tahun 1960-an, seorang pemikir, Marshall McLuhan memperkenalkan “Global Village”. Konsep ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: Extension of A Man. Ternyata prediksi Marshall McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang menjadi kenyataan.
Kemudian, apakah ada relevansinya perkembangan teknologi (internet) dengan sistem demokrasi di Indonesia? Tentu ada, salah satu penggunaan internet juga merambah ke domain politik, baik dilakukan kandidat atau partai politik yang tengah bersosialisasi maupun masyarakat untuk mengakses berita-berita politik.
Bukan rahasia lagi, bahwa semua kandidat dan partai politik untuk menjaring konstituen pada Pemilu 2014 menggunakan strategi komunikasi politik melalui internet. Apalagi sejak web 1.0 bertransformasi menjadi web 2.0 semakin menambah intensitas karena internet mampu menyediakan ruang publik yang bersifat partisipatoris. Pengembangan dan evolusi komunitas berbasis web dan hosting, seperti Facebook, Twitter, Wiki, video sharing, blog dan beragam situs lainnya mampu menjadi perekat sosial antara partai politik dan khalayak. Sehingga hubungan keduanya mennjadi lebih komunikatif.
Dari sanalah, era internet bermetamorfis menjadi cyberdemokrasi. Sistem demokrasi yang dibangun melalui kehadiran internet. Sudah dibuktikan munculnya berbagai kasus sosial maupun politik melibatkan kehadiran internet (social media) seperti gerakan facebooker untuk dukungan kepada Prita Mulyasari, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sampai kampanye politik berbasis social media yang dilakukan partai politik dan kandidat untuk memenangkan Pemilu 2014.
Jejaring sosial pada Pemilu 2014
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Ada beberapa pendekatan yang perlu dilakukan untuk menjaring pemilih pada Pemilu 2014. Pertama, kandidat dan partai politik harus intensif menggunakan jejaring sosial secara konsisten. Artinya khalayak tidak hanya dijadikan obyek tapi juga disentuh sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Kedua, membangun jejaring sosial berbasis komunitas dengan konstituennya. Komunitas ini menjadi ruang organisasi kelompok yang sangat intensif untuk berbagai keperluan pada Pemilu 2014.
ketiga, sosialisai yang terbangun dari jejaring sosial perlu disikapi dan ditindaklanjuti secara nyata melalui pertemuan dan pelatihan. Sehingga terjalin komunikasi interpersonal antara kandidat dan konstituennya. Keempat, interaksi dengan konstituen dilakukan secara kontinuitas dan konsisten, sehingga hubungan mereka tidak hanya sekedar menjelang pemilu.
Dengan demikian, di era internet para kandidat dan partai politik harus cerdas dalam melakukan strategi komunikasi politik. Mari kita gunakan internet menjadi ruang publik (public sphere) yang mencerahkan sebegai bentuk penguatan literasi politik warga.
M ROSYID
Peneliti The Political Literacy Institute
Kemudian, apakah ada relevansinya perkembangan teknologi (internet) dengan sistem demokrasi di Indonesia? Tentu ada, salah satu penggunaan internet juga merambah ke domain politik, baik dilakukan kandidat atau partai politik yang tengah bersosialisasi maupun masyarakat untuk mengakses berita-berita politik.
Bukan rahasia lagi, bahwa semua kandidat dan partai politik untuk menjaring konstituen pada Pemilu 2014 menggunakan strategi komunikasi politik melalui internet. Apalagi sejak web 1.0 bertransformasi menjadi web 2.0 semakin menambah intensitas karena internet mampu menyediakan ruang publik yang bersifat partisipatoris. Pengembangan dan evolusi komunitas berbasis web dan hosting, seperti Facebook, Twitter, Wiki, video sharing, blog dan beragam situs lainnya mampu menjadi perekat sosial antara partai politik dan khalayak. Sehingga hubungan keduanya mennjadi lebih komunikatif.
Dari sanalah, era internet bermetamorfis menjadi cyberdemokrasi. Sistem demokrasi yang dibangun melalui kehadiran internet. Sudah dibuktikan munculnya berbagai kasus sosial maupun politik melibatkan kehadiran internet (social media) seperti gerakan facebooker untuk dukungan kepada Prita Mulyasari, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sampai kampanye politik berbasis social media yang dilakukan partai politik dan kandidat untuk memenangkan Pemilu 2014.
Jejaring sosial pada Pemilu 2014
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Ada beberapa pendekatan yang perlu dilakukan untuk menjaring pemilih pada Pemilu 2014. Pertama, kandidat dan partai politik harus intensif menggunakan jejaring sosial secara konsisten. Artinya khalayak tidak hanya dijadikan obyek tapi juga disentuh sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Kedua, membangun jejaring sosial berbasis komunitas dengan konstituennya. Komunitas ini menjadi ruang organisasi kelompok yang sangat intensif untuk berbagai keperluan pada Pemilu 2014.
ketiga, sosialisai yang terbangun dari jejaring sosial perlu disikapi dan ditindaklanjuti secara nyata melalui pertemuan dan pelatihan. Sehingga terjalin komunikasi interpersonal antara kandidat dan konstituennya. Keempat, interaksi dengan konstituen dilakukan secara kontinuitas dan konsisten, sehingga hubungan mereka tidak hanya sekedar menjelang pemilu.
Dengan demikian, di era internet para kandidat dan partai politik harus cerdas dalam melakukan strategi komunikasi politik. Mari kita gunakan internet menjadi ruang publik (public sphere) yang mencerahkan sebegai bentuk penguatan literasi politik warga.
M ROSYID
Peneliti The Political Literacy Institute
(hyk)