Politik berparas perempuan
A
A
A
PEREMPUAN akan selalu menjadi topik menarik dalam perbincangan dunia politik. Potret buram kehidupannya yang kerap diterpa perlakuan diskriminatif menjadi alasan betapa nasib dan masa depan perempuan perlu diperjuangkan. Faktanya, hingga saat ini berbagai persoalan seperti kemiskinan, kekerasan, pelecehan, dan bentuk ketidakadilan lainnya masih menjadi persoalan krusial yang memunculkan prejudice bahwa perempuan merupakan warga negara kelas kedua (second class citizenship). Sejumlah kalangan berkeyakinan, persoalan tersebut bisa dihilangkan jika perempuan terlibat langsung dalam gelanggang pemutus kebijakan politik di parlemen.
Sejak lama, jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan cukup rendah. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, meski keterwakilan perempuan di parlemen pada periode 2009-2014 mencapai angka tertinggi hingga 18%, namun angka tersebut kalah jauh dari Rwanda (56,3%) dan Swedia (45%) yang juga menerapkan politik afirmasi. Indonesia hanya berada di posisi ke-65, bahkan masih di bawah Andora, New Zeland, dan Kuba. Oleh karena itu, pemilu legislatif pada 9 April mendatang harus dijadikan momentum meningkatkan keterwakilan perempuan.
Philip Green dalam Democracy: Key Concepts in Critical Theory (1993) menyebutkan, dalam sistem yang demokratis kita tidak bisa mengabaikan konsep kesetaraan dalam dunia politik. Eksistensi tentang kesetaraan bukan sesuatu yang given dari langit melainkan harus diperjuangkan secara konsisten. Dalam konteks politik, hal ini berkaitan dengan kiprah perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat menyuarakan kepentingan mereka.
Menurut Philip Green, dalam masyarakat yang demokratis hendaknya disediakan infrasruktur dan mekansime pengakuan akan adanya representasi kaum minoritas yang termarjinalkan. Karena dalam praktiknya, suatu kelompok cenderung lebih memperjuangkan kepentingan masing-masing ketimbang lantang bicara soal kelompok minoritas. Oleh karena itu, jika suatu kelompok tidak memiliki keterwakilan di parlemen maupun sektor formal lainnya, maka kelompok tersebut dapat dipastikan akan menjadi kelompok minoritas yang tidak diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan.
Pernyataan Philip Green menegaskan banyak hal. Pertama, dengan adanya representasi kaum perempuan dengan skala besar lebih memugkinkan bisa memengaruhi setiap pengambilan kebijakan politik. Serta menjadi harapan baru bahwa mereka akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya yang lama terbungkam. Kedua, perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang bisa disubordinasikan dalam kuasa maskulinitas, baik secara struktural maupun kultural. Karena pada dasarnya, prinsip kesetaraan menegasikan tentang prilaku ketidakadilan terhadap perempuan. Ketiga, konsep ini semakin memperkokoh sebuah tesis bahwa meningkatnya jumlah wakil perempuan di parlemen diharapkan mampu mengubah wajah politik yang lebih feminis.
Hal lainnya yang bisa disimpulkan dari konsep Green Philip adalah sebagai upaya menghilangkan segala bentuk kepura-puraan politik yang selama ini terbentuk. Perempuan hanya dijadikan ornamen demokrasi yang samar. Satu sisi, perempuan diberikan ruang untuk bergerak namun pada sisi lainnya perannya masih sebatas formalitas guna memenuhi politik afirmasi. Layaknya sebuah objek, perempuan hanya dijadikan komuditas politik sesaat para elite.
Oleh karena itu, kiprah dan keterwakian perempuan di parlemen bukan semata untuk memenuhi kuota politik afirmasi 30%, melainkan harus memainkan momentum guna menunjukkan kualitas mereka yang lebih substantif. Hanya melalui sistem demokrasi prosedural, kepentingan politik kaum perempuan bisa disampaikan dalam ruang-ruang keputusan politik strategis.
Anne Philips dalam The Politics of Presence (1998) mengintrodusir dua model keterwakilan politik, yaitu politik gagasan dan politik representasi. Model pertama ini megacu pada kenyataan bahwa politisi biasanya membawa dan memperjuangkan gagasan masyarakat yang diwakilinya. Namun, dalam sistem demokrasi yang mengharuskan pemilihan melalui partai politik, tak jarang pemilih justeru memilih calon wakil rakyat berdasarkan partai tanpa melihat rekam jejaknya secara ditail. Akibatnya, calon tersebut mengklaim dirinya hanya sebagai wakil partai bukan wakil rakyat yang berimplikasi diabaikannya gagasan kelompok minoritas.
Sedangkan model keterwakilan politik kedua untuk mengantisipasi tidak diakomodirnya aspirasi dan gagasan masyarakat akibat wakil rakyat yang hanya mementingkan partainya. Politik representasi menempatkan secara acak calon-calon wakil perempuan yang ingin diusung oleh setiap kelompok yang pada akhirnya dapat menyalurkan kepentingan mereka. Model kedua ini menegaskan bahwa tidak mungkin aspirasi kaum perempuan dititipkan pada segelintir elite yang lebih mementingkan partai. Tidak mungkin kepentingan kelompok minoritas tersalurkan jika tidak ada anggotanya yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan politik.
Akhirnya, keterwakilan perempuan di parlemen diharapkan mampu mengubah karut marutnya wajah politik. Nilai-nilai politik feminis seperti semangat anti korupsi, politik santun, mengedepankan etika, menjunjung tinggi moralitas akan lebih mewarnai wajah perpolitikan nasional yang pengab dengan intrik para demokrat kaum penjahat. Dalam konteks ini, politik berparas perempuan harus hadir dengan nuansanya yang lebih substantif dengan memberikan sentuhan-sentuhan politik yang lebih progresif dan revolusioner.
ADI PRAYITNO
Peneliti The Political Literacy Institute
Sejak lama, jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan cukup rendah. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, meski keterwakilan perempuan di parlemen pada periode 2009-2014 mencapai angka tertinggi hingga 18%, namun angka tersebut kalah jauh dari Rwanda (56,3%) dan Swedia (45%) yang juga menerapkan politik afirmasi. Indonesia hanya berada di posisi ke-65, bahkan masih di bawah Andora, New Zeland, dan Kuba. Oleh karena itu, pemilu legislatif pada 9 April mendatang harus dijadikan momentum meningkatkan keterwakilan perempuan.
Philip Green dalam Democracy: Key Concepts in Critical Theory (1993) menyebutkan, dalam sistem yang demokratis kita tidak bisa mengabaikan konsep kesetaraan dalam dunia politik. Eksistensi tentang kesetaraan bukan sesuatu yang given dari langit melainkan harus diperjuangkan secara konsisten. Dalam konteks politik, hal ini berkaitan dengan kiprah perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat menyuarakan kepentingan mereka.
Menurut Philip Green, dalam masyarakat yang demokratis hendaknya disediakan infrasruktur dan mekansime pengakuan akan adanya representasi kaum minoritas yang termarjinalkan. Karena dalam praktiknya, suatu kelompok cenderung lebih memperjuangkan kepentingan masing-masing ketimbang lantang bicara soal kelompok minoritas. Oleh karena itu, jika suatu kelompok tidak memiliki keterwakilan di parlemen maupun sektor formal lainnya, maka kelompok tersebut dapat dipastikan akan menjadi kelompok minoritas yang tidak diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan.
Pernyataan Philip Green menegaskan banyak hal. Pertama, dengan adanya representasi kaum perempuan dengan skala besar lebih memugkinkan bisa memengaruhi setiap pengambilan kebijakan politik. Serta menjadi harapan baru bahwa mereka akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya yang lama terbungkam. Kedua, perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang bisa disubordinasikan dalam kuasa maskulinitas, baik secara struktural maupun kultural. Karena pada dasarnya, prinsip kesetaraan menegasikan tentang prilaku ketidakadilan terhadap perempuan. Ketiga, konsep ini semakin memperkokoh sebuah tesis bahwa meningkatnya jumlah wakil perempuan di parlemen diharapkan mampu mengubah wajah politik yang lebih feminis.
Hal lainnya yang bisa disimpulkan dari konsep Green Philip adalah sebagai upaya menghilangkan segala bentuk kepura-puraan politik yang selama ini terbentuk. Perempuan hanya dijadikan ornamen demokrasi yang samar. Satu sisi, perempuan diberikan ruang untuk bergerak namun pada sisi lainnya perannya masih sebatas formalitas guna memenuhi politik afirmasi. Layaknya sebuah objek, perempuan hanya dijadikan komuditas politik sesaat para elite.
Oleh karena itu, kiprah dan keterwakian perempuan di parlemen bukan semata untuk memenuhi kuota politik afirmasi 30%, melainkan harus memainkan momentum guna menunjukkan kualitas mereka yang lebih substantif. Hanya melalui sistem demokrasi prosedural, kepentingan politik kaum perempuan bisa disampaikan dalam ruang-ruang keputusan politik strategis.
Anne Philips dalam The Politics of Presence (1998) mengintrodusir dua model keterwakilan politik, yaitu politik gagasan dan politik representasi. Model pertama ini megacu pada kenyataan bahwa politisi biasanya membawa dan memperjuangkan gagasan masyarakat yang diwakilinya. Namun, dalam sistem demokrasi yang mengharuskan pemilihan melalui partai politik, tak jarang pemilih justeru memilih calon wakil rakyat berdasarkan partai tanpa melihat rekam jejaknya secara ditail. Akibatnya, calon tersebut mengklaim dirinya hanya sebagai wakil partai bukan wakil rakyat yang berimplikasi diabaikannya gagasan kelompok minoritas.
Sedangkan model keterwakilan politik kedua untuk mengantisipasi tidak diakomodirnya aspirasi dan gagasan masyarakat akibat wakil rakyat yang hanya mementingkan partainya. Politik representasi menempatkan secara acak calon-calon wakil perempuan yang ingin diusung oleh setiap kelompok yang pada akhirnya dapat menyalurkan kepentingan mereka. Model kedua ini menegaskan bahwa tidak mungkin aspirasi kaum perempuan dititipkan pada segelintir elite yang lebih mementingkan partai. Tidak mungkin kepentingan kelompok minoritas tersalurkan jika tidak ada anggotanya yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan politik.
Akhirnya, keterwakilan perempuan di parlemen diharapkan mampu mengubah karut marutnya wajah politik. Nilai-nilai politik feminis seperti semangat anti korupsi, politik santun, mengedepankan etika, menjunjung tinggi moralitas akan lebih mewarnai wajah perpolitikan nasional yang pengab dengan intrik para demokrat kaum penjahat. Dalam konteks ini, politik berparas perempuan harus hadir dengan nuansanya yang lebih substantif dengan memberikan sentuhan-sentuhan politik yang lebih progresif dan revolusioner.
ADI PRAYITNO
Peneliti The Political Literacy Institute
(hyk)