Kampanye dan pendidikan politik

Jum'at, 28 Februari 2014 - 15:11 WIB
Kampanye dan pendidikan...
Kampanye dan pendidikan politik
A A A
JELANG Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 yang akan jatuh pada 9 April para calon anggota legislatif (caleg) sudah mulai sibuk melakukan kampanye di daerah pemilihannya masing-masing. Selain kampanye terbuka dan melalui media massa yang memang belum boleh dilakukan, mereka telah banyak melakukan model-model kampanye lainnya seperti kampanye tertutup atau pertemuan terbatas dan lain-lain.

Kampanye sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan pendidikan politik. Dalam literatur politik, yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu proses dialogis di antara pemberi pesan dan penerima pesan (Ramlan Surbakti: 192). Pendidikan politik tentu saja berbeda dengan indoktrinasi politik di mana yang terakhir ini merupakan proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal dan baik.

Dalam konteks kampanye, pendidikan politik menekankan proses dialogis antara kandidat sebagai pemberi pesan (komunikator) yang dalam hal ini diibaratkan sebagai pendidik dengan publik sebagai penerima pesan (komunikan) sebagai peserta didik. Model kampanye yang dialogis jelas akan memberikan peluang yang lebih besar kepada publik untuk mengetahui secara langsung bagaimana visi, misi dan program kandidat. Sayangnya model kampanye seperti ini jarang sekali dimaksimalkan oleh para caleg. Hampir sulit kita menemukan para caleg yang benar-benar melakukan kampanye dialogis dengan konstituennya.

Selain dialogis, kampanye yang baik semestinya juga sangat memerhatikan etika kampanye. Misalnya, pada saat kampanye seorang kandidat harus menyampaikan pesan-pesannya dalam bahasa yang baik, santun dan sesuai norma yang berlaku, tidak menjelek-jelekkan lawan dengan maksud menjatuhkannya. Dalam konteks pemilu yang merupakan pasar bebas politik seperti sekarang kecenderungan untuk saling menjatuhkan memang kerap terjadi antar para kontestan. Banyak kasus yang terjadi di sejumlah tempat.

Namun demikian, bukan berarti menyerang lawan tidak dibolehkan dalam kampanye. Dalam kajian komunikasi politik, dimungkinkan kontestan melakukan kampanye menyerang (attacking campaign). Kampanye menyerang terbagi dua: kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Yang pertama dibolehkan karena biasanya yang diserang adalah kebijakan, sedangkan yang kedua dilarang karena yang diserang lebih banyak pada aspek personalnya dengan tujuan menjatuhkan lawan. Ironisnya, kita juga kerap menemukan model-model kampanye hitam yang dilakukan oleh sejumlah kontestan.

Sebagai khalayak, tentu kita berharap bahwa para kontestan, yakni caleg-caleg yang akan bertarung pada Pileg 2014 nanti memahami bahwa kampanye yang sedang mereka lakukan tersebut memiliki nilai pendidikan politik bagi rakyat. Justeru dengan kampanye yang menekankan pendidikan politik seperti dialogis dan berlandaskan etika inilah yang sesungguhnya mampu menumbuhkan simpati publik terhadap mereka.

IDING R HASAN
Peneliti The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1158 seconds (0.1#10.140)