Proporsional terbuka dan demokrasi substantif

Jum'at, 28 Februari 2014 - 13:43 WIB
Proporsional terbuka dan demokrasi substantif
Proporsional terbuka dan demokrasi substantif
A A A
PEMILU legislatif 2014 sudah berada di depan mata. Semua berharap, pemilu berlangsung aman, demokratis, dan transparan serta menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas, baik di pusat maupun daerah. Tetapi untuk mendapatkan anggota parlemen yang mumpuni, bukan hal mudah, dan sedikit banyak bergantung kepada sistem pemilu yang diterapkan.

Melalui pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2012, negara merespon keinginan publik untuk tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yakni sebuah sistem dimana penetapan calegnya berdasarkan mekanisme suara terbanyak. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 2009, setelah sebelumnya pasal yang mengatur sistem proporsional tertutup berdasarkan nomor urut dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 melalui judicial review dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan penetapan caleg berdasarkan nomor urut tidak sesuai dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam konstitusi Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 D Ayat 3, dan Pasal 28 I Ayat 2 UUD 1945.

Politik hukum atas sistem Pemilu 2009 dan 2014 setidaknya menandai bahwa negara berharap dengan hapusnya penetapan caleg berdasarkan nomor urut, akan memberikan kesempatan dan perlakuan sama kepada seluruh caleg dalam berkontestasi pada Pileg 2014. Seluruh kontestan dapat melakukan persaingan yang sehat dalam membangun popularitas dan elektabiltas di hadapan khalayak pemilih.

Namun kenyataannya tidak demikian. Kondisi ini justru memberikan konsekuensi sangat masif. Pasar politik menjadi lebih terbuka bagi siapa saja yang memiliki sumber daya untuk menjadi wakil rakyat. Persaingan tidak sehat antar caleg dalam internal parpol pun menjadi tidak terhindarkan.

Dari sini pula muncul kader-kader instan berlimpah uang dan popularitas yang ikut bertarung mengharap simpati rakyat. Potensi pelanggaran beriklan, money politic, dan cara-cara berpolitik dan berkampanye yang kurang mendidik diprediksi akan banyak mewarnai pesta Pemilu Legislatif 2014. Tampaknya berkah demokrasi sebagai penerapan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak tidak signifikan berkontribusi menghasilkan anggota parlemen berkualitas. Ini bisa dilihat dari postur singkat legislatif 2009-2014.

Berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), selama semester II pada 2010 hingga semester II pada 2013, sebanyak 181 anggota legislatif (DPR/DPRD) terjerat kasus korupsi. Tidak hanya perilaku korupsi, publik juga merasa tidak puas dengan kinerja dewan periode 2009-2014. Hasil survei Institut Riset Indonesia (Insis) pada 2013 menunjukkan 60,9 persen responden menilai kinerja anggota dewan tidak baik dan 16,1 persen semakin tidak baik. Adapun responden yang menilai baik hanya 20,5 persen dan 0,6 persen menilai semakin baik. Sebanyak 1,9 persen tidak menjawab. Pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik tentang buruknya kinerja anggota parlemen, yang memenuhi ruang-ruang publik, semakin melengkapi citra negatif anggota DPR/DPRD dalam benak masyarakat.

Apabila mencermati berbagai dinamika yang terjadi di dalam tubuh legislatif kita pada periode 2009-2014, menjadi pelajaran sangat berharga, yakni bagaimana sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak tidak hanya memenuhi prasyarat demokrasi prosedural, tetapi juga menjangkau demokrasi substantif, dengan menghasilkan legislator tangguh, berkualitas dan berintegritas. Sistem yang dianggap baik sepatutnya dapat menghasilkan produk yang baik dan ini sepantasnya pula tercermin ketika rakyat Indonesia memilih sekitar 200 ribu caleg untuk duduk 19.699 kursi legislatif pada 9 April 2014 nanti.

SOLEH MOHAMAD
Peneliti Bidang Hukum The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.7798 seconds (0.1#10.140)