Memburu nasabah tajir
A
A
A
KESULITAN merealisasikan target pajak dari tahun ke tahun, pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak ingin memburu nasabah tajir perbankan yang ditengarai belum tersentuh sama sekali.
Keinginan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany untuk ”menangkap” nasabah kakap itu sepertinya tidak bisa dibendung lagi. Sejak pembahasan amendemen Undang-Undang (UU) Perbankan bergulir di Komisi XI DPR RI, Fuad tidak ingin kecolongan dan berharap amendemen regulasi tersebut bisa mengakomodasi kepentingan Ditjen Pajak, dengan mengabulkan wewenang membuka data rekening nasabah perbankan. Nasabah perbankan yang dibidik tersebut bukanlah sembarang nasabah, melainkan nasabah yang memiliki dana diatas Rp2 miliar.
Jumlah nasabah yang memiliki dana jumbo tersebut diperkirakan tidak kurang dari 180.000 nasabah. Perjuangan Dirjen Pajak mendapat sokongan penuh dari Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri, yang berharap revisi UU Perbankan dengan mengakomodasi kewenangan Ditjen Pajak mengintip rekening nasabah kakap itu bisa terealisasi akhir tahun ini. Menkeu optimistis dengan adanya kewenangan Ditjen Pajak melihat datanasabahkaya, dipastikanmempermudahuntukmenarikpajaknya.
Selain memudahkan menarik pajak nasabah kaya, kewenangan Ditjen Pajak itu juga akan meningkatkan pengawasan apakah besaran pajakyangdibayarkankepada negara sesuai dengan harta yang dimiliki. Jadi, semuanya menjadi serbatransparan. Dan secara global, kebijakan tersebut juga sejalan dengan cita-cita negara yang tergabung dalam G20 untuk saling bertukar informasi soal wajib pajak. Karena memberi dampak positif yang besar, selain sebagai upaya meningkatkan penerimaan pajak untuk pembangunan, juga bisa menghindari terjadinya kecurangan perpajakan global.
Dengan alasan itu, Menkeu tidak keberatan kerahasiaan perbankan bisa dilonggarkan demi kepentingan pajak. Sekadar informasi, berdasarkan data dari Lembaga Penjamin Simpanan(LPS), total nasabah tajir perbankan dengan simpanan diatas Rp5 miliar mencapai sebesar Rp1.570,1 triliun yang tercatat pada 63.406 rekening per 31 November2013. Bandingkan dengan total dana nasabah perbankan yang mencapai Rp3.617,8 triliun dengan jumlah rekening sebanyak 140.527.064 per November 2013.
Sementara itu, kinerja perbankan nasional terus menunjukkan tren positif, mengutip data dari OJK, laba bersih perbankan terus melaju dari sebesar Rp108,7 triliun per November 2012 menjadi sebesar Rp124,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu atau laba bersih terdongkrak sekitar 14%. Perolehan laba yang tinggi itu dikontribusikan dari pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp220,1 triliun. Sepertinya kebijakan tersebut tinggal mengetuk palu sebab otoritas terkait, yakni DPR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sudah menyalakan lampu hijau.
Merujuk pada UU Perbankan ditegaskan bahwa setiap bank memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun, kerahasiaan itu menjadi gugur seandainya menyangkut kepentingan pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan. Karena keterbatasan atau kerahasiaan itu, Ditjen Pajak kesulitan memburu nasabah kaya.
Pembukaan akses perpajakan terhadap industri perbankan bukanlah hal baru sejumlah negara sudah membuka jalur selebarlebarnya, di antaranya Amerika Serikat (AS), Australia, dan Malaysia. Lalu, bagaimana dengan keamanan nasabah?
Tak perlu menyimpan kekhawatiran berlebih, menurut Ketua OJK Muliaman Hadad untuk menjaga keamanan nasabah sudah ada peraturan yang mengawalnya. Namun, tetap harus dicatat bahwa pembukaan data nasabah perbankan untuk kepentingan peningkatan penyetoran pajak, wajib dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Harus dipahami bahwa keinginan Dirjen Pajak itu ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi kebijakan tersebut dapat mendongkrak pemungutan pajak untuk pembiayaan pembangunan negara, tetapi di sisi lain jaminan keamanan data nasabah menjadi pertaruhan tersendiri. Siapa yang bisa menjamin data tersebut tidak disalahgunakan oleh oknum pajak untuk memenuhi kepentingan pribadi.
Karena itu, sebelum usulan untuk membuka akses Ditjen Pajak terhadap data nasabah kaya diakomodasi dalam amendemen UU Perbankan, hendaknyasemua pihak terkait didengar suaranya sebelum mengambil keputusan.
Keinginan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany untuk ”menangkap” nasabah kakap itu sepertinya tidak bisa dibendung lagi. Sejak pembahasan amendemen Undang-Undang (UU) Perbankan bergulir di Komisi XI DPR RI, Fuad tidak ingin kecolongan dan berharap amendemen regulasi tersebut bisa mengakomodasi kepentingan Ditjen Pajak, dengan mengabulkan wewenang membuka data rekening nasabah perbankan. Nasabah perbankan yang dibidik tersebut bukanlah sembarang nasabah, melainkan nasabah yang memiliki dana diatas Rp2 miliar.
Jumlah nasabah yang memiliki dana jumbo tersebut diperkirakan tidak kurang dari 180.000 nasabah. Perjuangan Dirjen Pajak mendapat sokongan penuh dari Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri, yang berharap revisi UU Perbankan dengan mengakomodasi kewenangan Ditjen Pajak mengintip rekening nasabah kakap itu bisa terealisasi akhir tahun ini. Menkeu optimistis dengan adanya kewenangan Ditjen Pajak melihat datanasabahkaya, dipastikanmempermudahuntukmenarikpajaknya.
Selain memudahkan menarik pajak nasabah kaya, kewenangan Ditjen Pajak itu juga akan meningkatkan pengawasan apakah besaran pajakyangdibayarkankepada negara sesuai dengan harta yang dimiliki. Jadi, semuanya menjadi serbatransparan. Dan secara global, kebijakan tersebut juga sejalan dengan cita-cita negara yang tergabung dalam G20 untuk saling bertukar informasi soal wajib pajak. Karena memberi dampak positif yang besar, selain sebagai upaya meningkatkan penerimaan pajak untuk pembangunan, juga bisa menghindari terjadinya kecurangan perpajakan global.
Dengan alasan itu, Menkeu tidak keberatan kerahasiaan perbankan bisa dilonggarkan demi kepentingan pajak. Sekadar informasi, berdasarkan data dari Lembaga Penjamin Simpanan(LPS), total nasabah tajir perbankan dengan simpanan diatas Rp5 miliar mencapai sebesar Rp1.570,1 triliun yang tercatat pada 63.406 rekening per 31 November2013. Bandingkan dengan total dana nasabah perbankan yang mencapai Rp3.617,8 triliun dengan jumlah rekening sebanyak 140.527.064 per November 2013.
Sementara itu, kinerja perbankan nasional terus menunjukkan tren positif, mengutip data dari OJK, laba bersih perbankan terus melaju dari sebesar Rp108,7 triliun per November 2012 menjadi sebesar Rp124,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu atau laba bersih terdongkrak sekitar 14%. Perolehan laba yang tinggi itu dikontribusikan dari pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp220,1 triliun. Sepertinya kebijakan tersebut tinggal mengetuk palu sebab otoritas terkait, yakni DPR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sudah menyalakan lampu hijau.
Merujuk pada UU Perbankan ditegaskan bahwa setiap bank memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun, kerahasiaan itu menjadi gugur seandainya menyangkut kepentingan pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan. Karena keterbatasan atau kerahasiaan itu, Ditjen Pajak kesulitan memburu nasabah kaya.
Pembukaan akses perpajakan terhadap industri perbankan bukanlah hal baru sejumlah negara sudah membuka jalur selebarlebarnya, di antaranya Amerika Serikat (AS), Australia, dan Malaysia. Lalu, bagaimana dengan keamanan nasabah?
Tak perlu menyimpan kekhawatiran berlebih, menurut Ketua OJK Muliaman Hadad untuk menjaga keamanan nasabah sudah ada peraturan yang mengawalnya. Namun, tetap harus dicatat bahwa pembukaan data nasabah perbankan untuk kepentingan peningkatan penyetoran pajak, wajib dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Harus dipahami bahwa keinginan Dirjen Pajak itu ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi kebijakan tersebut dapat mendongkrak pemungutan pajak untuk pembiayaan pembangunan negara, tetapi di sisi lain jaminan keamanan data nasabah menjadi pertaruhan tersendiri. Siapa yang bisa menjamin data tersebut tidak disalahgunakan oleh oknum pajak untuk memenuhi kepentingan pribadi.
Karena itu, sebelum usulan untuk membuka akses Ditjen Pajak terhadap data nasabah kaya diakomodasi dalam amendemen UU Perbankan, hendaknyasemua pihak terkait didengar suaranya sebelum mengambil keputusan.
(nfl)