Pemilu 2014 menentukan!

Selasa, 25 Februari 2014 - 18:00 WIB
Pemilu 2014 menentukan!
Pemilu 2014 menentukan!
A A A
PEMILU sudah di depan mata. Pada 9 April kita akan menyambut penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan 9 Juli Pemilu Presiden. Ini merupakan kali kelima kita menyelenggarakan prosedur sirkulasi elite dalam situasi demokratis setelah Pemilu 1955, 1999, 2004 dan 2009. Penyelenggaraan pemilu sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, bisa kita kategorikan sebagai demokrasi semu (pseudo democracy) karena dominannya peran Soeharto dalam mengendalikan seluruh pilar kompetisi.

Jika kita memahami substansi demokrasi, sejatinya pemilu merupakan momentum bagi warga untuk menunjukkan kedaulatannya. Konsep dari-oleh-untuk rakyat sebagai soko guru gagasan demokrasi harusnya tercermin dalam keleluasaan rakyat untuk memilih wakil mereka di DPR sekaligus menasbihkan siapa yang akan dipilih untuk menjadi pemimpin nasional.

Pemilu 2014 sendiri sangat menentukan arah perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Paling tidak ada empat alasan, mengapa Pemilu 2014 disebut menentukan. Pertama, pemilu kali ini menjadi ujian bisakah bangsa ini melangkah ke fase lebih tinggi, yakni konsolidasi demokrasi. Hingga sekarang, kita masih terjebak dalam transisi demokrasi dan mengalami kebingungan sekaligus kegagapan untuk melangkah.

Padahal menurut Huntington (1991), era transisi mestinya berakhir setelah dua kali pemilu berkala yang demokratis. Jika kita merujuk ke fase kesejarahan, paling tidak kita sudah melalui tiga fase transisi yakni 1945 saat kita merdeka, 1965 saat terjadi perubahan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru dan 1998 saat rakyat Indonesia mampu menumbangkan rezim Soeharto.

Selama rentang kesejarahan tersebut, kita telah menggelar 11 pemilu legislatif, tetapi hasilnya kita masih berkutat di proses yang sama, yakni mandeknya tranformasi bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dari segi kepemimpinan, sehat dari korupsi dan besar karena dihargai atas beragam prestasi rakyat dan pemerintahannya. Saatnya Pemilu itu diposisikan sebagai jalan keluar menuju konsolidasi dan pelembagaan demokrasi.

Kedua, Pemilu 2014 menjadi akhir dari penyelenggaraan Pemilu terpisah. Sebagaimana diketahui, mulai 2019 kita akan menyambut penyelenggaraan pemilu serentak antara legislatif dan presiden. Tentu, seluruh elite yang terpilih di Pemilu kali ini akan turut menentukan Pemilu mendatang.

Ketiga, adanya agenda penting estapet kepemimpinan nasional usai masa jabatan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bangsa Indonesia tentu sangat berharap, munculnya pemimpin yang mengantongi legitimate power untuk tampil membawa perubahan nasib bangsa ini. Dua periode pemerintahan SBY tak cukup memuaskan harapan rakyat Indonesia. SBY masih terlalu sibuk mengelola zona nyaman kekuasaan dengan mempertahankan relasi kuasa antar mitra yang berinvestasi di dalam pemerintahannya. Koalisi besar yang digagasnya, membuat kebijakan-kebijakan SBY lebih dominan berorientasi pada kelompok elite dibanding rakyat banyak.

Jelang Pemilu kali ini muncul sejumlah sosok yang siap bertarung di gelanggang utama RI-1. Tentu kita berharap kepada yang akan bertarung, mereka harus benar-benar menyiapkan diri menyambut tantangan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Pemilu idealnya menjadi perang gagasan bagi mereka yang berebut kekuasaan. Rakyat akan memerhatikan, menimbang-nimbang siapa di antara mereka yang memiliki konsep, integritas, kapasitas, dan profesionalitas dalam rekam jejak mereka selama ini.

Keempat, terkait dengan partisipasi masyarakat. Mungkinkah Pemilu kali ini masih memberi harapan bagi pemilih? Ini akan menjadi cermin penampilan politik (political performance) bangsa ini. Salah satu indikatornya adalah seberapa banyak warga berpartisipasi dalam pemilu. Tren partisipasi warga di bilik suara menurun dari Pemilu ke Pemilu. Tahun 1955 partisipasi pemilih di pemilu legislatif di angka 87 persen, Pemilu 1999 ada 93 persen, Pemilu 2004 ada 83 persen dan Pemilu 2009 hanya 71 persen. Pun demikian di pemilu presiden, pada putaran pertama Pilpres 2009, partisipasi pemilih 80 persen, putaran kedua 77 persen, dan mengalami penurunan signifikan di Pemilu 2009 menjadi 72,5 persen.

Dalam tulisan R.A Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Dengan demikian, pemilu harus dimaknai bukan semata pertarungan para elite terlebih kelompok elite berbayar yang berburu kekuasaan, tetapi harus dioptimalkan menjadi momentum partisipasi rakyat untuk menentukan nasibnya lima tahun ke depan.

Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4585 seconds (0.1#10.140)