Membangun pondasi
A
A
A
SEBUAH gempa dahsyat meluluhlantakkan sebuah kota. Semua bangunan roboh, runtuh, dan nyaris rata dengan tanah. Namun ada satu gedung yang tidak roboh. Bangunan terkenal itu bernama Imperial Palace Hotel di Tokyo yang bertahan dari gempa sebesar 8.3 SR pada tahun 1923.
Banyak orang penasaran, apa yang menyebabkan bangunan tersebut tetap berdiri. Setelah diselidiki ternyata pondasi bangunan itu memang dibuat sangat kuat.
Peristiwa itu membuat para ahli manajemen juga berpikir, bagaimana pula halnya dengan perusahaan? Mereka menyelidiki perusahaan-perusahaan hebat di dunia yang mampu mengatasi berbagai ‘gempa’. Apa sesungguhnya pondasi sebuah perusahaan, karena saat ini banyak sekali korporasi-korporasi yang roboh diterjang ‘gempa’. Sedangkan kedatangannya sulit ditebak, perubahan pun selalu terjadi di mana-mana. Jika perusahaan ingin hebat dan ingin tahan ‘gempa’ maka harus memiliki pondasi kuat juga.
Pondasi perusahaan diakui banyak para pemimpin di dunia sebagai sesuatu yang menentukan kesuksesan korporasi untuk jangka panjang. Tidak ada orang yang membuat perusahaan hanya untuk jangka pendek. Lalu apa Pondasi perusahaan itu?
Arie De Geuss dalam risetnya The Living Company, membuat sebuah kesimpulan bahwa perusahaan yang mampu bertahan hingga seratus tahun adalah mereka yang memiliki budaya sebagai pondasi kuat. Perusahaan hebat seperti Shell dan General Electric (GE) berumur mencapai lebih dari seratus tahun. Begitu juga hasil riset terbaru Jim Collins dalam buku Good to Great yang fenomenal tentang beberapa gelintir perusahaan hebat dari Fortune 500.
Dinyatakan, bahwa korporasi yang hebat adalah mereka yang mampu terus mempertahankan core value dan core purpose di tengah berbagai perubahan strategi, struktur, maupun manajemen. Artinya mereka mampu mempertahankan misi inti dan nilai inti sebagai budaya. Itulah pondasi korporasi atau dengan kata lain, culture.
Core Purpose sesungguhnya adalah misi organisasi yang menjasi alasan utama mengapa perusahaan itu didirikan dan mau kemana perusahaan itu pergi. Sedang core value adalah nilai dasar korporasi yang menjadi pedoman dan sikap perilaku manusia yang berada dalam organisasi. Tentu itu semua bukan hanya tertulis pada company profile, menjadi hiasan dinding, atau jargon pidato semata. Akan tetapi harus menjadi ‘ruh’, bahkan DNA dari organisasi tersebut.
Kemudian semua orang di dalamnya merasa terikat dalam sebuah komunitas yang kuat sehingga tercipta inter-dependen antar satu dengan yang lainnya. Ruh serta DNA budaya korporasi itu menjadi sebuah software hati dan pikiran yang bisa diwariskan antar generasi.
Di Barat kita bisa melihat bagaimana GE begitu hebat kemajuan dan pertumbuhannya. Di era itu, Jack Welch menamakan corporate culture-nya "4e1p" yaitu 4 E: Energy, Energize, Edge, dan Execution yang melahirkan Passion serta didasari Leadership yang berbasis Integrity, Trusworthy, dan Ethical yang terbukti membuat GE melejit.
Di Timur kita melihat Toyota Jepang yang memiliki konsep Dua Tiang Lima Landasan. Dua tiangnya adalah perbaikan terus menerus dan menghargai manusia. Lima landasannya adalah: Tantangan atau Visi yang jauh ke depan, Kaizen, Genshi Genbutsu (saya lihat saya tahu), Kaizen, dan Teamwork.
Permasalahan yang sering terjadi di Indonesia adalah, terlalu sering gonta-ganti strategi, struktur, dan sistem. Bahkan timbul kesan "ganti pemimpin ganti sistem ", tanpa mereka tahu dan pelajari bagaimana culture atau ruh dari organisasi tersebut dibentuk, dibangun, dan dipelihara.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana dulu pemerintah menggalakan GKM atau Gugus Kendali Mutu yaitu sebuah sistem untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi organisasi secara berkelanjutan akan tetapi akhirnya gagal. Ide awalnya adalah ingin mengikuti konsep Kaizen Jepang atau sistem perbaikan terus menerus, akan tetapi lupa satu hal yaitu culture.
Ibarat kita ingin membangun sebuah rumah, semua orang sibuk. Ada yang meninggikan dinding, mengecat tembok, membuat pintu dan jendela, memasang kaca, memasang atap di atasnya, bahkan mereka ribut untuk menentukan mana terlebih dahulu, dinding atau pintu? Akan tetapi mereka lupa membangun pondasi yang kuat di bawahnya.
Tentu saja rumah itu cepat atau lambat akan roboh menimpa orang yang tinggal di dalamnya. Dalam skala lebih besar, begitu pula dalam membangun Bangsa Indonesia, kita tidak cukup hanya membangun sistem akan tetapi juga membangun karakter bangsa, karena di sanalah sesungguhnya letaknya pondasi Indonesia.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage : facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
Twitter : @AryGinanjar165
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email : [email protected]
Banyak orang penasaran, apa yang menyebabkan bangunan tersebut tetap berdiri. Setelah diselidiki ternyata pondasi bangunan itu memang dibuat sangat kuat.
Peristiwa itu membuat para ahli manajemen juga berpikir, bagaimana pula halnya dengan perusahaan? Mereka menyelidiki perusahaan-perusahaan hebat di dunia yang mampu mengatasi berbagai ‘gempa’. Apa sesungguhnya pondasi sebuah perusahaan, karena saat ini banyak sekali korporasi-korporasi yang roboh diterjang ‘gempa’. Sedangkan kedatangannya sulit ditebak, perubahan pun selalu terjadi di mana-mana. Jika perusahaan ingin hebat dan ingin tahan ‘gempa’ maka harus memiliki pondasi kuat juga.
Pondasi perusahaan diakui banyak para pemimpin di dunia sebagai sesuatu yang menentukan kesuksesan korporasi untuk jangka panjang. Tidak ada orang yang membuat perusahaan hanya untuk jangka pendek. Lalu apa Pondasi perusahaan itu?
Arie De Geuss dalam risetnya The Living Company, membuat sebuah kesimpulan bahwa perusahaan yang mampu bertahan hingga seratus tahun adalah mereka yang memiliki budaya sebagai pondasi kuat. Perusahaan hebat seperti Shell dan General Electric (GE) berumur mencapai lebih dari seratus tahun. Begitu juga hasil riset terbaru Jim Collins dalam buku Good to Great yang fenomenal tentang beberapa gelintir perusahaan hebat dari Fortune 500.
Dinyatakan, bahwa korporasi yang hebat adalah mereka yang mampu terus mempertahankan core value dan core purpose di tengah berbagai perubahan strategi, struktur, maupun manajemen. Artinya mereka mampu mempertahankan misi inti dan nilai inti sebagai budaya. Itulah pondasi korporasi atau dengan kata lain, culture.
Core Purpose sesungguhnya adalah misi organisasi yang menjasi alasan utama mengapa perusahaan itu didirikan dan mau kemana perusahaan itu pergi. Sedang core value adalah nilai dasar korporasi yang menjadi pedoman dan sikap perilaku manusia yang berada dalam organisasi. Tentu itu semua bukan hanya tertulis pada company profile, menjadi hiasan dinding, atau jargon pidato semata. Akan tetapi harus menjadi ‘ruh’, bahkan DNA dari organisasi tersebut.
Kemudian semua orang di dalamnya merasa terikat dalam sebuah komunitas yang kuat sehingga tercipta inter-dependen antar satu dengan yang lainnya. Ruh serta DNA budaya korporasi itu menjadi sebuah software hati dan pikiran yang bisa diwariskan antar generasi.
Di Barat kita bisa melihat bagaimana GE begitu hebat kemajuan dan pertumbuhannya. Di era itu, Jack Welch menamakan corporate culture-nya "4e1p" yaitu 4 E: Energy, Energize, Edge, dan Execution yang melahirkan Passion serta didasari Leadership yang berbasis Integrity, Trusworthy, dan Ethical yang terbukti membuat GE melejit.
Di Timur kita melihat Toyota Jepang yang memiliki konsep Dua Tiang Lima Landasan. Dua tiangnya adalah perbaikan terus menerus dan menghargai manusia. Lima landasannya adalah: Tantangan atau Visi yang jauh ke depan, Kaizen, Genshi Genbutsu (saya lihat saya tahu), Kaizen, dan Teamwork.
Permasalahan yang sering terjadi di Indonesia adalah, terlalu sering gonta-ganti strategi, struktur, dan sistem. Bahkan timbul kesan "ganti pemimpin ganti sistem ", tanpa mereka tahu dan pelajari bagaimana culture atau ruh dari organisasi tersebut dibentuk, dibangun, dan dipelihara.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana dulu pemerintah menggalakan GKM atau Gugus Kendali Mutu yaitu sebuah sistem untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi organisasi secara berkelanjutan akan tetapi akhirnya gagal. Ide awalnya adalah ingin mengikuti konsep Kaizen Jepang atau sistem perbaikan terus menerus, akan tetapi lupa satu hal yaitu culture.
Ibarat kita ingin membangun sebuah rumah, semua orang sibuk. Ada yang meninggikan dinding, mengecat tembok, membuat pintu dan jendela, memasang kaca, memasang atap di atasnya, bahkan mereka ribut untuk menentukan mana terlebih dahulu, dinding atau pintu? Akan tetapi mereka lupa membangun pondasi yang kuat di bawahnya.
Tentu saja rumah itu cepat atau lambat akan roboh menimpa orang yang tinggal di dalamnya. Dalam skala lebih besar, begitu pula dalam membangun Bangsa Indonesia, kita tidak cukup hanya membangun sistem akan tetapi juga membangun karakter bangsa, karena di sanalah sesungguhnya letaknya pondasi Indonesia.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage : facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
Twitter : @AryGinanjar165
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email : [email protected]
(hyk)