Corby adalah pesan kepada ASD
A
A
A
PERLAKUAN sangat khusus dan spesial terhadap warga negara asing (WNA) terpidana narkoba tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menimbang martabat bangsa.
Pembebasan bersyarat bagi narapidana narkotika Schapelle Leigh Corby sesungguhnya sarat agenda kepentingan penguasa yang sedang berselimut takut dan gelisah. Takut berlebihan seorang pemimpin menyebabkan organisasinya melemah dan menjadi sangat kompromistis.
Karena sangat kompromistis, kepentingan negara dan rakyat bukan lagi prioritas. Teratas dalam skala prioritas seorang pemimpin yang takut dan gelisah adalah dirinya dan keluarga.
Mendekati ujung era kekuasaannya, dia akan menggunakan kekuasaan dan wewenang kepemimpinannya untuk membangun benteng perlindungan dengan segala cara (at all cost). Hanya itu fokusnya.
Dia tidak akan peduli apa kata orang lain atau cibiran publik, apalagi komunitas yang dipimpinnya. Sekalipun berstatus pemimpin, dia tidak akan ragu sedikit pun untuk bertindak irasional. Terpenting baginya, benteng perlindungan yang sangat dibutuhkannya itu terbangun.
Dan, tentu saja benteng itu harus efektif luar dalam. Dia butuh benteng itu agar pada waktunya nanti tidak diganggu kasus hukum, serta tidak menjadi sasaran tuduhan dan cemooh publik. Itulah agenda kepentingan di balik rangkaian pembebasan dan keringanan hukuman yang diberikan pemerintah terhadap beberapa WNA yang menyandang status narapidana kasus narkotika.
Dengan begitu, ragam argumen pemerintah dalam kasus Corby misalnya, lebih sebagai alasan untuk membangun paham bahwa pembebasan bersyarat Corby legal. Maka menjadi konyol jika pembebasan bersyarat Corby dimaknai sebagai cermin bangsa yang bermartabat.
Sejarah peradaban bangsa-bangsa memang mencatat Indonesia bermartabat, tetapi perlakuan sangat khusus dan spesial dari pemerintah untuk Corby sama sekali tidak bermartabat karena makin melemahkan posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional.
Pembebasan Corby dan meringankan hukuman WNA terpidana narkotika lainnya adalah sebuah perjudian dengan risiko sangat tinggi. Pemerintah telah mempertaruhkan masa depan generasi muda bangsa, karena sangat kompromistis menghadapi anggota sindikat narkotika internasional. Tak terbantahkan bahwa Indonesia bangsa bermartabat. Namun, apakah pemerintahan ini bermartabat?
Diyakini bahwa segenap rakyat Indonesia tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Itu sebabnya, berbagai kalangan tertawa sinis ketika menyimak pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin terkait pembebasan bersyarat Corby.
“Kami adalah bangsa yang bermartabat. Kami tegakan hukum tidak memandang siapa pun orangnya manakala aturan perundang- undangan itu memberikan seseorang hak. Wajib kepada kami untuk memberikan kepadanya sepanjang seluruh aturan telah terpenuhi,” kata Amir.
Pembebasan bersyarat, menurut Amir, merupakan hak yang bisa didapat setiap narapidana jika memenuhi persyaratan sesuai Permen Kementerian Hukum dan HAM No 21/2013. Pertanyaannya, apakah dalam kasus Corby, Permen No 21/ 2013 itu sudah dihadap-hadapkan dengan PP (Peraturan Pemerintah) No 99/2012 tentang pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, nark-otika, dan terorisme.
Menteri Amir boleh saja berpegang Permen No 21/2013 yang dibuatnya sendiri. Tetapi di atas Permen itu, ada PP No.99/2012 yang wajib dipatuhi menteri. Kalau Permen melangkahi PP, tidakkah itu inkonstitusional?
Jangan-jangan pembebasan bersyarat Corby sengaja tidak mengacu pada PP No 99/2012. Ironis, karena PP No 99/2012 itu justru digagas oleh Amir dan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Bagaimana bisa mengatakan bermartabat jika tidak konsisten dengan peraturan perundangundangan yang dirancangnya sendiri.
Corby dan penyadapan
Kalau Menteri Amir nekat membebaskan Corby dengan hanya bermodalkan Permen No 12/2013 dan menabrak PP No 99/2013, pastilah ada kepentingan besar yang sedang dipertaruhkan. Apakah kepentingan besar itu berkait dengan negara dan rakyat? Patut diragukan. Kalau demi kemaslahatan rakyat dan negara, Corby mestinya tidak diperlakukan istimewa dan spesial.
Dia harus menjalani sanksi hukum maksimal agar tumbuh efek jera bagi setiap WNA yang ingin membangun jaringan atau sel-sel perdagangan narkotika di Indonesia. Sanksi hukum maksimal bagi narapidana kasus narkotika sangat perlu, karena jumlah korban jiwa dan kerugian materiil akibat peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obatobatan (narkoba) terlarang di Indonesia sudah sampai pada tahap sangat menakutkan.
Bahkan, birokrasi negara pun sudah tersusupi sindikat narkotika, karena sejumlah lembaga pemasyarakatan pun dijadikan basis produksi dan peredaran narkoba. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang tewas setiap harinya di Indonesia karena mengonsumsi narkoba. Riset BNN-Universitas Indonesia (UI) menemukan 3,8 juta orang atau 2,2% dari populasi penduduk tercatat sebagai penyalah guna narkoba.
Negara harus alokasikan dana Rp4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika. Data-data ini sudah membuat puluhan juta orang tua cemas setiap harinya, karena khawatir putra-putri mereka terperangkap narkoba. Para ayah-ibu tahu betul bahwa anak-anak selalu berada dalam ancaman teror narkoba. Kecemasan para orang tua itulah memunculkan ungkapan ”Indonesia darurat narkoba”.
Mengapa pemerintah tidak mau menghayati aspirasi para orang tua di negara ini? Mengapa juga pemerintah seperti enggan berada dalam satu barisan dengan rakyat dalam menyikapi kejahatan narkotika ? Jelas bahwa posisi pemerintah patut dipertanyakan dalam menyikapi kejahatan narkoba oleh anggota sindikat internasional.
Sebab, sebelum membebaskan Corby, pemerintah juga telah memberi bebas bersyarat kepada narapidana narkotika Michael Loic Blanc asal Prancis dan Mohammad Hasnan dari Malaysia. Kasus Corby tentu saja menarik dikaji, karena inisiatif pemerintah membebaskan wanita asal Australia ini dimunculkan tak lama setelah memanasnya hubungan kedua negara akibat skandal penyadapan oleh instrumen intelijen Australia.
Di tengah perang kata-kata di antara para diplomat kedua negara waktu itu, ABC dan Guardianterbitan Australia menerima bocoran hasil penyadapan dan memublikasikannya. Komunitas pers di Indonesia pun ramai-ramai mengutip pemberitaan ABC dan Guardian.
Belakangan muncul pemahaman bahwa lakon yang dimainkan ABC dan Guardianitu sebagai gertak sambal atau tekanan kepada Jakartadari Canberra. Itu sebabnya, para pemimpin di Jakarta (pemerintah Indonesia) sangat lamban merespons sikap tidak bersahabat yang dipertontonkan Australia.
Bahkan muncul keyakinan bahwa belum semua hasil sadapan dibocorkan kepada pers oleh Australian Signals Directorate (ASD). Berapa banyak yang akan dibocorkan ASD atas perintah Canberra sangat bergantung pada keraslembeknya reaksi Jakarta. Maka itu, pembebasan bersyarat untuk Corby patut diterjemahkan sebagai sikap atau reaksi lembut nan bersahabat dari pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia dalam menyikapi skandal dan materi hasil sadapan.
Dan karena pemerintah Indonesia bersikap lembut, ASD pun berhenti membocorkan hasil sadapannya kepada pers Australia. Lebih gamblangnya, pembebasan Corby adalah pesan dari Jakarta kepada ASD agar jangan lagi membocorkan hasil sadapan kepada komunitas pers mana pun.
Artinya, di Jakarta ada yang takut dan gelisah. Kalau pembocoran ASD diteruskan dan melebar hingga isu tentang perilaku koruptif dari mereka yang disadap, sejumlah elite di Jakarta akan malu, dicemooh dan menjadi sasaran tuduhan.
Jadi, pembebasan Corby bisa jadi adalah harga yang harus dibayar guna mengeliminasi potensi ancaman ASD. Kalau pembocoran oleh AS melebarhingga data-data korupsi sejumlah elite diJakarta, banyak figur yang akan menjadi sasaran caci maki publik Indonesia. Dan, sudah barang tentu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan kelabakan menyikapi respons publik.
Maka tidak relevan jika pembebasan Corby dijadikan gambaran tentang martabat bangsa. Bukan hanya ngawur, melainkan model argumen ini keblinger. Barangkali pembebasan bersyarat Corby itu lebih tepat dimaknai sebagai keputusan dari pemerintahan yang tidak bermartabat.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Pembebasan bersyarat bagi narapidana narkotika Schapelle Leigh Corby sesungguhnya sarat agenda kepentingan penguasa yang sedang berselimut takut dan gelisah. Takut berlebihan seorang pemimpin menyebabkan organisasinya melemah dan menjadi sangat kompromistis.
Karena sangat kompromistis, kepentingan negara dan rakyat bukan lagi prioritas. Teratas dalam skala prioritas seorang pemimpin yang takut dan gelisah adalah dirinya dan keluarga.
Mendekati ujung era kekuasaannya, dia akan menggunakan kekuasaan dan wewenang kepemimpinannya untuk membangun benteng perlindungan dengan segala cara (at all cost). Hanya itu fokusnya.
Dia tidak akan peduli apa kata orang lain atau cibiran publik, apalagi komunitas yang dipimpinnya. Sekalipun berstatus pemimpin, dia tidak akan ragu sedikit pun untuk bertindak irasional. Terpenting baginya, benteng perlindungan yang sangat dibutuhkannya itu terbangun.
Dan, tentu saja benteng itu harus efektif luar dalam. Dia butuh benteng itu agar pada waktunya nanti tidak diganggu kasus hukum, serta tidak menjadi sasaran tuduhan dan cemooh publik. Itulah agenda kepentingan di balik rangkaian pembebasan dan keringanan hukuman yang diberikan pemerintah terhadap beberapa WNA yang menyandang status narapidana kasus narkotika.
Dengan begitu, ragam argumen pemerintah dalam kasus Corby misalnya, lebih sebagai alasan untuk membangun paham bahwa pembebasan bersyarat Corby legal. Maka menjadi konyol jika pembebasan bersyarat Corby dimaknai sebagai cermin bangsa yang bermartabat.
Sejarah peradaban bangsa-bangsa memang mencatat Indonesia bermartabat, tetapi perlakuan sangat khusus dan spesial dari pemerintah untuk Corby sama sekali tidak bermartabat karena makin melemahkan posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional.
Pembebasan Corby dan meringankan hukuman WNA terpidana narkotika lainnya adalah sebuah perjudian dengan risiko sangat tinggi. Pemerintah telah mempertaruhkan masa depan generasi muda bangsa, karena sangat kompromistis menghadapi anggota sindikat narkotika internasional. Tak terbantahkan bahwa Indonesia bangsa bermartabat. Namun, apakah pemerintahan ini bermartabat?
Diyakini bahwa segenap rakyat Indonesia tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Itu sebabnya, berbagai kalangan tertawa sinis ketika menyimak pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin terkait pembebasan bersyarat Corby.
“Kami adalah bangsa yang bermartabat. Kami tegakan hukum tidak memandang siapa pun orangnya manakala aturan perundang- undangan itu memberikan seseorang hak. Wajib kepada kami untuk memberikan kepadanya sepanjang seluruh aturan telah terpenuhi,” kata Amir.
Pembebasan bersyarat, menurut Amir, merupakan hak yang bisa didapat setiap narapidana jika memenuhi persyaratan sesuai Permen Kementerian Hukum dan HAM No 21/2013. Pertanyaannya, apakah dalam kasus Corby, Permen No 21/ 2013 itu sudah dihadap-hadapkan dengan PP (Peraturan Pemerintah) No 99/2012 tentang pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, nark-otika, dan terorisme.
Menteri Amir boleh saja berpegang Permen No 21/2013 yang dibuatnya sendiri. Tetapi di atas Permen itu, ada PP No.99/2012 yang wajib dipatuhi menteri. Kalau Permen melangkahi PP, tidakkah itu inkonstitusional?
Jangan-jangan pembebasan bersyarat Corby sengaja tidak mengacu pada PP No 99/2012. Ironis, karena PP No 99/2012 itu justru digagas oleh Amir dan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Bagaimana bisa mengatakan bermartabat jika tidak konsisten dengan peraturan perundangundangan yang dirancangnya sendiri.
Corby dan penyadapan
Kalau Menteri Amir nekat membebaskan Corby dengan hanya bermodalkan Permen No 12/2013 dan menabrak PP No 99/2013, pastilah ada kepentingan besar yang sedang dipertaruhkan. Apakah kepentingan besar itu berkait dengan negara dan rakyat? Patut diragukan. Kalau demi kemaslahatan rakyat dan negara, Corby mestinya tidak diperlakukan istimewa dan spesial.
Dia harus menjalani sanksi hukum maksimal agar tumbuh efek jera bagi setiap WNA yang ingin membangun jaringan atau sel-sel perdagangan narkotika di Indonesia. Sanksi hukum maksimal bagi narapidana kasus narkotika sangat perlu, karena jumlah korban jiwa dan kerugian materiil akibat peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obatobatan (narkoba) terlarang di Indonesia sudah sampai pada tahap sangat menakutkan.
Bahkan, birokrasi negara pun sudah tersusupi sindikat narkotika, karena sejumlah lembaga pemasyarakatan pun dijadikan basis produksi dan peredaran narkoba. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang tewas setiap harinya di Indonesia karena mengonsumsi narkoba. Riset BNN-Universitas Indonesia (UI) menemukan 3,8 juta orang atau 2,2% dari populasi penduduk tercatat sebagai penyalah guna narkoba.
Negara harus alokasikan dana Rp4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika. Data-data ini sudah membuat puluhan juta orang tua cemas setiap harinya, karena khawatir putra-putri mereka terperangkap narkoba. Para ayah-ibu tahu betul bahwa anak-anak selalu berada dalam ancaman teror narkoba. Kecemasan para orang tua itulah memunculkan ungkapan ”Indonesia darurat narkoba”.
Mengapa pemerintah tidak mau menghayati aspirasi para orang tua di negara ini? Mengapa juga pemerintah seperti enggan berada dalam satu barisan dengan rakyat dalam menyikapi kejahatan narkotika ? Jelas bahwa posisi pemerintah patut dipertanyakan dalam menyikapi kejahatan narkoba oleh anggota sindikat internasional.
Sebab, sebelum membebaskan Corby, pemerintah juga telah memberi bebas bersyarat kepada narapidana narkotika Michael Loic Blanc asal Prancis dan Mohammad Hasnan dari Malaysia. Kasus Corby tentu saja menarik dikaji, karena inisiatif pemerintah membebaskan wanita asal Australia ini dimunculkan tak lama setelah memanasnya hubungan kedua negara akibat skandal penyadapan oleh instrumen intelijen Australia.
Di tengah perang kata-kata di antara para diplomat kedua negara waktu itu, ABC dan Guardianterbitan Australia menerima bocoran hasil penyadapan dan memublikasikannya. Komunitas pers di Indonesia pun ramai-ramai mengutip pemberitaan ABC dan Guardian.
Belakangan muncul pemahaman bahwa lakon yang dimainkan ABC dan Guardianitu sebagai gertak sambal atau tekanan kepada Jakartadari Canberra. Itu sebabnya, para pemimpin di Jakarta (pemerintah Indonesia) sangat lamban merespons sikap tidak bersahabat yang dipertontonkan Australia.
Bahkan muncul keyakinan bahwa belum semua hasil sadapan dibocorkan kepada pers oleh Australian Signals Directorate (ASD). Berapa banyak yang akan dibocorkan ASD atas perintah Canberra sangat bergantung pada keraslembeknya reaksi Jakarta. Maka itu, pembebasan bersyarat untuk Corby patut diterjemahkan sebagai sikap atau reaksi lembut nan bersahabat dari pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia dalam menyikapi skandal dan materi hasil sadapan.
Dan karena pemerintah Indonesia bersikap lembut, ASD pun berhenti membocorkan hasil sadapannya kepada pers Australia. Lebih gamblangnya, pembebasan Corby adalah pesan dari Jakarta kepada ASD agar jangan lagi membocorkan hasil sadapan kepada komunitas pers mana pun.
Artinya, di Jakarta ada yang takut dan gelisah. Kalau pembocoran ASD diteruskan dan melebar hingga isu tentang perilaku koruptif dari mereka yang disadap, sejumlah elite di Jakarta akan malu, dicemooh dan menjadi sasaran tuduhan.
Jadi, pembebasan Corby bisa jadi adalah harga yang harus dibayar guna mengeliminasi potensi ancaman ASD. Kalau pembocoran oleh AS melebarhingga data-data korupsi sejumlah elite diJakarta, banyak figur yang akan menjadi sasaran caci maki publik Indonesia. Dan, sudah barang tentu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan kelabakan menyikapi respons publik.
Maka tidak relevan jika pembebasan Corby dijadikan gambaran tentang martabat bangsa. Bukan hanya ngawur, melainkan model argumen ini keblinger. Barangkali pembebasan bersyarat Corby itu lebih tepat dimaknai sebagai keputusan dari pemerintahan yang tidak bermartabat.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
(nfl)