Banjir & kebutuhan permukiman

Rabu, 22 Januari 2014 - 06:11 WIB
Banjir & kebutuhan permukiman
Banjir & kebutuhan permukiman
A A A
BENCANA banjir belakangan ini selalu menghiasi media massa di Indonesia. Besarnya skala banjir bahkan memaksa berbagai daerah untuk menetapkan kondisi darurat bencana.

Sudah tak terhitung kerugian yang terjadi akibat bencana banjir di antero negeri yang kaya ini. Mencari penyebab banjir di berbagai daerah di Indonesia ini memang tak terlalu sulit. Bahkan sudah sangat banyak penelitian akademis yang menyampaikan akar permasalahan banjir ini kepada para pembuat kebijakan. Sayangnya memang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa birokrasi sering kali lamban untuk merumuskan langkahnya, apalagi untuk mengambil langkah sigap.

Secara umum ada beberapa masalah utama yang berperan besar dalam menyebabkan banjir seperti hilangnya daerah penyerapan air, menyempitnya sungai, dan polusi di sungai. Kalau dikerucutkan masalah itu muncul karena peralihan lahan yang alasan utamanya adalah dipakai untuk kebutuhan permukiman. Akhirnya lahirlah permukiman-permukiman kumuh di atas bantaran sungai yang seharusnya memang menjadi daerah luapan.

Karena memang secara teori bantaran sungai seharusnya menjadi daerah luapan saat hujan tinggi, wajar saja permukiman-permukiman liar itu terendam banjir saat musim penghujan tiba. Penduduk Jakarta dan kota-kota utama di berbagai provinsi di Indonesia memang sudah tidak asing lagi dengan daerahdaerah kumuh. Bisa dikatakan permukiman kumuh itu muncul karena memang minimnya pilihan.

Para pemukim itu ingin tetap tinggal di Jakarta, tetapi tak mampu membeli rumah di kota yang segalanya serba mahal ini. Permukiman-permukiman kumuh dan padat penduduk tersebut sebenarnya sudah tidak layak untuk dihuni. Rumah-rumah berhimpit dengan jalan gang yang kumuh serta sistem sanitasi yang buruk merupakan resep bencana.

Selain sangat rentan banjir dan menjadi penyebab utama banjir, dalam permukiman seperti itu kebakaran cepat merembet, penyakit mudah menyebar, serta yang tak kalah penting minimnya ruang terbuka untuk bersosialisasi atau rekreasi meningkatkan tingkat stres warga. Namun peralihan lahan yang menyebabkan banjir tak hanya disebabkan permukiman kumuh.

Rupanya juga sangat banyak permukiman elite yang berdiri di atas wilayah yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air. Pemerintah juga harus menindak tegas. Jika memang tidak memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), permukiman-permukiman tersebut harus digusur. Lalu apa resep menyelesaikan masalah peralihan lahan yang menyebabkan banjir itu?

Tidak ada pilihan lain selain menggusurnya. Namun tentu pemda tidak bisa begitu saja menggusur karena akan menimbulkan masalah sosial. Sebagai solusinya, pemda bisa membangun hunian vertikal baik untuk disewakan atau dijual. Tentunya upaya membangun hunian vertikal akan menghemat lahan sehingga makin banyak lahan terbuka yang bisa menjadi sarana penyerapan air saat musim hujan tiba.

Selain itu lahan terbuka bisa dipakai warga kota untuk bersosialisasi dan berekreasi yang berfungsi untuk melepas stres setelah mendapatkan tekanan kerja. Berbagai studi sudah membuktikan bahwa warga kota membutuhkan ruang terbuka dan tempat rekreasi yang memadai. Pemda-pemda di Indonesia harus kreatif membuat konsep permukiman vertikal terpadu sebelum masalah menjadi menumpuk dan kian kompleks seperti yang terjadi di Jakarta.

Pemda tak perlu selalu menunggu gerak pemerintah pusat seperti program 1.000 menara yang hanya selesai sekitar 100 menara dan juga tak tepat sasaran itu. Dengan adanya permukiman vertikal yang untuk tahap awal ditujukan pada warga yang terkena penggusuran, hal itu akan menjadi nilai plus bagi pemda di mata warga. Langkah tersebut adalah langkah humanis.

Pemda tidak main sembarang gusur tanpa memberikan solusi. Bahkan dari sudut pandang ekonomi, pemerintah daerah bisa menghasilkan keuntungan juga. Umumnya pemda-pemda di Indonesia memiliki land bank yang tak terurus dan bahkan cenderung dimanfaatkan pihakpihak yang tak bertanggung jawab. Aset tidur seperti itu tentu tidak menguntungkan bagi pemda dan mubazir dari sisi pemanfaatan lahan.

Andaikata pemda bisa lebih kreatif dengan menggandeng pengusaha membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) serta memberikan konsesi tertentu yang masuk akal dari segi ekonomi, akan tercipta win-win solution bagi pemda, warga, dan pengusaha. Lagipula undang-undang mengamanatkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki rumah yang layak.

Amanat itu tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang merupakan penyempurnaan dari Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5106 seconds (0.1#10.140)