Menangani sampah mengatasi banjir
A
A
A
SAMPAI kapan Jakarta harus menderita akibat genangan dan kebanjiran? Pertanyaan tersebut patut disampaikan mengingat berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengatasi bencana tahunan tersebut belum juga membuahkan hasil maksimal.
Dua hari lalu, misalnya, hujan seharian sudah membuat ibu kota negara ini kelabakan akibat genangan di mana-mana. Bisa dibayangkan bagaimana nasib Jakarta jika musim hujan mencapai puncaknya, yang diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika akan terjadi pada dua pekan terakhir Januari dan dua pekan awal Februari dengan prakiraan curah mencapai 100–140 milimeter per hari. Kondisinya dipastikan akan lebih parah dan warga Jakarta pun hanya bisa pasrah.
Warga di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dan beberapa titik di kawasan Sungai Pesanggrahan dan lainnya harus bersiap-siap rumahnya kebanjiran. Kemacetan pun akan semakin parah, dan bahkan Jakarta pun bisa lumpuh seperti saat banjir besar mendera seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sejatinya, jawaban sampai kapan Jakarta akan didera genangan dan banjir ada pada warga Jakarta sendiri, yaitu sampai kapan warga membuang sampah sembarang dan menjadikan sungai-sungai sebagai comberan sekaligus tong sampah raksasa.
Jika “tradisi” tersebut masih terus berlangsung, jangan berharap Jakarta baru yang nyaman, bersih, dan bebas banjir akan terwujud. Kondisi demikian sudah diingatkan dua pengamat perkotaan, yakni Yayat Supriatna dan Nirwono Yoga, bahwa mengatasi banjir bukan sekadar urusan teknis––seperti mengeruk saluran air, sungai dan waduk; membuat sodetan seperti kanal banjir barat dan timur, pembuatan sumur resapan dan lubang biopori, atau bahkan pembangunan terowongan multifungsi (deep tunnel)––melainkan juga masalah menurunnya mengatasi permukaan tanah dan sampah.
Jika ditelaah secara mendalam, sebenarnya pangkal persoalan genangan dan banjir adalah sampah. Upaya perbaikan teknis apa pun yang dilakukan atau pembangunan dam untuk membendung naiknya permukaan laut di sepanjang pantai utara Jakarta hanya seperti menggeser beban (shifting the burden), karena sifatnya hanya menyederhanakan solusi. Hasilnya bisa ditebak, genangan dan banjir akan terus berulang dan berulang.
Di sisi lain, dana puluhan triliun yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seolah “hilang terbawa arus” seiring dengan datangnya bencana banjir. Karena itu, yang menjadi semestinya menjadi proyek besar kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama adalah bagaimana mengubah kultur warganya, yang selama ini terbiasa membuang sampah sembarangan. Selama ini, upaya menggugah kesadaran melalui kampanye sangat kecil dampaknya, dengan bukti tidak kurang dari 30 ton sampah masih menyumpal di pintu air Manggarai setiap harinya.
Dengan fakta tersebut, Pemprov DKI harus membuat terobosan lain, seperti menyediakan dan memperbanyak tong sampah atau tempat pembuangan sampah di tiap gang perumahan, di pinggir jalan, di tempat umum, dan tentu di sepanjang bantaran sungai. Biaya untuk proyek tersebut––termasuk untuk biaya memperbanyak petugas kebersihan dan tambahan kendaraan sampah untuk mengangkut sampah-sampah di berbagai sudut kota––akan jauh lebih murah dibandingkan biaya untuk program pengerukan darurat Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang mencapai Rp1triliun.
Jika upaya persuasif tersebut tidak juga mempan, pemprov harus mengambil langkah edukasi lebih tegas, yakni menjatuhkan denda Rp500.000 untuk perorangan dan Rp50 juta untuk korporasi yang membuang sampah sembarangan. Tentu saja, ancaman sanksi tersebut jangan sekadar berhenti di pemberitaan. Untuk mengimplementasikan nya, tentu ada prasyarat lain yang harus dipenuhi lebih dulu seperti memperbanyak petugas pengawas sampah dan patroli dinas kebersihan.
Dua hari lalu, misalnya, hujan seharian sudah membuat ibu kota negara ini kelabakan akibat genangan di mana-mana. Bisa dibayangkan bagaimana nasib Jakarta jika musim hujan mencapai puncaknya, yang diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika akan terjadi pada dua pekan terakhir Januari dan dua pekan awal Februari dengan prakiraan curah mencapai 100–140 milimeter per hari. Kondisinya dipastikan akan lebih parah dan warga Jakarta pun hanya bisa pasrah.
Warga di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dan beberapa titik di kawasan Sungai Pesanggrahan dan lainnya harus bersiap-siap rumahnya kebanjiran. Kemacetan pun akan semakin parah, dan bahkan Jakarta pun bisa lumpuh seperti saat banjir besar mendera seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sejatinya, jawaban sampai kapan Jakarta akan didera genangan dan banjir ada pada warga Jakarta sendiri, yaitu sampai kapan warga membuang sampah sembarang dan menjadikan sungai-sungai sebagai comberan sekaligus tong sampah raksasa.
Jika “tradisi” tersebut masih terus berlangsung, jangan berharap Jakarta baru yang nyaman, bersih, dan bebas banjir akan terwujud. Kondisi demikian sudah diingatkan dua pengamat perkotaan, yakni Yayat Supriatna dan Nirwono Yoga, bahwa mengatasi banjir bukan sekadar urusan teknis––seperti mengeruk saluran air, sungai dan waduk; membuat sodetan seperti kanal banjir barat dan timur, pembuatan sumur resapan dan lubang biopori, atau bahkan pembangunan terowongan multifungsi (deep tunnel)––melainkan juga masalah menurunnya mengatasi permukaan tanah dan sampah.
Jika ditelaah secara mendalam, sebenarnya pangkal persoalan genangan dan banjir adalah sampah. Upaya perbaikan teknis apa pun yang dilakukan atau pembangunan dam untuk membendung naiknya permukaan laut di sepanjang pantai utara Jakarta hanya seperti menggeser beban (shifting the burden), karena sifatnya hanya menyederhanakan solusi. Hasilnya bisa ditebak, genangan dan banjir akan terus berulang dan berulang.
Di sisi lain, dana puluhan triliun yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat seolah “hilang terbawa arus” seiring dengan datangnya bencana banjir. Karena itu, yang menjadi semestinya menjadi proyek besar kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama adalah bagaimana mengubah kultur warganya, yang selama ini terbiasa membuang sampah sembarangan. Selama ini, upaya menggugah kesadaran melalui kampanye sangat kecil dampaknya, dengan bukti tidak kurang dari 30 ton sampah masih menyumpal di pintu air Manggarai setiap harinya.
Dengan fakta tersebut, Pemprov DKI harus membuat terobosan lain, seperti menyediakan dan memperbanyak tong sampah atau tempat pembuangan sampah di tiap gang perumahan, di pinggir jalan, di tempat umum, dan tentu di sepanjang bantaran sungai. Biaya untuk proyek tersebut––termasuk untuk biaya memperbanyak petugas kebersihan dan tambahan kendaraan sampah untuk mengangkut sampah-sampah di berbagai sudut kota––akan jauh lebih murah dibandingkan biaya untuk program pengerukan darurat Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) yang mencapai Rp1triliun.
Jika upaya persuasif tersebut tidak juga mempan, pemprov harus mengambil langkah edukasi lebih tegas, yakni menjatuhkan denda Rp500.000 untuk perorangan dan Rp50 juta untuk korporasi yang membuang sampah sembarangan. Tentu saja, ancaman sanksi tersebut jangan sekadar berhenti di pemberitaan. Untuk mengimplementasikan nya, tentu ada prasyarat lain yang harus dipenuhi lebih dulu seperti memperbanyak petugas pengawas sampah dan patroli dinas kebersihan.
(nfl)