Butuh konsistensi
Kamis, 09 Januari 2014 - 06:38 WIB

Butuh konsistensi
A
A
A
PEMBERLAKUAN kebijakan larangan ekspor mineral mentah tinggal tiga hari lagi. Namun, gaung kebijakan yang dijadwalkan berlaku pada 12 Januari mendatang kini meredup sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan serius, mengapa kebijakan yang sudah disepakati antara pemerintah dan wakil rakyat tersebut sepertinya layu sebelum berkembang?
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang semula cukup semringah setelah mendapat persetujuan dari DPR, kini cenderung tak bisa menjelaskan lagi secara lugas aturan yang diyakini bisa menambah nilai tambah terhadap sumber daya alam (SDA) yang selama ini diekspor secara gelondongan.
Apakah pemerintah ragu dengan kebijakan tersebut? Semangat kedua pembantu presiden itu meredup setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pandangan dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra untuk mengkaji pelonggaran pelarangan ekspor mineral mentah tersebut. Yusril sudah menyelesaikan tugasnya. Sayangnya, Juru Bicara Presiden SBY Julian Aldrin Pasha tidak mengabarkan secara konkret pandangan yang disampaikan kepada orang nomor satu di negeri ini.
Secara diplomatis, Julian hanya menyampaikan bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa jangan sampai peraturan yang dijalankan akan merugikan, misalnya menimbulkan pengangguran dalam jumlah yang masif. Intinya, pemerintah tidak ingin kebijakan larangan ekspor mineral mentah itu menimbulkan masalah baru. Tetapi jangan salah mempertahankan masalah lama, termasuk membiarkan SDA dikeruk habis-habisan dengan kerugian jauh lebih besar juga tidak elok.
Sekarang tinggal menunggu keputusan apa yang bakal terjadi, apakah kebijakan itu akan ditunda hingga batas waktu tidak jelas, apakah kebijakan tersebut akan direvisi dalam artian membuka kelonggaran sebagai respons atas permintaan perusahaan tambang, terutama perusahaan tambang terbesar yang berinduk di Amerika Serikat? Pemerintah menampik bahwa pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor sama sekali jauh dari sikap ragu, apalagi atas lobi sejumlah perusahaan tambang raksasa yang beroperasi di Indonesia.
Presiden meneropong dari sisi ketenagakerjaan yang bisa berakibat buruk. Alasan itu pula yang disampaikan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI) Rozik Boedioro sebagai bentuk penolakan secara halus agar aturan tersebut tidak diberlakukan.
Dalam keterangannya pada media massa, FI dengan tegas menyatakan pihaknya belum siap menghentikan ekspor mineral mentah tahun depan. Kalau aturan itu dijalankan, produksi FI akan terpangkas sebanyak 60% dan mengancam PHK sebanyak 31.000 karyawan, mulai tenaga kerja langsung hingga kontraktor.
Apa yang disampaikan FI itu sah saja sebagai sebuah masukan kepada pemerintah. Namun juga harus dipertimbangkan bahwa di balik kebijakan tersebut, juga melahirkan berbagai lapangan kerja baru.
Pemurnian mineral di dalam negeri jelas akan mendorong pertumbuhan industri yang berkaitan dengan mineral di sektor hilir, yang juga berarti terjadi penerapan tenaga kerja. Dan, kalaupun terjadi penurunan ekspor mineral, berdasarkan versi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak akan berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor secara keseluruhan karena kontribusi ekspor mineral tidak terlalu besar.
Jadi, diprediksi tidak mengganggu neraca perdagangan yang selama ini mengalami defisit karena kinerja ekspor tidak maksimal. Karena itu, ketika Presiden meminta pandangan pakar hukum tata negara atas kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah menjelang detik-detik pemberlakuan menimbulkan pertanyaan besar, seharusnya kebijakan yang sudah dirumuskan dan disepakati pemerintah dan DPR wajib disertai dengan sikap konsistensi, apalagi kebijakan ini terkait dengan SDA yang selama ini ditengarai lebih banyak dinikmati orang lain.
Jadikanlah kebijakan ini sebagai momentum meningkatkan nilai tawar pemerintah terhadap perusahaan tambang dalam negeri ataupun luar negeri yang terus berpesta pora mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang semula cukup semringah setelah mendapat persetujuan dari DPR, kini cenderung tak bisa menjelaskan lagi secara lugas aturan yang diyakini bisa menambah nilai tambah terhadap sumber daya alam (SDA) yang selama ini diekspor secara gelondongan.
Apakah pemerintah ragu dengan kebijakan tersebut? Semangat kedua pembantu presiden itu meredup setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pandangan dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra untuk mengkaji pelonggaran pelarangan ekspor mineral mentah tersebut. Yusril sudah menyelesaikan tugasnya. Sayangnya, Juru Bicara Presiden SBY Julian Aldrin Pasha tidak mengabarkan secara konkret pandangan yang disampaikan kepada orang nomor satu di negeri ini.
Secara diplomatis, Julian hanya menyampaikan bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa jangan sampai peraturan yang dijalankan akan merugikan, misalnya menimbulkan pengangguran dalam jumlah yang masif. Intinya, pemerintah tidak ingin kebijakan larangan ekspor mineral mentah itu menimbulkan masalah baru. Tetapi jangan salah mempertahankan masalah lama, termasuk membiarkan SDA dikeruk habis-habisan dengan kerugian jauh lebih besar juga tidak elok.
Sekarang tinggal menunggu keputusan apa yang bakal terjadi, apakah kebijakan itu akan ditunda hingga batas waktu tidak jelas, apakah kebijakan tersebut akan direvisi dalam artian membuka kelonggaran sebagai respons atas permintaan perusahaan tambang, terutama perusahaan tambang terbesar yang berinduk di Amerika Serikat? Pemerintah menampik bahwa pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor sama sekali jauh dari sikap ragu, apalagi atas lobi sejumlah perusahaan tambang raksasa yang beroperasi di Indonesia.
Presiden meneropong dari sisi ketenagakerjaan yang bisa berakibat buruk. Alasan itu pula yang disampaikan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI) Rozik Boedioro sebagai bentuk penolakan secara halus agar aturan tersebut tidak diberlakukan.
Dalam keterangannya pada media massa, FI dengan tegas menyatakan pihaknya belum siap menghentikan ekspor mineral mentah tahun depan. Kalau aturan itu dijalankan, produksi FI akan terpangkas sebanyak 60% dan mengancam PHK sebanyak 31.000 karyawan, mulai tenaga kerja langsung hingga kontraktor.
Apa yang disampaikan FI itu sah saja sebagai sebuah masukan kepada pemerintah. Namun juga harus dipertimbangkan bahwa di balik kebijakan tersebut, juga melahirkan berbagai lapangan kerja baru.
Pemurnian mineral di dalam negeri jelas akan mendorong pertumbuhan industri yang berkaitan dengan mineral di sektor hilir, yang juga berarti terjadi penerapan tenaga kerja. Dan, kalaupun terjadi penurunan ekspor mineral, berdasarkan versi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak akan berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor secara keseluruhan karena kontribusi ekspor mineral tidak terlalu besar.
Jadi, diprediksi tidak mengganggu neraca perdagangan yang selama ini mengalami defisit karena kinerja ekspor tidak maksimal. Karena itu, ketika Presiden meminta pandangan pakar hukum tata negara atas kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah menjelang detik-detik pemberlakuan menimbulkan pertanyaan besar, seharusnya kebijakan yang sudah dirumuskan dan disepakati pemerintah dan DPR wajib disertai dengan sikap konsistensi, apalagi kebijakan ini terkait dengan SDA yang selama ini ditengarai lebih banyak dinikmati orang lain.
Jadikanlah kebijakan ini sebagai momentum meningkatkan nilai tawar pemerintah terhadap perusahaan tambang dalam negeri ataupun luar negeri yang terus berpesta pora mengeruk kekayaan alam negeri ini.
(nfl)