Pasca-pembatalan Keppres pengangkatan hakim MK
A
A
A
SETELAH dikeluarkannya putusan PTUN Jakarta dalam perkara nomor 139/ G/2013/PTUN-Jkt terkait gugatan Koalisi LSM Tim Advokasi Penyelamat Mahkamah Konstitusi yang dimotori oleh YLBHI dan ICW, maka secara yuridis Keppres RI No. 87/P tentang pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim MK tak lagi berkekuatan hukum.
Selama persidangan di PTUN Jakarta, Patrialis melalui kuasa hukumnya oleh PTUN diposisikan sebagai Tergugat Intervensi, berdampingan dengan Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa presiden. Terhadap putusan yang telah mengalahkan Presiden RI di PTUN itu, hak pengajuan permohonan banding dari Patrialis seharusnya tidak bersifat mandiri. Artinya, Patrialis hanya bisa mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta hanya jika presiden melalui kuasa hukumnya mengajukan banding dalam perkara tersebut.
Namun daripada disibukkan dengan upaya hukum di PTUN untuk mempertahankan keppres yang cacat dan lemah secara hukum tersebut, lebih bijak jika saat ini presiden berkonsentrasi untuk mempersiapkan pengisian kekosongan beberapa hakim MK sesuai dengan mekanisme Perppu No. 1 Tahun 2013 yang sudah disetujui untuk menjadi undang-undang. Putusan PTUN Jakarta dalam perkara tersebut tergolong putusan yang bersifat progresif dan monumental karena beberapa alasan.
Pertama, pembatalan Keppres RI No 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013 mengukuhkan prasyarat normatif yang tercantum dalam Pasal 19 UU No 24 Tahun 2003 sebagai landasan hukum yang pertama kali terhadap eksistensi MK. Pasal 19 UU MK itu mengharuskan pemilihan hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif, sesuatu yang secara kasatmata dilanggar oleh Keppres RI Nomor 87/P tersebut.
Pasal 20 ayat (1) UU MK itu juga mewajibkan agar sebelum ditetapkan hakim MK, Presiden, MA, dan DPR mengeluarkan peraturan yang mengatur sistem dan mekanisme pemilihan hakim MK untuk memenuhi prinsip objektivitas dan akuntabilitas yang diatur pada Pasal 20 ayat (2) UU No 24 Tahun 2003.
Tidak adanya dasar hukum operasional untuk mengatur sistem dan mekanisme seleksi dan pengangkatan hakim MK sebagai dasar penetapan Keppres No. 87/P, telah berimplikasi terhadap kegagalan keppres itu dalam memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam pengangkatan hakim MK, yaitu transparan dan partisipatif, yang paralel dengan asas keterbukaan dan asas fair play dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principle of good administration) yang seharusnya diperhatikan oleh pejabat tata usaha negara.
Kedua, akibat tidak dipenuhinya syarat penetapan dalam penerbitan Keppres No 87/P/- 2013 tersebut, selain menyebabkan terjadinya tindakan sewenang- wenang (abuse of power), juga telah mengubah karakter dari penetapan pengangkatan hakim MK yang menurut penjelasan Pasal 18 UU No 24 Tahun 2003 yang semestinya hanya bersifat administratif, menjadi bersifat substantif. Artinya, di sini dalam menetapkan Keppres RI No 87/P tersebut, presiden telah melampaui batas wewenangnya yang dalam teori hukum administrasi negara dikenal sebagai ultra-vires.
Eksistensi syarat transparan dan partisipatif sebagaimana diatur pada Pasal 19 UU No. 24 Tahun 2003 bersifat imperatif dan wajib dipatuhi dalam proses pengangkatan hakim MK. Dengan telah disetujuinya Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 menjadi undang-undang, syarat transparan dan partisipatif dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK semakin dielaborasi lebih jauh lagi dengan melibatkan Panel Ahli dan membuka seluas- luasnya partisipasi masyarakat dengan pengawasan intensif Komisi Yudisial sejak awal proses seleksi.
Cara tersebut dimaksudkan untuk memperketat mekanisme seleksi para hakim MK sehingga dapat dihasilkan calon-calon hakim MK yang semakin berkualitas dan memiliki sifat kenegarawanan.
Pasca disetujuinya Perppu No. 1 Tahun 2013 itu, selain upaya hukum terhadap putusan PTUN Jakarta sudah kehilangan momentum, juga tidak akan berkontribusi positif terhadap upaya pemulihan dan perbaikan MK. Upaya untuk mempertahankan eksistensi Keppres No 87/P/2013 tak lebih hanya menggiring kursi di MK hanya menjadi arena kontestasi perebutan jabatan secara pribadi yang berkelindan dengan motif kepentingan politik partisan, bukan lagi upaya perbaikan MK secara komprehensif.
Kini setelah Perppu No. 1 Tahun 2013 disetujui menjadi undang-undang, sebaiknya pemerintah dan DPR segera berkonsentrasi untuk melaksanakan proses seleksi hakim MK untuk mengisi kekosongan beberapa hakim MK pasca keluarnya Akil Mochtar dari komposisi hakim MK, karena terbelit kasus hukum dan pascaputusan PTUN Jakarta tersebut. Seyogianya, pengisian jabatan hakim MK dipergunakan sistem dan mekanisme yang sudah diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2013 yang tinggal menunggu prosedur administratif untuk disahkan sebagai undang-undang dalam Lembaran Negara.
Hal ini diperlukan untuk mengembalikan wibawa Mahkamah Konstitusi secara sistemik dan bertahap. Namun, saat ini Perppu tersebut juga sedang diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi. Sebaiknya beberapa hakim di MK tidak melakukan perlawanan dengan membatalkan Perppu itu karena dalam hukum terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa ”tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri” (nemo debet esse judex in propria causa).
Justru, di sinilah letak ujian bagi sikap kenegarawanan para hakim MK di tengah krisis kepercayaan yang serius terhadap satu-satunya lembaga penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) di negeri yang kian terbelit oleh gurita korupsi ini.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Selama persidangan di PTUN Jakarta, Patrialis melalui kuasa hukumnya oleh PTUN diposisikan sebagai Tergugat Intervensi, berdampingan dengan Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasa presiden. Terhadap putusan yang telah mengalahkan Presiden RI di PTUN itu, hak pengajuan permohonan banding dari Patrialis seharusnya tidak bersifat mandiri. Artinya, Patrialis hanya bisa mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta hanya jika presiden melalui kuasa hukumnya mengajukan banding dalam perkara tersebut.
Namun daripada disibukkan dengan upaya hukum di PTUN untuk mempertahankan keppres yang cacat dan lemah secara hukum tersebut, lebih bijak jika saat ini presiden berkonsentrasi untuk mempersiapkan pengisian kekosongan beberapa hakim MK sesuai dengan mekanisme Perppu No. 1 Tahun 2013 yang sudah disetujui untuk menjadi undang-undang. Putusan PTUN Jakarta dalam perkara tersebut tergolong putusan yang bersifat progresif dan monumental karena beberapa alasan.
Pertama, pembatalan Keppres RI No 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013 mengukuhkan prasyarat normatif yang tercantum dalam Pasal 19 UU No 24 Tahun 2003 sebagai landasan hukum yang pertama kali terhadap eksistensi MK. Pasal 19 UU MK itu mengharuskan pemilihan hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif, sesuatu yang secara kasatmata dilanggar oleh Keppres RI Nomor 87/P tersebut.
Pasal 20 ayat (1) UU MK itu juga mewajibkan agar sebelum ditetapkan hakim MK, Presiden, MA, dan DPR mengeluarkan peraturan yang mengatur sistem dan mekanisme pemilihan hakim MK untuk memenuhi prinsip objektivitas dan akuntabilitas yang diatur pada Pasal 20 ayat (2) UU No 24 Tahun 2003.
Tidak adanya dasar hukum operasional untuk mengatur sistem dan mekanisme seleksi dan pengangkatan hakim MK sebagai dasar penetapan Keppres No. 87/P, telah berimplikasi terhadap kegagalan keppres itu dalam memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam pengangkatan hakim MK, yaitu transparan dan partisipatif, yang paralel dengan asas keterbukaan dan asas fair play dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principle of good administration) yang seharusnya diperhatikan oleh pejabat tata usaha negara.
Kedua, akibat tidak dipenuhinya syarat penetapan dalam penerbitan Keppres No 87/P/- 2013 tersebut, selain menyebabkan terjadinya tindakan sewenang- wenang (abuse of power), juga telah mengubah karakter dari penetapan pengangkatan hakim MK yang menurut penjelasan Pasal 18 UU No 24 Tahun 2003 yang semestinya hanya bersifat administratif, menjadi bersifat substantif. Artinya, di sini dalam menetapkan Keppres RI No 87/P tersebut, presiden telah melampaui batas wewenangnya yang dalam teori hukum administrasi negara dikenal sebagai ultra-vires.
Eksistensi syarat transparan dan partisipatif sebagaimana diatur pada Pasal 19 UU No. 24 Tahun 2003 bersifat imperatif dan wajib dipatuhi dalam proses pengangkatan hakim MK. Dengan telah disetujuinya Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 menjadi undang-undang, syarat transparan dan partisipatif dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK semakin dielaborasi lebih jauh lagi dengan melibatkan Panel Ahli dan membuka seluas- luasnya partisipasi masyarakat dengan pengawasan intensif Komisi Yudisial sejak awal proses seleksi.
Cara tersebut dimaksudkan untuk memperketat mekanisme seleksi para hakim MK sehingga dapat dihasilkan calon-calon hakim MK yang semakin berkualitas dan memiliki sifat kenegarawanan.
Pasca disetujuinya Perppu No. 1 Tahun 2013 itu, selain upaya hukum terhadap putusan PTUN Jakarta sudah kehilangan momentum, juga tidak akan berkontribusi positif terhadap upaya pemulihan dan perbaikan MK. Upaya untuk mempertahankan eksistensi Keppres No 87/P/2013 tak lebih hanya menggiring kursi di MK hanya menjadi arena kontestasi perebutan jabatan secara pribadi yang berkelindan dengan motif kepentingan politik partisan, bukan lagi upaya perbaikan MK secara komprehensif.
Kini setelah Perppu No. 1 Tahun 2013 disetujui menjadi undang-undang, sebaiknya pemerintah dan DPR segera berkonsentrasi untuk melaksanakan proses seleksi hakim MK untuk mengisi kekosongan beberapa hakim MK pasca keluarnya Akil Mochtar dari komposisi hakim MK, karena terbelit kasus hukum dan pascaputusan PTUN Jakarta tersebut. Seyogianya, pengisian jabatan hakim MK dipergunakan sistem dan mekanisme yang sudah diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2013 yang tinggal menunggu prosedur administratif untuk disahkan sebagai undang-undang dalam Lembaran Negara.
Hal ini diperlukan untuk mengembalikan wibawa Mahkamah Konstitusi secara sistemik dan bertahap. Namun, saat ini Perppu tersebut juga sedang diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi. Sebaiknya beberapa hakim di MK tidak melakukan perlawanan dengan membatalkan Perppu itu karena dalam hukum terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa ”tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkara yang menyangkut kepentingannya sendiri” (nemo debet esse judex in propria causa).
Justru, di sinilah letak ujian bagi sikap kenegarawanan para hakim MK di tengah krisis kepercayaan yang serius terhadap satu-satunya lembaga penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) di negeri yang kian terbelit oleh gurita korupsi ini.
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(nfl)