Mahasiswa UI kembangkan bakteri pembuatan bioetanol

Selasa, 10 Desember 2013 - 11:22 WIB
Mahasiswa UI kembangkan bakteri pembuatan bioetanol
Mahasiswa UI kembangkan bakteri pembuatan bioetanol
A A A
Sindonews.com - Tiga mahasiswa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA UI) meneliti bakteri yang bisa dijadikan bahan dasar pembuatan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan. Yang menarik, bakteri yang diteliti didapat dari hasil limbah agraria.

Selama ini, pembuatan bioetanol masih terbatas pada penggunaan bahan utama dari satu jenis tanaman. Sedangkan sisanya menjadi limbah. Limbah inilah yang dimanfaatkan sebagai penghasil bakteri sebagai bahan baku enzim dalam proses bahan bakar alternatif bioetanol.

Berangkat dari langkanya bahan bakar minyak yang semakin langka mendorong tiga mahasiswa jurusan Biologi UI ini menciptakan bahan bakar alternatif dari bioetanol. Abinubli Tariswafi M dan Ricky Karta Atmadja, angkatan 2010 jurusan biologi Fakultas MIPA UI, serta Siska yulian Sari angkatan 2011 jurusan Biologi Fakultas MIPA UI tergerak meneliti bakteri termofilik yang mampu menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi.

"Jika biasanya bioetanol tersebut dibuat dari bahan pangan dari jagung atau pangan lainnya yang juga dikonsumsi manusia, kami coba kembangkan penelitian agar bisa membuatnya dari limbah pertanian yang tidak terpakai untuk pangan. Misalnya seperti tandan kosong kelapa sawit, tangkai jagung, tangkai tebu, dan jerami padi," kata Siska saat ditemui di sela acara final Olimpiade Seleksi Nasional (OSN) Pertamina 2013 di Balai Sidang UI, Depok, Senin (9/12/2013).

Meskipun demikian, pembuatan bioetanol menggunakan limbah pertanian seringkali kurang efisien karena tidak adanya enzim lignoselulosa yang tahan suhu tinggi pada saat dilakukan pemanasan. Sehingga ketiganya berkesimpulan hal itu bisa diatasi dengan menambahkan bakteri tahan panas atau termofilik pada proses pembuatan bioetanol untuk mengonversi lignoselulosa. Bakteri termofilik diketahui memiliki kemampuan menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi. Mereka bisa ditemukan di lokasi dengan suhu tinggi seperti geyser yang di dekatnya terdapat serasah daun dan ranting pohon.

Dalam penelitian yang dilakukan tiga mahasiswa ini, mereka meneliti keberadaan dan jenis bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulase dari geyser di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. "Kami lakukan penelitian mengenai daya degradasi bakteri tersebut agar bisa diaplikasikan pada pembuatan bioetanol yang lebih efisien," ujar Siska menjelaskan.

Indonesia merupakan Negara agraris dengan produksi pertanian dan perkebunan melimpah yang menghasilkan banyak limbah lignoselulosa. Limbah-limbah lignoselulosa tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol. Namun, limbah-limbah lignoselulosa tersebut biasanya hanya ditumpuk dan didiamkan atau dibakar karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi apapun. "Padahal, limbah lignoselulosa tersebut bisa dibilang sebagai bahan baku yang gratis untuk pembuatan bioetanol. Karena hal tersebutlah, limbah lignoselulosa dianggap tepat untuk dijadikan bahan baku utama bioetanol," ujar Siska.

Ketua Tim Peneliti, Abinubli menceritakan diambilnya bakteri dari Cisolok tersebut karena salah satu geyser di Indonesia tersebut masih aktif menyeburkan air panas dengan suhu diatas 90 derajat Celcius. Selain itu, mereka juga ingin mengambil sumber daya dari Indonesia. "Kami ingin mengekplorasi manfaat dari sumber daya alam sendiri sehingga kita melepaskan diri dari ketergantungan impor," kata Abinubli yang menjadi Ketua Tim Penelitian tersebut.

Bioetanol yang digunakan saat ini kebanyakan berasal dari bahan baku pangan sehingga menimbulkan persaingan pemenuhan kebutuhan pangan dan sektor produksi bioetanol. Indonesia memiliki limbah lignoselulosa yang berlimpah untuk dijadikan bahan baku bioetanol pengganti bahan baku bioetanol dari sektor pangan. Indonesia juga kaya akan keanekaragaman mikroorganisme, terutama bakteri diantaranya ada kelompok bakteri termofilik.

"Kami ingin mengetahui keberadaan dan jenis bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulase. Serta dapat mengetahui daya degradasinya agar bisa diaplikasikan pada proses pembuatan bioetanol dari limbah lignoselulosa dengan lebih efisien," ungkapnya.

Diharapkan, dari penelitian ini dapat ditemukann bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulase yang termostabil pada suhu tinggi dan enzim tersebut mampu mendegradasi lignoselulosa pada suhu tinggi. Dengan demikian dapat diaplikasikan secara bersamaan dengan proses perlakuan awal konversi lignoselulosa menjadi bioetanol menggunakan suhu tinggi secara efisien.

Abi menuturkan, Indonesia selain memiliki limbah lignoselulosa yang berlimpah untuk bahan baku bioetanol juga memiliki keanekaragaman mikroorganisme, terutama bakteri, yang belum sepenuhnya diketahui keberadaan dan manfaatnya. "Padahal, tiap-tiap mikroorganisme memiliki peran penting bagi ekosistem, dan beberapa diantaranya bahkan memiliki nilai ekonomi yang penting sehingga memicu perkembangan bioteknologi," ungkapnya.

Mikroorganisme di Indonesia yang belum ditemukan dan dimanfaatkan tersebut kemungkinan ada yang bersifat termofilik dan mampu menghasilkan enzim lignoselulase yang tahan suhu tinggi untuk konversi limbah lignoselulosa menjadi bioetanol secara efisien. Berbagai jenis mikroorganisme dari golongan bakteri dan fungi dapat menghasilkan enzim lignoselulase. Namun, Bakteri merupakan agen penghasil enzim lignoselulase yang baik dibandingkan mikroorganisme lain.

Hal tersebut dikarenakan bakteri memiliki keunggulan jika digunakan dalam proses industri. Keunggulan tersebut adalah banyak jenis bakteri yang tahan suhu tinggi (termofilik). "Bakteri lebih memiliki waktu pembelahan yang lebih cepat, dapat dikultur pada sistem fermentasi dengan pengadukan, dan enzim yang dihasilkan bakteri lebih mudah dipanen," katanya.

Bakteri termofilik yang memiliki kemampuan enzim lignoselulase dapat diisolasi dari lingkungan bersuhu tinggi. Beberapa lingkungan bersuhu tinggi yang ada di Indonesia adalah kawah gunung vulkanik, semburan gas panas, cerobong hidrotermal di dasar laut, dan geyser. Namun, dari lingkungan-lingkungan yang sudah disebutkan, geyser lebih cocok dijadikan tempat isolasi bakteri termofilik penghasil lignoselulase karena pada geyser terdapat kemungkinan penumpukan serasah daun dan ranting-ranting pepohonan yang merupakan limbah berlignoselulosa. "Geyser di Cisolok masih aktif dan menyemburkan air panas yang memiliki suhu diatas 90 derajat Celcius.

Selain itu, terdapat banyak serasah daun dan ranting-ranting pepohonan di sekitar geyser di Cisolok yang merupakan limbah sumber lignoselulosa. Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulosa yang termostabil pada suhu tinggi," tambahnya.
(lal)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3986 seconds (0.1#10.140)