Tahun politik dan antisipasi benturan ideologis
A
A
A
KITA telah berada di penghujung 2013 dan sebentar lagi memasuki 2014. Tahun depan nanti rakyat akan menggelar pesta demokrasi berupa pemilihan umum, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Pesta demokrasi ini penting karena menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin untuk lima tahun ke depan secara langsung, jujur, adil, dan damai. Meski di atas kertas, sistem dan regulasi terkait pemilu cukup memadai, namun di lapangan masih ada beberapa catatan yang cukup memprihatinkan.
Artinya, harapan ada pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat seakan runtuh ketika proses pemilu masih cenderung transaksional dan terjadi kecurangan-kecurangan tertentu yang berdampak pada ketidakpuasan rakyat yang berujung pada kerusuhan sosial dan benturan ideologis. Inilah pentingnya upaya antisipatif dari semua pihak agar kita tidak hanya cenderung menyalahkan sistem atau regulasi pemilu, tapi juga lebih memberi solusi atas realitas politik itu sendiri.
Akar masalah
Dalam konteks sejarah benturan ideologis antarpartai politik merupakan hal ”alamiah” terjadi, ibarat air dan minyak. Partai politik lahir atas kesamaan cita-cita ideologis dan tujuan para anggota. Bisa saja berbasis agama vis a vis negara maupun penggabungan antara keduanya. Masing-masing parpol berupaya untuk mempropagandakan ajaran ideologis dan program partai kepada para anggota maupun simpatisan.
Akibat itu, gesekan-gesekan kepentingan antarpengikut parpol, baik bermotif ideologis maupun pragmatis, tak terhindarkan. Kondisi inilah melahirkan apa yang dikenal dengan istilah ”politik aliran”. Istilah ini muncul sudah cukup lama, terutama sejak Orde Lama, yakni pada Pemilu 1955 hingga Orde Baru, yakni prareformasi. Dalam konteks inilah, Clifford Geertz menggolongkan politik aliran menjadi tiga kelompok yakni santri, abangan, dan priyayi.
Istilah Islam santri ditujukan pada umat Islam yang taat menjalankan ajaran agama, baik dalam urusan ”ibadah mahdhah” maupun ”muamalah”, termasuk di dalamnya politik. Bagi kelompok ini, ajaran agama dijadikan rujukan utama ideologi dan gerakan partai. Sementara istilah abangan dan priyayi ditujukan pada umat yang menjadikan ajaran agama sebatas inspirasi nilai moral ideologi dan gerakan partai. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada kelas sosial saja.
Artinya, kelompok abangan mewakili mayoritas kelas awam dan kelompok priyayi mewakili kelas elite. Jika pada Orde Lama kebebasan politik termasuk politik aliran cukup mendapat tempat dan tumbuh subur, pada Orde Baru mulai terjadi pembatasan-pembatasan gerak tertentu. Akibat penetrasi inilah, diamdiam politik aliran tetap tumbuh di ”bawah tanah”. Tak heran jika di beberapa kelompok masyarakat di daerah-daerah tetap mengikuti dan mengembangkan ideologi tertentu tanpa terlihat di permukaan.
Tawaran solusi
Pada Orde Reformasi kran kebebasan terbuka lebar. Berbagai kepentingan dan ideologi yang selama ini terkungkung kini bermunculan kembali. Parpol kembali bermunculan bak jamur di musim hujan. Jumlah parpol peserta pemilu pertama pada Orde Reformasi cukup banyak. Puluhan parpol yang lahir di orde ini bisa saja munculnya parpol-parpol itu atas dasar panggilan ”nostalgia” para elite atas ideologi yang tertekan ataupun sekadar ada tuntutan ”kepentingan sesaat” saja.
Asumsi untuk alasan pertama, elite yang bergabung dalam parpol semata-mata hendak membuktikan kepada rakyat, ideologi tidak akan pernah mati. Boleh sementara mati suri, tetapi ia akan muncul kembali. Asumsi untuk alasan kedua, elite yang bergabung dalam parpol semata-mata hanya untuk euforia dan kepentingan sesaat. Artinya, jika terjadi benturan ditingkat rakyat, tidak lagi semata-mata pada persoalan ideologi, tapi kepentingan pragmatisme.
Rakyat dihadapkan pada kepentingan jangka pendek dan transaksional. Tingkat partisipasi rakyat lebih dipandang dari sisi ”keuntungan” materi, bukan nilai. Terlepasdari itu, adabeberapa catatan penting. Pertama, benturan ideologis bagi partai politik mungkin sulit dihindarkan. Namun, hendaknya masing-masing elite politik dapat menekan ego sektoral, termasuk agama dan ideologis untuk kepentingan yang lebih besar yakni negara bangsa.
Agama dan ideologi merupakan pengawal moralitas bagi kehidupan bangsa secara konteks individual untuk kepentingan publik. Ini berarti, agama maupun ideologi menjadi daya spiritualitas bukan formalisasi bagi gerakan apa pun, termasuk partai politik. Jika ini mampu kita lakukan, agama maupun ideologi akan menemukan daya kontekstualitasnya yang tinggi, bukan sebaliknya.
Kedua, munculnya konflik sosial dan kerusuhan horizontal dewasa ini lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan seperti kecurangan-kecurangan pelaksanaan pemilu dan kepentingan pragmatis. Karena itu, peran semua pihak terutama konstituen partai dan rakyat sangat penting dalam rangka meminimalisasi benturan dan konflik sosial.
Pada sisi lain, kepentingan pragmatis dan politik transaksional tampaknya lebih mengemuka dalam kontestasi parpol dewasa ini. Pendekatan program dalam arti manfaat ekonomis bagi rakyat jauh menjadi incaran parpol. Parpol yang menguasai kapital, berorientasi program ekonomi, bisa jadi menjadi dambaan rakyat. Karena itu, peran parpol dalam konteks transformasi nilai dan pendidikan politik kader sangat penting.
Politik tak mungkin dilepaspisahkan dari kepentingan nilai dan ideologi. Pada saat yang sama politik juga tak mungkin menghindar dari agenda pemberdayaan rakyat secara komprehensif, baik pendidikan kader maupun pemberdayaan ekonomi.
Keduanya harus saling mengait agar parpol tak kehilangan nilai ideal, sekaligus tak ditinggalkan oleh pendukung dan rakyat. Dari sinilah tahun politik 2014 ini menjadi momentum untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, berkarakter, dan makmur.
MARWAN JAFAR
Ketua Fraksi PKB DPR RI dan Ketua DPP PKB
Pesta demokrasi ini penting karena menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin untuk lima tahun ke depan secara langsung, jujur, adil, dan damai. Meski di atas kertas, sistem dan regulasi terkait pemilu cukup memadai, namun di lapangan masih ada beberapa catatan yang cukup memprihatinkan.
Artinya, harapan ada pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat seakan runtuh ketika proses pemilu masih cenderung transaksional dan terjadi kecurangan-kecurangan tertentu yang berdampak pada ketidakpuasan rakyat yang berujung pada kerusuhan sosial dan benturan ideologis. Inilah pentingnya upaya antisipatif dari semua pihak agar kita tidak hanya cenderung menyalahkan sistem atau regulasi pemilu, tapi juga lebih memberi solusi atas realitas politik itu sendiri.
Akar masalah
Dalam konteks sejarah benturan ideologis antarpartai politik merupakan hal ”alamiah” terjadi, ibarat air dan minyak. Partai politik lahir atas kesamaan cita-cita ideologis dan tujuan para anggota. Bisa saja berbasis agama vis a vis negara maupun penggabungan antara keduanya. Masing-masing parpol berupaya untuk mempropagandakan ajaran ideologis dan program partai kepada para anggota maupun simpatisan.
Akibat itu, gesekan-gesekan kepentingan antarpengikut parpol, baik bermotif ideologis maupun pragmatis, tak terhindarkan. Kondisi inilah melahirkan apa yang dikenal dengan istilah ”politik aliran”. Istilah ini muncul sudah cukup lama, terutama sejak Orde Lama, yakni pada Pemilu 1955 hingga Orde Baru, yakni prareformasi. Dalam konteks inilah, Clifford Geertz menggolongkan politik aliran menjadi tiga kelompok yakni santri, abangan, dan priyayi.
Istilah Islam santri ditujukan pada umat Islam yang taat menjalankan ajaran agama, baik dalam urusan ”ibadah mahdhah” maupun ”muamalah”, termasuk di dalamnya politik. Bagi kelompok ini, ajaran agama dijadikan rujukan utama ideologi dan gerakan partai. Sementara istilah abangan dan priyayi ditujukan pada umat yang menjadikan ajaran agama sebatas inspirasi nilai moral ideologi dan gerakan partai. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada kelas sosial saja.
Artinya, kelompok abangan mewakili mayoritas kelas awam dan kelompok priyayi mewakili kelas elite. Jika pada Orde Lama kebebasan politik termasuk politik aliran cukup mendapat tempat dan tumbuh subur, pada Orde Baru mulai terjadi pembatasan-pembatasan gerak tertentu. Akibat penetrasi inilah, diamdiam politik aliran tetap tumbuh di ”bawah tanah”. Tak heran jika di beberapa kelompok masyarakat di daerah-daerah tetap mengikuti dan mengembangkan ideologi tertentu tanpa terlihat di permukaan.
Tawaran solusi
Pada Orde Reformasi kran kebebasan terbuka lebar. Berbagai kepentingan dan ideologi yang selama ini terkungkung kini bermunculan kembali. Parpol kembali bermunculan bak jamur di musim hujan. Jumlah parpol peserta pemilu pertama pada Orde Reformasi cukup banyak. Puluhan parpol yang lahir di orde ini bisa saja munculnya parpol-parpol itu atas dasar panggilan ”nostalgia” para elite atas ideologi yang tertekan ataupun sekadar ada tuntutan ”kepentingan sesaat” saja.
Asumsi untuk alasan pertama, elite yang bergabung dalam parpol semata-mata hendak membuktikan kepada rakyat, ideologi tidak akan pernah mati. Boleh sementara mati suri, tetapi ia akan muncul kembali. Asumsi untuk alasan kedua, elite yang bergabung dalam parpol semata-mata hanya untuk euforia dan kepentingan sesaat. Artinya, jika terjadi benturan ditingkat rakyat, tidak lagi semata-mata pada persoalan ideologi, tapi kepentingan pragmatisme.
Rakyat dihadapkan pada kepentingan jangka pendek dan transaksional. Tingkat partisipasi rakyat lebih dipandang dari sisi ”keuntungan” materi, bukan nilai. Terlepasdari itu, adabeberapa catatan penting. Pertama, benturan ideologis bagi partai politik mungkin sulit dihindarkan. Namun, hendaknya masing-masing elite politik dapat menekan ego sektoral, termasuk agama dan ideologis untuk kepentingan yang lebih besar yakni negara bangsa.
Agama dan ideologi merupakan pengawal moralitas bagi kehidupan bangsa secara konteks individual untuk kepentingan publik. Ini berarti, agama maupun ideologi menjadi daya spiritualitas bukan formalisasi bagi gerakan apa pun, termasuk partai politik. Jika ini mampu kita lakukan, agama maupun ideologi akan menemukan daya kontekstualitasnya yang tinggi, bukan sebaliknya.
Kedua, munculnya konflik sosial dan kerusuhan horizontal dewasa ini lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan seperti kecurangan-kecurangan pelaksanaan pemilu dan kepentingan pragmatis. Karena itu, peran semua pihak terutama konstituen partai dan rakyat sangat penting dalam rangka meminimalisasi benturan dan konflik sosial.
Pada sisi lain, kepentingan pragmatis dan politik transaksional tampaknya lebih mengemuka dalam kontestasi parpol dewasa ini. Pendekatan program dalam arti manfaat ekonomis bagi rakyat jauh menjadi incaran parpol. Parpol yang menguasai kapital, berorientasi program ekonomi, bisa jadi menjadi dambaan rakyat. Karena itu, peran parpol dalam konteks transformasi nilai dan pendidikan politik kader sangat penting.
Politik tak mungkin dilepaspisahkan dari kepentingan nilai dan ideologi. Pada saat yang sama politik juga tak mungkin menghindar dari agenda pemberdayaan rakyat secara komprehensif, baik pendidikan kader maupun pemberdayaan ekonomi.
Keduanya harus saling mengait agar parpol tak kehilangan nilai ideal, sekaligus tak ditinggalkan oleh pendukung dan rakyat. Dari sinilah tahun politik 2014 ini menjadi momentum untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, berkarakter, dan makmur.
MARWAN JAFAR
Ketua Fraksi PKB DPR RI dan Ketua DPP PKB
(nfl)