Bencana hukum

Sabtu, 05 Oktober 2013 - 07:59 WIB
Bencana hukum
Bencana hukum
A A A
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi drama paling menyedihkan dalam dunia peradilan Indonesia.

MK adalah benteng terakhir orang mencari keadilan karena putusannya final, mengikat, dan tidak bisa diganggu gugat. Kini benteng pertahanan itu jebol karena prahara yang diciptakan sendiri oleh hakim konstitusi yang paling dihormati. Tangkap tangan kasus penyuapan yang melibatkan Akil bukan hanya memalukan keluarga besar MK yang selama ini masih mendapat kepercayaan masyarakat, melainkan tindakan tak bermoral itu sudah mempermalukan seluruh rakyat Indonesia.

Rakyat kini hanya bisa mengandalkan KPK sebagai satu-satunya institusi penegak hukum yang masih bisa dipercaya untuk membongkar kasus-kasus korupsi kakap yang dilakukan para penyelenggara negara. Ada rasa cemas yang luar biasa di benak publik karena KPK bukanlah lembaga yang bebas dari tekanan dan godaan. Perlawanan para koruptor terhadap lembaga-lembaga penegak hukum tidak pernah surut, sistematis, dan seringkali mematikan.

Terbukti sekaliber ketua MK saja bisa terkena kasus seperti ini. Bukan tidak mungkin, KPK juga bisa terkena hal serupa. Penangkapan Akil yang diduga menerima suap dalam kasus Pilkada Gunung Mas dan Lebak ini menjadi pintu masuk untuk membersihkan MK dari praktik-praktik kotor yang sering terdengar samar-samar di ruang publik.

Di mana ada peradilan di sana pasti ada oknum-oknum yang menggunakan segala cara untuk mencari keuntungan dengan menawarkan jasa kepada pihak-pihak yang beperkara maupun yang memutus perkara (hakim) dengan imbalan uang. Jual beli perkara pun terjadi karena ada supply and demand yang diciptakan menjadi potensi korupsi. Pembenahan sistem hukum dan perundang-undangan untuk mempersempit ruang gerak para petualang hukum dalam melakukan transaksi perkara adalah keharusan.

Namun, memperketat aturan tanpa memperbaiki mental aparat penegak hukum secara bersamaan ibarat menegakkan benang basah. Mental dan karakter hakim yang jujur, berani, dan tidak gampang tergoda harus dibentuk oleh negara dengan sistematis dan berkelanjutan. Mulai dari sistem pendidikan di sekolah dasar hingga universitas. Pola rekrutmen calon hakim, jaksa, polisi, dan aparatur negara juga harus bebas dari suap dan titip menitip.

Kabar ada praktik-praktik suap dalam rekrutmen hakim, jaksa, dan polisi masih terdengar nyaring. Lagi-lagi karena ada pasar yang menggiurkan di sana. Terus terang, publik masih belum yakin benar dengan pola rekrutmen pejabat negara yang sekarang dilakukan pemerintah maupun DPR. Fit and proper test tidak mampu menyaring mana calon yang memiliki integritas dan mana yang tidak.

Cara seperti itu justru menjadi lahan baru untuk bermain. Ini berarti arena permainan semakin luas dan sulit dikendalikan. Bagaimana dengan sistem pengawasan? Sisi ini juga bisa menjadi sumber masalah serius. Belum ada mekanisme jelas untuk mengontrol perilaku hakim konstitusi. Kekuasaan besar yang diberikan kepada MK, MA, maupun KPK akan berubah menjadi bencana jika tidak disertai sistem pengawasan yang baik dan terukur.

Publik dan media massa memang bisa menjadi salah satu wahana pengawasan. Namun, publik dan media tidak mampu menembus sisi-sisi gelap lembaga peradilan yang hanya bisa dilakukan perangkat negara yang memang diberi kewenangan khusus untuk mengawasi perilaku para hakim, jaksa, dan penegak hukum.

Vonis ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi juga memberi andil besar bagi kelestarian praktik transaksional di lembaga peradilan kita. Pemiskinan dan hukuman berat bagi koruptor masih dalam taraf wacana. Kasus-kasus korupsi kakap yang melibatkan para penegak hukum harus jadi pembuktian untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor. Jika tidak sekarang dilakukan, kapan lagi?
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0764 seconds (0.1#10.140)