Deflasi dan surplus

Kamis, 03 Oktober 2013 - 06:58 WIB
Deflasi dan surplus
Deflasi dan surplus
A A A
KEGEMBIRAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak bisa disembunyikan sebelum membuka sidang kabinet paripurna kemarin.

Ada apa gerangan yang membuat Presiden terlihat semringah siang itu? Rupanya, sumber keceriaan berasal dari pesan pendek Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin yang mengabarkan telah terjadi deflasi sepanjang September 2013 dan neraca perdagangan Indonesia (NPI) mencatat surplus pada Agustus 2013.

Dua indikator ekonomi tersebut menunjukkan optimisme pertumbuhan ekonomi nasional yang sempat terjegal sepanjang tahun ini. Deflasi yang tercetak pada September lalu memang terasa istimewa, selain “kedatangannya” sangat dinantikan untuk menekan angka inflasi yang terus meroket sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, juga deflasi yang baru terjadi lagi sejak September 2001. Data terbaru BPS mengungkapkan, selama September 2013 terjadi deflasi hingga 0,37%, yang meliputi 66 kota besar di mana Sorong mencatat deflasi tertinggi sekitar 4,28% dan terendah sebesar 0,02% tercetak di Surabaya.

Saat menyampaikan pengumuman itu, Suryamin menyatakan, harga-harga bahan pangan tercatat turun karena dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) sudah selesai. Sebenarnya deflasi September sudah diprediksi oleh kalangan analis ekonomi dan pasar modal bahwa dampak kenaikan harga BBM bersubsidi paling lama akan terasa selama tiga bulan. Jadi, selama ini mereka tidak khawatir angka inflasi akan terus menekan hingga akhir tahun ini.

Yang mengejutkan adalah posisi NPI dari bulan ke bulan sepanjang tahun ini mencatatkan hasil defisit tibatiba surplus pada Agustus 2013 yang mencapai USD132,4 juta. Surplus tersebut tercipta dari nilai ekspor sebesar USD13,16 miliar, sedangkan nilai impor sekitar USD13,03 miliar. Dari sisi volume perdagangan juga mencatat surplus sebesar 43,11 juta ton. Rinciannya, volume ekspor sebesar 53,01 juta dan impor sekitar 9,89 juta ton.

Pemerintah mengklaim munculnya deflasi pada September dan surplus NPI Agustus sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam menjinakkan pengaruh dari krisis ekonomi global dan perbaikan perekonomian nasional berjalan mulus. Klaim itu sah saja. Tetapi, ingat tidak bisa dipungkiri bahwa melorotnya angka impor sulit dilepaskan dari pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam tiga bulan terakhir yang membuat rupiah terkapar. Para importir memilih untuk tiarap sementara seraya menunggu rupiah berotot lagi.

Sejatinya itu tak perlu menjadi perdebatan tohtugas pemerintah untuk NPI surplus masih panjang. Surplus NPI Agustus ibaratnya baru secercah sinar yang akan menuntun pemerintah menemukan cahaya lebih terang lagi. Meski tercetak surplus Agustus, posisi NPI selama periode Januari hingga Agustus 2013 masih mengalami defisit dengan angka akumulasi yang mencapai USD5,5 miliar. Bagaimana dengan angka inflasi hingga akhir tahun ini? Kemunculan deflasi pada September lalu membuat pemerintah optimistis angka inflasi yang diprediksi sekitar 9% tahun ini bisa terkoreksi. Pemerintah menilai, Oktober ini kecenderungan terjadi deflasi masih tinggi.

Namun, tentu dengan catatan pemerintah harus bisa menjinakkan fluktuasi harga-harga pangan seperti harga kedelai, daging ayam, dan daging sapi yang masih terus mengancam. Seiring dengan sikap optimistis pemerintah, ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan memprediksi angka inflasi berada di kisaran 8,7% dengan catatan pemerintah memberi insentif yang tepat pada pelaku ekonomi yang berorientasi ekspor.

Karena itu, momentum membaiknya dua indikator positif pertumbuhan ekonomi jangan sampai terlewatkan begitu saja. Secara internal masih dibutuhkan langkah-langkah lebih konkret lagi dari pemerintah untuk mempertahankan situasi dan kondisi tersebut guna menjaga stabilnya pertumbuhan perekonomian nasional.

Namun, yang membuat nervous–meminjami stilah Menteri Keuangan Chatib Basri––adalah dampak dari penutupan pemerintahan AS (government shutdown) yang akan berimbas pada perekonomian domestik. Bukan hanya Indonesia yang nervous, melainkan seluruh dunia mengingat AS sebagai adidaya ekonomi sedang sakit.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8133 seconds (0.1#10.140)