Kekerasan atas nama agama harus dihentikan
A
A
A
Sindonews.com – Konflik antar umat beragama di Indonesia tidak mungkin dapat dihindarkan. Sebab, para penganut agama di Indonesia yang sampai saat ini dirasa masih belum mendalam memahami inti dari ajaran agamanya masing-masing.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Ilmu Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Mudjahirin Thohir, dalam Seminar memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan Balai Litbang Agama Semarang, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/10/2013).
“Banyaknya konflik yang berakibat pada kekerasan atas nama agama di Indonesia dikarenakan para penganut agama di negeri ini salah dalam memahami agama itu sendiri,” kata dia kepada SINDO di sela seminar.
Kesalahan itu, imbuh dia, muncul karena disebabkan dua faktor. Pertama faktor internal sebagai umat beragama dan faktor eksternal. Sebagai umat beragama, mereka dituntut untuk menyebarkan kebaikan dan melawan kemungkaran. Namun sayang, prespektif kebaikan dan kemungkaran itu dirasa sangat subjektif, sehingga menganggap agamanya benar yang harus dibela dan agama orang lain salah dan harus dilawan.
“Mereka menganggap hal itu sebagai jihad, padahal tentu secara kacamata itu merupakan tindakan radikal yang dapat merugikan agamanya sendiri. Karena esensi agama apapun di dunia ini selalu mengajarkan kasih sayang,” imbuhnya.
Sementara faktor eksternal imbuh dia, berasal dari kondisi di Indonesia yang saat ini karut marut baik segi hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor eksternal itulah menurut Mudjahirin yang selalu berada di belakang konflik dan kekerasan umat beragama di Indonesia.
“Untuk itulah, sudah saatnya para tokoh agama menyadarkan para penganut agamanya untuk lebih dewasa dalam memahami agama dalam konteks Indonesia yang beragam ini, selain itu, pemerintah Indonesia melalui penegak hukumnya harus tegas menindak penganut agama yang selalu melakukan kekerasan atas nama agama itu,” pungkasnya.
Ketua Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (Kemenag) RI, Mubarok, mengatakan, kekerasan atas nama agama di Indonesia memang banyak sekali terjadi. Ia juga mengaku bahwa sebagian besar konflik atau kekerasan itu bukan atas dasar agama, melainkan faktor lain seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan factor lainnya.
“Untuk itu, selama ini kami selalu melakukan berbagai upaya pencegahan atas kerusuhan itu, bukan hanya menangani kerusuhan atau konflik. Kita sering berdialog dan diskusi antartokoh agama mengenai perbedaan yang terjadi agar tercipta kondisi yang damai,” kata dia.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Arifuddin Ismail. Ia mengatakan, banyak kasus konflik dan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi di Indonesia khususnya Jateng seperti di Temanggung, Solo dan sekitarnya ternyata setelah diteliti bukan berasal dari faktor agama, melainkan berasal dari factor luar agama.
“Karena isu agama itu sangat sensitif, ketika disentuh maka akan timbul gejolak. Untuk itu kami menggelar seminar ini untuk mencoba mengajak semua umat beragama lebih dewasa dalam memahami agama yang dianut,” kata dia.
Baca juga berita Ahok ogah pindahkan pejabat karena agama.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Ilmu Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Mudjahirin Thohir, dalam Seminar memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan Balai Litbang Agama Semarang, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/10/2013).
“Banyaknya konflik yang berakibat pada kekerasan atas nama agama di Indonesia dikarenakan para penganut agama di negeri ini salah dalam memahami agama itu sendiri,” kata dia kepada SINDO di sela seminar.
Kesalahan itu, imbuh dia, muncul karena disebabkan dua faktor. Pertama faktor internal sebagai umat beragama dan faktor eksternal. Sebagai umat beragama, mereka dituntut untuk menyebarkan kebaikan dan melawan kemungkaran. Namun sayang, prespektif kebaikan dan kemungkaran itu dirasa sangat subjektif, sehingga menganggap agamanya benar yang harus dibela dan agama orang lain salah dan harus dilawan.
“Mereka menganggap hal itu sebagai jihad, padahal tentu secara kacamata itu merupakan tindakan radikal yang dapat merugikan agamanya sendiri. Karena esensi agama apapun di dunia ini selalu mengajarkan kasih sayang,” imbuhnya.
Sementara faktor eksternal imbuh dia, berasal dari kondisi di Indonesia yang saat ini karut marut baik segi hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor eksternal itulah menurut Mudjahirin yang selalu berada di belakang konflik dan kekerasan umat beragama di Indonesia.
“Untuk itulah, sudah saatnya para tokoh agama menyadarkan para penganut agamanya untuk lebih dewasa dalam memahami agama dalam konteks Indonesia yang beragam ini, selain itu, pemerintah Indonesia melalui penegak hukumnya harus tegas menindak penganut agama yang selalu melakukan kekerasan atas nama agama itu,” pungkasnya.
Ketua Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (Kemenag) RI, Mubarok, mengatakan, kekerasan atas nama agama di Indonesia memang banyak sekali terjadi. Ia juga mengaku bahwa sebagian besar konflik atau kekerasan itu bukan atas dasar agama, melainkan faktor lain seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan factor lainnya.
“Untuk itu, selama ini kami selalu melakukan berbagai upaya pencegahan atas kerusuhan itu, bukan hanya menangani kerusuhan atau konflik. Kita sering berdialog dan diskusi antartokoh agama mengenai perbedaan yang terjadi agar tercipta kondisi yang damai,” kata dia.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Arifuddin Ismail. Ia mengatakan, banyak kasus konflik dan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi di Indonesia khususnya Jateng seperti di Temanggung, Solo dan sekitarnya ternyata setelah diteliti bukan berasal dari faktor agama, melainkan berasal dari factor luar agama.
“Karena isu agama itu sangat sensitif, ketika disentuh maka akan timbul gejolak. Untuk itu kami menggelar seminar ini untuk mencoba mengajak semua umat beragama lebih dewasa dalam memahami agama yang dianut,” kata dia.
Baca juga berita Ahok ogah pindahkan pejabat karena agama.
(lal)