Presidential threshold, poin penting revisi RUU Pilpres
A
A
A
Sindonews.com - Selain persoalan ambang batas (threshold), terdapat poin-poin lain dalam Undang-Undang No. 42/2008 yang perlu dilakukan perubahan. Namun poin penting yang perlu dilakukan perubahan adalah terkait ambang batas presiden (presidential threshold).
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, jika perubahan UU Pilpres tidak menyentuh poin ambang batas maka akan sia-sia dan tidak memiliki nilai. Pasalnya poin paling penting di dalam aturan tersebut adalah pada pasal persyaratan mengusung calon presiden (capres) tersebut.
"Revisi UU Pilpres tidak cukup memberi arti, kecuali dilakukan perubahan pada angka presidential threshold," katanya, Jumat (27/9/2013).
Dia menilai peserta Pemilu 2014 semakin sedikit, maka semestinya semua parpol diberikan kesempatan untuk mengusung capres/cawapres alternatif yang dikehendaki rakyat. Lagipula, untuk negara sebesar Indonesia dengan segala heterogenitas rakyatnya tidaklah tepat jika terbatasi oleh aturan. Sehingga capres yang ditampilkan sedikit.
"Jika tidak diubah, yang dirugikan adalah pemilih. Karena pemilih yang kehilangan kesempatan hadirnya capres alternatif," katanya.
Padahal rakyat mempunyai hak untuk mengusulkan capres/cawapres kepada parpol. Hal ini sesuai ketentuan UU. "Setiap parpol harus benar-benar memperhatikan usulan rakyat itu. Aturan ambang batas yang terlalu tinggi justru mengurangi hak rakyat untuk memilih calon pemimpinnya," katanya.
Said juga menilai ambang batas yang besar jelas hanya akan menguntungkan parpol besar saja. Pasalnya hanya mereka nantinya yang dapat mengusung capres, baik dengan cara maju sendiri ataupun sebagai pemimpin koalisi.
"Padahal, kehendak rakyat dengan keinginan parpol seringkali berbeda. Di situlah masalahnya," katanya.
Dengan ambang yang diperkecil maka terbuka peluang bagi parpol kecil untuk mengusung Capres. Partai kecil menjadi memiliki dua pilihan, yakni apakah akan tetap berkoalisi dengan parpol besar yang calonnya ditentukan oleh parpol besar sebagai pemimpin koalisi. Kemudian parpol kecil itu mengusung calonnya sendiri.
"Adanya pilihan tersebut tentu cenderungnya parpol kecil itu akan mengusung calon sendiri," katanya.
Hal ini akan menstimulus partai-partai kecil untuk dapat bersaing dengan partai besar. Sebagai strategi untuk dapat bersaing dengan calon dari parpol besar, serta untuk memikat pemilih, maka besar kemungkinan parpol kecil akan mengusulkan tokoh populer yang disukai pemilih namun diabaikan oleh parpol besar.
"Misal, tokoh seperti Mahfud MD ternyata tidak diminati oleh parpol besar. Maka parpol kecil bisa memanfaatkan aturan presidential threshold yang diperkecil itu untuk mengusung Mahfud," katanya.
Dengan ambang batas yang diperkecil akan membuka peluang bagi capres alternatif. "Ini yang sebenarnya kita harapkan," katanya.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, jika perubahan UU Pilpres tidak menyentuh poin ambang batas maka akan sia-sia dan tidak memiliki nilai. Pasalnya poin paling penting di dalam aturan tersebut adalah pada pasal persyaratan mengusung calon presiden (capres) tersebut.
"Revisi UU Pilpres tidak cukup memberi arti, kecuali dilakukan perubahan pada angka presidential threshold," katanya, Jumat (27/9/2013).
Dia menilai peserta Pemilu 2014 semakin sedikit, maka semestinya semua parpol diberikan kesempatan untuk mengusung capres/cawapres alternatif yang dikehendaki rakyat. Lagipula, untuk negara sebesar Indonesia dengan segala heterogenitas rakyatnya tidaklah tepat jika terbatasi oleh aturan. Sehingga capres yang ditampilkan sedikit.
"Jika tidak diubah, yang dirugikan adalah pemilih. Karena pemilih yang kehilangan kesempatan hadirnya capres alternatif," katanya.
Padahal rakyat mempunyai hak untuk mengusulkan capres/cawapres kepada parpol. Hal ini sesuai ketentuan UU. "Setiap parpol harus benar-benar memperhatikan usulan rakyat itu. Aturan ambang batas yang terlalu tinggi justru mengurangi hak rakyat untuk memilih calon pemimpinnya," katanya.
Said juga menilai ambang batas yang besar jelas hanya akan menguntungkan parpol besar saja. Pasalnya hanya mereka nantinya yang dapat mengusung capres, baik dengan cara maju sendiri ataupun sebagai pemimpin koalisi.
"Padahal, kehendak rakyat dengan keinginan parpol seringkali berbeda. Di situlah masalahnya," katanya.
Dengan ambang yang diperkecil maka terbuka peluang bagi parpol kecil untuk mengusung Capres. Partai kecil menjadi memiliki dua pilihan, yakni apakah akan tetap berkoalisi dengan parpol besar yang calonnya ditentukan oleh parpol besar sebagai pemimpin koalisi. Kemudian parpol kecil itu mengusung calonnya sendiri.
"Adanya pilihan tersebut tentu cenderungnya parpol kecil itu akan mengusung calon sendiri," katanya.
Hal ini akan menstimulus partai-partai kecil untuk dapat bersaing dengan partai besar. Sebagai strategi untuk dapat bersaing dengan calon dari parpol besar, serta untuk memikat pemilih, maka besar kemungkinan parpol kecil akan mengusulkan tokoh populer yang disukai pemilih namun diabaikan oleh parpol besar.
"Misal, tokoh seperti Mahfud MD ternyata tidak diminati oleh parpol besar. Maka parpol kecil bisa memanfaatkan aturan presidential threshold yang diperkecil itu untuk mengusung Mahfud," katanya.
Dengan ambang batas yang diperkecil akan membuka peluang bagi capres alternatif. "Ini yang sebenarnya kita harapkan," katanya.
(hyk)