Ini 5 alasan delik merugikan keuangan negara harus dihapus
A
A
A
Sindonews.com - Pencantuman unsur merugikan keuangan negara dalam delik tindak pidana korupsi selayaknya dihilangkan.
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hal demikian setidaknya didasarkan pada lima pertimbangan.
Pertama, standar internasional seperti yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, unsur kerugian negara tidak dimasukan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
"Kedua, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara," ujar Direktur Advokasi YLBHI Bahrain dalam diskusi bertema 'Polemik Keberadaan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Regulasi Antikorupsi' di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2013).
Ketiga, lanjut dia, terdapat perlakuan yang sama antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta, jika terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut.
Dengan perubahan sikap seperti ini, lanjut dia, yang disertai dengan perubahan undang-undang yang terkait, maka pemberantasan korupsi menjadi lebih luas dan lebih adil.
Keempat, tutur dia, membuka peluang dituntutnya kerugian non keuangan negara. Dia menerangkan, bahwa dampak korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara namun juga kerugian lain seperti kerugian masyarakat/sosial dan bahkan juga kerugian ekologis.
"Contoh dalam kasus korupsi penilaian dan pengesahan Rencana Kegiatan tahunan Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di 12 perusahaan Tanaman Industri di Riau yang melibatkan Teuku Azmun (Bupati Pelelawan) dan kawan-kawan," imbuhnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata dia, dalam persidangan hanya menghitung kerugian negara sebesar Rp 519 Miliar sedangkan dalam penghitungan Prof Bambang Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, kerugian ekonomi dan ekologis dalam kasus ini mencapai mencapai Rp687 triliun.
Kelima, ujarnya, mendorong percepatan penanganan perkara korupsi. "Bukan rahasia umum penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK atau BPKP memerlukan waktu yang lama," kata dia.
Hal demikian, sambung dia, memberikan pengaruh pada lambatnya proses hukum yang sedang ditangani oleh institusi penegak hukum.
Baca juga berita Delik kerugian negara dalam UU Tipikor diminta dihapus.
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hal demikian setidaknya didasarkan pada lima pertimbangan.
Pertama, standar internasional seperti yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, unsur kerugian negara tidak dimasukan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
"Kedua, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara," ujar Direktur Advokasi YLBHI Bahrain dalam diskusi bertema 'Polemik Keberadaan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Regulasi Antikorupsi' di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2013).
Ketiga, lanjut dia, terdapat perlakuan yang sama antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta, jika terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut.
Dengan perubahan sikap seperti ini, lanjut dia, yang disertai dengan perubahan undang-undang yang terkait, maka pemberantasan korupsi menjadi lebih luas dan lebih adil.
Keempat, tutur dia, membuka peluang dituntutnya kerugian non keuangan negara. Dia menerangkan, bahwa dampak korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara namun juga kerugian lain seperti kerugian masyarakat/sosial dan bahkan juga kerugian ekologis.
"Contoh dalam kasus korupsi penilaian dan pengesahan Rencana Kegiatan tahunan Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di 12 perusahaan Tanaman Industri di Riau yang melibatkan Teuku Azmun (Bupati Pelelawan) dan kawan-kawan," imbuhnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata dia, dalam persidangan hanya menghitung kerugian negara sebesar Rp 519 Miliar sedangkan dalam penghitungan Prof Bambang Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, kerugian ekonomi dan ekologis dalam kasus ini mencapai mencapai Rp687 triliun.
Kelima, ujarnya, mendorong percepatan penanganan perkara korupsi. "Bukan rahasia umum penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK atau BPKP memerlukan waktu yang lama," kata dia.
Hal demikian, sambung dia, memberikan pengaruh pada lambatnya proses hukum yang sedang ditangani oleh institusi penegak hukum.
Baca juga berita Delik kerugian negara dalam UU Tipikor diminta dihapus.
(lal)