Peran Soeharto dalam pembantaian komunis di Madiun
A
A
A
GELOMBANG pembunuhan terhadap kaum komunis di Indonesia oleh tentara republik, pertama terjadi di Solo dan Madiun tahun 1948. Dipicu aksi penculikan disertai pembunuhan di Solo, peristiwa Madiun meletus.
Tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono, saksi hidup peristiwa Madiun sekaligus proklamator berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Indonesia di corong Radio Gelora Pemuda mengatakan, perang saudara di Madiun sebenarnya bisa dihentikan oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Soeharto.
Dijelaskan dia, atas perintah Panglima Besar Letjen Soedirman, Letnan Kolonel Soeharto tiba di Yogyakarta. Saat itu, dia dengan membawa konsepsi kompromi yang jelas, setelah menyelidiki masalahnya. Dia menerangkan, bahwa situasi di Madiun lain dari yang diumumkan pemerintah lewat radio, dan surat kabar.
Saat mendengar keterangan Soeharto, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Kolonel Nasution, dan pimpinan Masyumi justru mengambil sikap menolak bicara dengan para pimpinan Front Demokrasi Rakyat (FDR)/Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dari Yogyakarta, Soeharto datang ke Madiun untuk menyaksikan sendiri keadaan. Di sana, dia bertemu Soemarsono, lalu dibawa meninjau penjara yang dikuasai FDR/PKI. Bahkan, dia disuruh menanyakan langsung data tahanan kepada sipir penjara.
Ketika itu, penjara dalam keadaan sepi. Tidak ada tahanan baru tentara republik yang telah dilucuti. Hal ini bertolak belakang dengan pemberitaan radio dan koran yang menyatakan tentara yang dilucuti di tahan oleh pasukan FDR/PKI.
Soemarsono mengatakan, tentara republik yang dilucuti tidak di tahan. Sebab, FDR/PKI hanya ingin mematahkan kekuatan yang membahayakan mereka di Madiun. Namun, surat kabar di Yogyakarta sudah menulis komunis memberontak di Madiun. Padahal, Madiun dengan Yogyakarta hanya berjarak tiga jam perjalanan kereta api.
Dari Madiun, Soeharto kembali dengan membawa surat-surat dari berbagai kepala jawatan yang menyatakan bahwa keadaan Madiun aman dan normal. Selain itu, dia juga membawa pesan (surat) dari Musso yang berisi dua usul.
Usul pertama adalah mengakhiri pertempuran dan bersama-sama melawan Belanda. PKI dan pasukan bersenjatanya sanggup memelopori penggempuran itu. Kabinet Hatta supaya disusun kembali menjadi kabinet Front Persatuan Nasional. Terakhir, program nasional yang sudah disetujui oleh 40 organisasi dijadikan program pemerintah.
Keterangan ini dimuat dalam surat kabar FDR/PKI Bintang Merah No.12-13 tahun 1951 hal 47-48. Hal ini diperkuat dengan keterangan Ketua Biro Pendidikan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Murianto.
Katanya, Soeharto diutus ke Yogyakarta atas perintah Panglima Besar Soedirman. Namun, Soeharto tidak menyampaikan surat Musso kepada Soedirman dan Presiden Soekarno. Melainkan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta dan A.H. Nasution.
Sekembalinya Soeharto ke Yogyakarta, serangan terhadap pihak FDR/PKI di Madiun semakin gencar. Mantan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin tampil di corong Radio Madiun.
Dia menyatakan, perjuangan FDR/PKI di Madiun untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu, dasarnya tetap sama. Revolusi tetap berwatak nasional atau biasa disebut revolusi borjuis demokratis. Konstitusinya juga. Begitupun dengan benderanya, tetap merah putih, dan lagu kebangsaannya Indonesia Raya.
Pernyataan Amir saat ini sempat dimuat dalam Harian Front Nasional, pada 24 September 1948. Namun tidak digubris. Pemerintah republik tetap melanjutkan operasi penumpasan. Soedirman yang sedang jatuh sakit memerintahkan Kolonel Nasution untuk merebut Madiun. Saat itu, Nasution berjanji merebut Madiun dalam waktu dua minggu.
Pembersihan kekuatan komunis oleh tentara dimulai dari Yogyakarta dan Solo. Di wilayah Solo selatan, pembersihan dimulai dari Sukoharjo, Wonogiri, Pacitan. Dipimpin oleh Mayor Nasuhi.
Di utara Solo, tentara republik bergerak ke arah Purwodadi-Pati, di bawah komando Letkol Kusno Utomo yang terdiri dari Batalion Kemal Idris dan Kosasih. Wilayah selanjutnya yang dibebaskan adalah Cepu, dan Blora. Di kawasan ini, pertempuran berlangsung hebat.
Dari timur, pembebasan dilakukan dari tiga tempat, yakni Trenggalek, dilakukan oleh Batalion Mudjajin, Kompi Hizbullah, dan Kompi Sumadi. Di daerah Sawahan, pembersihan dilakukan pasukan Sabarudin, Kompi Sampurno, dan Kompi Effendi. Di Nganjuk, pembersihan dilakukan Batalion Sunarjadi, Batalion Banurejo, dan Mobrig Jawa Timur.
Pembersihan tiga wilayah di timur Solo itu dipimpin oleh Kolonel Sungkono. Madiun pun jatuh ke pangkuan republik. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap, lalu ditembak mati.
Tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono, saksi hidup peristiwa Madiun sekaligus proklamator berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Indonesia di corong Radio Gelora Pemuda mengatakan, perang saudara di Madiun sebenarnya bisa dihentikan oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Soeharto.
Dijelaskan dia, atas perintah Panglima Besar Letjen Soedirman, Letnan Kolonel Soeharto tiba di Yogyakarta. Saat itu, dia dengan membawa konsepsi kompromi yang jelas, setelah menyelidiki masalahnya. Dia menerangkan, bahwa situasi di Madiun lain dari yang diumumkan pemerintah lewat radio, dan surat kabar.
Saat mendengar keterangan Soeharto, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Kolonel Nasution, dan pimpinan Masyumi justru mengambil sikap menolak bicara dengan para pimpinan Front Demokrasi Rakyat (FDR)/Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dari Yogyakarta, Soeharto datang ke Madiun untuk menyaksikan sendiri keadaan. Di sana, dia bertemu Soemarsono, lalu dibawa meninjau penjara yang dikuasai FDR/PKI. Bahkan, dia disuruh menanyakan langsung data tahanan kepada sipir penjara.
Ketika itu, penjara dalam keadaan sepi. Tidak ada tahanan baru tentara republik yang telah dilucuti. Hal ini bertolak belakang dengan pemberitaan radio dan koran yang menyatakan tentara yang dilucuti di tahan oleh pasukan FDR/PKI.
Soemarsono mengatakan, tentara republik yang dilucuti tidak di tahan. Sebab, FDR/PKI hanya ingin mematahkan kekuatan yang membahayakan mereka di Madiun. Namun, surat kabar di Yogyakarta sudah menulis komunis memberontak di Madiun. Padahal, Madiun dengan Yogyakarta hanya berjarak tiga jam perjalanan kereta api.
Dari Madiun, Soeharto kembali dengan membawa surat-surat dari berbagai kepala jawatan yang menyatakan bahwa keadaan Madiun aman dan normal. Selain itu, dia juga membawa pesan (surat) dari Musso yang berisi dua usul.
Usul pertama adalah mengakhiri pertempuran dan bersama-sama melawan Belanda. PKI dan pasukan bersenjatanya sanggup memelopori penggempuran itu. Kabinet Hatta supaya disusun kembali menjadi kabinet Front Persatuan Nasional. Terakhir, program nasional yang sudah disetujui oleh 40 organisasi dijadikan program pemerintah.
Keterangan ini dimuat dalam surat kabar FDR/PKI Bintang Merah No.12-13 tahun 1951 hal 47-48. Hal ini diperkuat dengan keterangan Ketua Biro Pendidikan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Murianto.
Katanya, Soeharto diutus ke Yogyakarta atas perintah Panglima Besar Soedirman. Namun, Soeharto tidak menyampaikan surat Musso kepada Soedirman dan Presiden Soekarno. Melainkan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta dan A.H. Nasution.
Sekembalinya Soeharto ke Yogyakarta, serangan terhadap pihak FDR/PKI di Madiun semakin gencar. Mantan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin tampil di corong Radio Madiun.
Dia menyatakan, perjuangan FDR/PKI di Madiun untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu, dasarnya tetap sama. Revolusi tetap berwatak nasional atau biasa disebut revolusi borjuis demokratis. Konstitusinya juga. Begitupun dengan benderanya, tetap merah putih, dan lagu kebangsaannya Indonesia Raya.
Pernyataan Amir saat ini sempat dimuat dalam Harian Front Nasional, pada 24 September 1948. Namun tidak digubris. Pemerintah republik tetap melanjutkan operasi penumpasan. Soedirman yang sedang jatuh sakit memerintahkan Kolonel Nasution untuk merebut Madiun. Saat itu, Nasution berjanji merebut Madiun dalam waktu dua minggu.
Pembersihan kekuatan komunis oleh tentara dimulai dari Yogyakarta dan Solo. Di wilayah Solo selatan, pembersihan dimulai dari Sukoharjo, Wonogiri, Pacitan. Dipimpin oleh Mayor Nasuhi.
Di utara Solo, tentara republik bergerak ke arah Purwodadi-Pati, di bawah komando Letkol Kusno Utomo yang terdiri dari Batalion Kemal Idris dan Kosasih. Wilayah selanjutnya yang dibebaskan adalah Cepu, dan Blora. Di kawasan ini, pertempuran berlangsung hebat.
Dari timur, pembebasan dilakukan dari tiga tempat, yakni Trenggalek, dilakukan oleh Batalion Mudjajin, Kompi Hizbullah, dan Kompi Sumadi. Di daerah Sawahan, pembersihan dilakukan pasukan Sabarudin, Kompi Sampurno, dan Kompi Effendi. Di Nganjuk, pembersihan dilakukan Batalion Sunarjadi, Batalion Banurejo, dan Mobrig Jawa Timur.
Pembersihan tiga wilayah di timur Solo itu dipimpin oleh Kolonel Sungkono. Madiun pun jatuh ke pangkuan republik. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap, lalu ditembak mati.
(san)