Negara Madiun jatuh dalam pangkuan republik
A
A
A
NEGARA Madiun yang diproklamirkan tokoh pemberontakan rakyat tahun 1926-1927 Musso, pada 18 September 1948, hanya sanggup bertahan selama 12 hari. Tidak banyak yang telah dilakukan pemerintahan Marxisme-Leninisme yang menamakan dirinya Pemerintah Front Nasional itu.
Dalam catatannya, Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun 1948, mahasiswa Universitas Indonesia Soe Hok Gie menceritakan, di ujung kuku pemerintahannya Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan berbagai perubahan mendasar.
Mulai dari perombakan aparat pemerintahan yang lama. Memasukan unsur-unsur demokratis dalam ketentaraan, seperti tentara harus bekerja sama dengan buruh dan tani. Melakukan nasionalisasi dan mengambil alih perusahaan-perusahaan asing dan milik pemerintah seperti bank, pabrik dan perkebunan.
Membagikan tanah kepada petani penggarap. Dan menghapus sebutan "paduka" dan "tuan" untuk selama-lamanya. Lalu digantikan dengan panggilan "pak", "saudara", dan "bung" yang lebih membumi.
Sebelum Pemerintah Front Nasional diproklamirkan, Front Demokrasi Rakyat (FDR)/Partai Komunis Indonesia (PKI) terlebih dahulu mengambil alih pemerintahan di tingkat desa di sekitar Madiun. Proses pengambilalihan itu, sudah dilakukan sejak 16 September 2013.
Seorang pemuda melukiskan berdirinya Pemerintah Front Nasional sebagai situasi yang menegangkan. Hampir di setiap pelosok dan lorong-lorong jalan banyak dipenuhi pemuda-pemuda rakyat. Mereka memakai pakaian kehitam-hitaman. Sebagian pemuda itu tampak memakai sapu tangan merah di lehernya.
Mereka ada juga yang membawa plakat, dan membawa poster-poster berisi pengumuman-pengumuman dengan tanda dan stempel Pemerintah Front Nasional. Kontan, warga Madiun ketika itu berpikir Pemerintah Republik Indonesia di Madiun telah tumbang, berganti menjadi Pemerintah Front Nasional.
Paginya, pada 19 September 1948, warga saling berbisik, FDR melakukan pemberontakan, Madiun telah jatuh ke tangan FDR, dan PKI semalam merebut kekuasaan negara. Bisikan warga ini rupanya sampai ke telinga Perdana Menteri M Hatta yang langsung memerintahkan tentara untuk merebut kembali Madiun ke pangkuan republik.
Saat itu, Panglima Besar Letjen Sudirman sedang jatuh sakit dan tidak bisa memimpin pasukan untuk merebut Madiun. Maka, dipilihlah Kolonel Nasution. Ketika mendapat mandat itu, Nasution berjanji dalam waktu dua minggu akan merebut Madiun.
Sebenarnya, kekuatan militer FDR/PKI di Solo tidak kuat. Hanya sekira 35 persen dari kekuatan tentara republik. Dari 35 persen hitungan itu, pun tidak semua mendukung. Sebagian ada yang memberontak dan mendukung republik.
Peta kekuatan militer FDR di Madiun bersandar pada Batalion Mustopa, Mursid di Saradan, Darmintoadji di Ngawi, Panjang Djokoprojono di Ponorogo, Abdurrachman dan Maladi Jusuf di Ponorogo. Mereka banyak berasal dari Pesindo yang bergabung dengan Brigade Dachlan.
Basis utama mereka berada di Pati, Jawa Tengah, di bawah Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Sedang di tempat lain, Pemerintah Front Nasional tidak mendapat dukungan. Hanya Parakan yang menyatakan bergabung dengan FDR/PKI. Sisanya, setia terhadap republik.
Saat itu, pimpinan FDR/PKI insyaf dengan kekuatan mereka yang lemah. Madiun akan direbut, dan mereka akan hancur. Namun, bukan Musso namanya jika tidak melawan. Hingga titik darah penghabisan, pimpinan PKI setia dengan keyakinan ideologis Marxisme-Leninisme mereka.
Pada hari-hari pertama Pemerintah Front Nasional, Musso berbicara tentang perebutan kekuasaan negara oleh rakyat, dari tangan kaum borjuis-nasional. Dia juga meminta kepada seluruh kaum buruh dan tani, pemuda-pemudi, dan tentara progresif untuk bersatu angkat senjata melawan Soekarno-Hatta.
Perjuangan bersenjata melawan kolaborator Jepang penjual rakyat, diartikannya sebagai perang suci dan mulia. Oleh karena itu, rakyat harus menang dalam perlawanan. Kaum buruh dianjurkan untuk mogok nasional. Namun permintaan itu hanya terdengar di Madiun dan Pati.
Sejak saat itu, kekuatan-kekuatan republik di wilayah Pemerintah Front Nasional dilumpuhkan. Senjata tentara dan laskar yang pro terhadap republik dilucuti. Hingga akhirnya, dijalankan operasi perebutan Madiun oleh tentara republik. Perang saudara pun berkecamuk.
Pembersihan kekuatan komunis oleh tentara republik dimulai dari Yogyakarta dan Solo. Di wilayah Solo selatan, pembersihan dimulai dari Sukoharjo, Wonogiri, Pacitan. Dipimpin oleh Mayor Nasuhi.
Di utara Solo, tentara republik bergerak ke arah Purwodadi-Pati, di bawah komando Letkol Kusno Utomo yang terdiri dari Batalion Kemal Idris dan Kosasih. Wilayah selanjutnya yang dibebaskan adalah Cepu, dan Blora. Di kawasan ini, pertempuran berlangsung hebat.
Dari timur, pembebasan dilakukan dari tiga tempat, yakni Trenggalek, dilakukan oleh Batalion Mudjajin, Kompi Hizbullah, dan Kompi Sumadi. Di daerah Sawahan, pembersihan dilakukan pasukan Sabarudin, Kompi Sampurno, dan Kompi Effendi. Di Nganjuk, pembersihan dilakukan Batalion Sunarjadi, Batalion Banurejo, dan Mobrig Jawa Timur.
Pembersihan tiga wilayah di timur Solo itu dipimpin oleh Kolonel Sungkono. Madiun pun jatuh ke pangkuan republik. Kemudian pola pertempuran berubah menjadi perang gerilya di Dungus dan Ponorogo.
Di tempat ini, tentara menemukan 60 mayat, 4 orang di antaranya adalah wanita. Mereka adalah para tawanan kaum komunis yang selanjutnya menjadi pemicu kebencian tentara republik terhadap mereka. Sementara total korban dalam pertempuran ini mencapai seribuan orang.
Sejak itu, perang saudara antara tentara republik dengan kaum komunis di Madiun menjadi sangat kejam dan tidak lagi memandang kemanusiaan.
Dalam situasi perang itu, Musso berpisah seorang diri dengan rekan-rekannya. Minggu 31 Oktober 1948, dia bertemu dengan anggota laskar prorepublik, di Desa Balong. Saat itu, Musso membawa gendolan sarung berisi jas hujan. Saat dilakukan penggeledahan, tiba-tiba Musso mengeluarkan pistol dan menembak laskar itu.
Lalu dia melarikan diri dengan merampas sepeda. Di tengah jalan, dia bertemu dengan dokar dan menumpang. Di bawah todongan pistol, sopir dokar yang ketakutan dipaksa jalan. Kemudian, melintas mobil yang berisi tentara dari Batalion Sunandar.
Musso menghentikan dokar, dan menghadang mobil. Kendati mambawa senjata, todongan pistol Musso lebih cepat. Nahas bagi Musso, rampasan mobil itu tidak mau hidup saat si starter. Lalu, dia melanjutkan pengembaraannya ke desa terdekat.
Di sana, dia ketahuan sembunyi di kamar mandi. Karena tetap tidak mau menyerah, dia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dan dipertontonkan. Lalu dibakar oleh massa.
Sementara kelompok Amir Sjarifudin, bisa bertahan hingga November 1948. Dia bersama pemimpin-pemimpin komunis lainnya tertangkap setelah melakukan gerilya di Gunung Wilis dan Lawu menuju Pati dan Purwodadi. Saat tertangkap, kondisi Amir sangat memperihatinkan. Badannya kurus dan menderita disentri.
Kemudian, tawanan penting ini dibawa ke Yogyakarta. Bersama Soeripno, dan Hardjono, dia sempat ditahan di penjara Benteng Yogyakarta, lalu dibawa ke Solo.
Pada 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, atas perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto, mantan Perdana Menteri Indonesia itu ditembak mati bersama Maruto Darusman, Sardjono, Soeripno, Hardjono, Oei Gee Hwat, Djoko Sudjono, dan Katamhadi. Sebelum dieksekusi, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Dalam catatannya, Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun 1948, mahasiswa Universitas Indonesia Soe Hok Gie menceritakan, di ujung kuku pemerintahannya Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan berbagai perubahan mendasar.
Mulai dari perombakan aparat pemerintahan yang lama. Memasukan unsur-unsur demokratis dalam ketentaraan, seperti tentara harus bekerja sama dengan buruh dan tani. Melakukan nasionalisasi dan mengambil alih perusahaan-perusahaan asing dan milik pemerintah seperti bank, pabrik dan perkebunan.
Membagikan tanah kepada petani penggarap. Dan menghapus sebutan "paduka" dan "tuan" untuk selama-lamanya. Lalu digantikan dengan panggilan "pak", "saudara", dan "bung" yang lebih membumi.
Sebelum Pemerintah Front Nasional diproklamirkan, Front Demokrasi Rakyat (FDR)/Partai Komunis Indonesia (PKI) terlebih dahulu mengambil alih pemerintahan di tingkat desa di sekitar Madiun. Proses pengambilalihan itu, sudah dilakukan sejak 16 September 2013.
Seorang pemuda melukiskan berdirinya Pemerintah Front Nasional sebagai situasi yang menegangkan. Hampir di setiap pelosok dan lorong-lorong jalan banyak dipenuhi pemuda-pemuda rakyat. Mereka memakai pakaian kehitam-hitaman. Sebagian pemuda itu tampak memakai sapu tangan merah di lehernya.
Mereka ada juga yang membawa plakat, dan membawa poster-poster berisi pengumuman-pengumuman dengan tanda dan stempel Pemerintah Front Nasional. Kontan, warga Madiun ketika itu berpikir Pemerintah Republik Indonesia di Madiun telah tumbang, berganti menjadi Pemerintah Front Nasional.
Paginya, pada 19 September 1948, warga saling berbisik, FDR melakukan pemberontakan, Madiun telah jatuh ke tangan FDR, dan PKI semalam merebut kekuasaan negara. Bisikan warga ini rupanya sampai ke telinga Perdana Menteri M Hatta yang langsung memerintahkan tentara untuk merebut kembali Madiun ke pangkuan republik.
Saat itu, Panglima Besar Letjen Sudirman sedang jatuh sakit dan tidak bisa memimpin pasukan untuk merebut Madiun. Maka, dipilihlah Kolonel Nasution. Ketika mendapat mandat itu, Nasution berjanji dalam waktu dua minggu akan merebut Madiun.
Sebenarnya, kekuatan militer FDR/PKI di Solo tidak kuat. Hanya sekira 35 persen dari kekuatan tentara republik. Dari 35 persen hitungan itu, pun tidak semua mendukung. Sebagian ada yang memberontak dan mendukung republik.
Peta kekuatan militer FDR di Madiun bersandar pada Batalion Mustopa, Mursid di Saradan, Darmintoadji di Ngawi, Panjang Djokoprojono di Ponorogo, Abdurrachman dan Maladi Jusuf di Ponorogo. Mereka banyak berasal dari Pesindo yang bergabung dengan Brigade Dachlan.
Basis utama mereka berada di Pati, Jawa Tengah, di bawah Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Sedang di tempat lain, Pemerintah Front Nasional tidak mendapat dukungan. Hanya Parakan yang menyatakan bergabung dengan FDR/PKI. Sisanya, setia terhadap republik.
Saat itu, pimpinan FDR/PKI insyaf dengan kekuatan mereka yang lemah. Madiun akan direbut, dan mereka akan hancur. Namun, bukan Musso namanya jika tidak melawan. Hingga titik darah penghabisan, pimpinan PKI setia dengan keyakinan ideologis Marxisme-Leninisme mereka.
Pada hari-hari pertama Pemerintah Front Nasional, Musso berbicara tentang perebutan kekuasaan negara oleh rakyat, dari tangan kaum borjuis-nasional. Dia juga meminta kepada seluruh kaum buruh dan tani, pemuda-pemudi, dan tentara progresif untuk bersatu angkat senjata melawan Soekarno-Hatta.
Perjuangan bersenjata melawan kolaborator Jepang penjual rakyat, diartikannya sebagai perang suci dan mulia. Oleh karena itu, rakyat harus menang dalam perlawanan. Kaum buruh dianjurkan untuk mogok nasional. Namun permintaan itu hanya terdengar di Madiun dan Pati.
Sejak saat itu, kekuatan-kekuatan republik di wilayah Pemerintah Front Nasional dilumpuhkan. Senjata tentara dan laskar yang pro terhadap republik dilucuti. Hingga akhirnya, dijalankan operasi perebutan Madiun oleh tentara republik. Perang saudara pun berkecamuk.
Pembersihan kekuatan komunis oleh tentara republik dimulai dari Yogyakarta dan Solo. Di wilayah Solo selatan, pembersihan dimulai dari Sukoharjo, Wonogiri, Pacitan. Dipimpin oleh Mayor Nasuhi.
Di utara Solo, tentara republik bergerak ke arah Purwodadi-Pati, di bawah komando Letkol Kusno Utomo yang terdiri dari Batalion Kemal Idris dan Kosasih. Wilayah selanjutnya yang dibebaskan adalah Cepu, dan Blora. Di kawasan ini, pertempuran berlangsung hebat.
Dari timur, pembebasan dilakukan dari tiga tempat, yakni Trenggalek, dilakukan oleh Batalion Mudjajin, Kompi Hizbullah, dan Kompi Sumadi. Di daerah Sawahan, pembersihan dilakukan pasukan Sabarudin, Kompi Sampurno, dan Kompi Effendi. Di Nganjuk, pembersihan dilakukan Batalion Sunarjadi, Batalion Banurejo, dan Mobrig Jawa Timur.
Pembersihan tiga wilayah di timur Solo itu dipimpin oleh Kolonel Sungkono. Madiun pun jatuh ke pangkuan republik. Kemudian pola pertempuran berubah menjadi perang gerilya di Dungus dan Ponorogo.
Di tempat ini, tentara menemukan 60 mayat, 4 orang di antaranya adalah wanita. Mereka adalah para tawanan kaum komunis yang selanjutnya menjadi pemicu kebencian tentara republik terhadap mereka. Sementara total korban dalam pertempuran ini mencapai seribuan orang.
Sejak itu, perang saudara antara tentara republik dengan kaum komunis di Madiun menjadi sangat kejam dan tidak lagi memandang kemanusiaan.
Dalam situasi perang itu, Musso berpisah seorang diri dengan rekan-rekannya. Minggu 31 Oktober 1948, dia bertemu dengan anggota laskar prorepublik, di Desa Balong. Saat itu, Musso membawa gendolan sarung berisi jas hujan. Saat dilakukan penggeledahan, tiba-tiba Musso mengeluarkan pistol dan menembak laskar itu.
Lalu dia melarikan diri dengan merampas sepeda. Di tengah jalan, dia bertemu dengan dokar dan menumpang. Di bawah todongan pistol, sopir dokar yang ketakutan dipaksa jalan. Kemudian, melintas mobil yang berisi tentara dari Batalion Sunandar.
Musso menghentikan dokar, dan menghadang mobil. Kendati mambawa senjata, todongan pistol Musso lebih cepat. Nahas bagi Musso, rampasan mobil itu tidak mau hidup saat si starter. Lalu, dia melanjutkan pengembaraannya ke desa terdekat.
Di sana, dia ketahuan sembunyi di kamar mandi. Karena tetap tidak mau menyerah, dia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dan dipertontonkan. Lalu dibakar oleh massa.
Sementara kelompok Amir Sjarifudin, bisa bertahan hingga November 1948. Dia bersama pemimpin-pemimpin komunis lainnya tertangkap setelah melakukan gerilya di Gunung Wilis dan Lawu menuju Pati dan Purwodadi. Saat tertangkap, kondisi Amir sangat memperihatinkan. Badannya kurus dan menderita disentri.
Kemudian, tawanan penting ini dibawa ke Yogyakarta. Bersama Soeripno, dan Hardjono, dia sempat ditahan di penjara Benteng Yogyakarta, lalu dibawa ke Solo.
Pada 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, atas perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto, mantan Perdana Menteri Indonesia itu ditembak mati bersama Maruto Darusman, Sardjono, Soeripno, Hardjono, Oei Gee Hwat, Djoko Sudjono, dan Katamhadi. Sebelum dieksekusi, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
(san)