Partisipasi dan ruang publik tentukan wajah birokrasi Indonesia
A
A
A
Sindonews.com - Penyelenggaraan birokasi yang berkualitas di Indonesia yang bisa memenuhi harapan publik mensyaratkan dibukannya ruang penyaluran aspirasi secara luas dan transparan.
Demikian salah satu pemikiran penting yang muncul dalam workshop bertema "Kinerja Birokrasi: Antara Diawasi, Diperiksa, dan Diapresiasi" digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerja sama USAID di Hotel Sanur Paradise, Denpasar, Senin (16/9/2013).
Beberapa pembicara penting menyampaikan pemikiran dalam kegiatan yang dihadiri kalangan jurnalis, LSM, birokrasi, kampus dan pemangku kepentingan pemerintahan lainnya.
Hadir sebagai pembicara Komisi III DPR RI Gede Pasek Suardika, Anggota DPD Dapil Bali Wayan Sudirta, Staf Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rusdianto dan Kepala Banwas Provinsi Bali AA Gede Alit Sastrawan.
Masing-masing pembicara melakukan paparan kritis atas kondisi praktek birokrasi di Indonesia mulai penyelenggara pelayanan publik hingga lembaga wakil rakyat atau dewan.
Menurut Rusdianto secara umum kualitas birokrasi di Indonesia masih sangat rendah. Terjadinya Tumpang tindih kewenangan, pelayanan publik yang masih buruk, pola pikir yang rule based, budaya kerja yang belum terbangun adalah contohnya.
"Adanya peraturan perundang-undang yang overlapping dan organisasi yang terlalu gemuk dan seterusnya adalah kondisi belum idealnya birokrasi kita," ujarnya.
Masalah lain dihadapi seperti banyaknya aparat birokrasi atau PNS yang ditempatkan tetapi tidak memiliki kompetensi yang jelas di bidangnya. "Saat ini, ada ribuan pegawai tidak secara merata tersebar di seluruh Indonesia," ujarnya.
Kementerian PANRB terus mendorong pembenahan birokrasi secara mikro maupun makro yang pada intinya mereformasi birokrasi agar penyelenggaraan pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.
Hal sama disampaikan Pasek suardika yang memandang penting diciptakannya pemerintahan yang terbuka dan berbasiskan IT. Bagaimana SDM aparatur negara dihasilkan harus betrkompeten dan kompetitif, sert pemerintahan yang partisipatif dan melayani publik.
Di DPR sendiri diakui Pasek persepsi masyarakat yang terbentuk masih melihat buruknya kinerja lembaga dewan. Dari sisi kualitas, DPR menjadi terkesan tukang stempel.
"Sekarang pembahasan satu pasal saja, rumitnya bukan main untuk mendapat pengesahan sebagai produk hukum," imbuh politisi Partai Demokrat ini.
Dia menyebutkan sebagai gambaran, bagaimana wakil rakyat harus membahas penyusunan dan kebijakan anggaran yang jumlahnya mencapai Rp60 trilun lebih tentunya bukan pekerjaan mudah.
Tidak mungkin, DPR akan bisa meksimal dan detil mengetahui penggunaan anggaran dalam jumlah besar itu apalagi hanya berdasar rapat yang hanya beberapa hari atau jam saja.
"Di sinilah titik rawannya dan dimanfaatkan oleh calo-calo anggaran. Sekarang celah pelayanan birokrasi banyak dimanfaatkan sebagai kapital," ucapnya.
Sementara dalam pandangan Wayan Sudirta dari DPD RI buruknya birokrasi bisa dilihat dari kinerja dan pelayanan publik.
Predikat Kinerja dan pelayanan publik hasilnya tidak memuaskan sehinga cenderung korupsi dan merugikan masyarakat. Melansir data terakhir Juli 2013, ada 298 kepala daerah di Indonesia dari 524 total kepala daerah di Indonesia yang terjerat korupsi.
Mereka terlibat korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung dan diperiksa sebagai saksi, tersangka, terdakwa hingga terpidana.
Ini menunjukkan kualitas birokrasi sangat lemah. Angka ini baru level kepala daerah, belum lagi pejabat eselon, kepala dinas, dan jajarannya. Hal ini menunjukkan. "Saya kira kualitas birokrasi di Indonesia masih jauh lebih rendah bila dibanding negara-negara berkembang lainnya di dunia," tutupnya.
Demikian salah satu pemikiran penting yang muncul dalam workshop bertema "Kinerja Birokrasi: Antara Diawasi, Diperiksa, dan Diapresiasi" digelar The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerja sama USAID di Hotel Sanur Paradise, Denpasar, Senin (16/9/2013).
Beberapa pembicara penting menyampaikan pemikiran dalam kegiatan yang dihadiri kalangan jurnalis, LSM, birokrasi, kampus dan pemangku kepentingan pemerintahan lainnya.
Hadir sebagai pembicara Komisi III DPR RI Gede Pasek Suardika, Anggota DPD Dapil Bali Wayan Sudirta, Staf Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rusdianto dan Kepala Banwas Provinsi Bali AA Gede Alit Sastrawan.
Masing-masing pembicara melakukan paparan kritis atas kondisi praktek birokrasi di Indonesia mulai penyelenggara pelayanan publik hingga lembaga wakil rakyat atau dewan.
Menurut Rusdianto secara umum kualitas birokrasi di Indonesia masih sangat rendah. Terjadinya Tumpang tindih kewenangan, pelayanan publik yang masih buruk, pola pikir yang rule based, budaya kerja yang belum terbangun adalah contohnya.
"Adanya peraturan perundang-undang yang overlapping dan organisasi yang terlalu gemuk dan seterusnya adalah kondisi belum idealnya birokrasi kita," ujarnya.
Masalah lain dihadapi seperti banyaknya aparat birokrasi atau PNS yang ditempatkan tetapi tidak memiliki kompetensi yang jelas di bidangnya. "Saat ini, ada ribuan pegawai tidak secara merata tersebar di seluruh Indonesia," ujarnya.
Kementerian PANRB terus mendorong pembenahan birokrasi secara mikro maupun makro yang pada intinya mereformasi birokrasi agar penyelenggaraan pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.
Hal sama disampaikan Pasek suardika yang memandang penting diciptakannya pemerintahan yang terbuka dan berbasiskan IT. Bagaimana SDM aparatur negara dihasilkan harus betrkompeten dan kompetitif, sert pemerintahan yang partisipatif dan melayani publik.
Di DPR sendiri diakui Pasek persepsi masyarakat yang terbentuk masih melihat buruknya kinerja lembaga dewan. Dari sisi kualitas, DPR menjadi terkesan tukang stempel.
"Sekarang pembahasan satu pasal saja, rumitnya bukan main untuk mendapat pengesahan sebagai produk hukum," imbuh politisi Partai Demokrat ini.
Dia menyebutkan sebagai gambaran, bagaimana wakil rakyat harus membahas penyusunan dan kebijakan anggaran yang jumlahnya mencapai Rp60 trilun lebih tentunya bukan pekerjaan mudah.
Tidak mungkin, DPR akan bisa meksimal dan detil mengetahui penggunaan anggaran dalam jumlah besar itu apalagi hanya berdasar rapat yang hanya beberapa hari atau jam saja.
"Di sinilah titik rawannya dan dimanfaatkan oleh calo-calo anggaran. Sekarang celah pelayanan birokrasi banyak dimanfaatkan sebagai kapital," ucapnya.
Sementara dalam pandangan Wayan Sudirta dari DPD RI buruknya birokrasi bisa dilihat dari kinerja dan pelayanan publik.
Predikat Kinerja dan pelayanan publik hasilnya tidak memuaskan sehinga cenderung korupsi dan merugikan masyarakat. Melansir data terakhir Juli 2013, ada 298 kepala daerah di Indonesia dari 524 total kepala daerah di Indonesia yang terjerat korupsi.
Mereka terlibat korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung dan diperiksa sebagai saksi, tersangka, terdakwa hingga terpidana.
Ini menunjukkan kualitas birokrasi sangat lemah. Angka ini baru level kepala daerah, belum lagi pejabat eselon, kepala dinas, dan jajarannya. Hal ini menunjukkan. "Saya kira kualitas birokrasi di Indonesia masih jauh lebih rendah bila dibanding negara-negara berkembang lainnya di dunia," tutupnya.
(lal)