Jabatan presiden hanya untuk orang Jawa
A
A
A
Sindonews.com - Berdasarkan sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonesia, jabatan Presiden Indonesia hanya untuk orang Jawa. Hal itu diungkapkan pengamat politik Arbi Sanit.
Menurutnya, berdasarkan jumlah populasi, orang Jawa lebih banyak jika dibandingkan dengan orang di luar Pulau Jawa.
"Selain itu, orang Jawa lebih percaya sukunya untuk menjadi pemimpin," kata Arbi kepada Sindonews, Rabu (28/8/2013).
Dosen Universitas Indonesia ini menilai, mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla (JK), Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa jangan berharap meraih kemenangan menjadi presiden dalam Pemilihan Presiden 2014 mendatang.
"JK, Ical dan Hatta nasibnya akan sama, tidak akan menjadi orang nomor satu di Indonesia," ungkapnya.
Di usia yang ke-68 tahun, lanjutnya, Indonesia masih belum bisa terlepas dari suku dan agama. "Sukuisme dan agama lebih kental saat ini, jika dibandingkan saat perjuangan dan kemerdekaan," ungkapnya.
Solusinya, kata Arbi, rakyat harus diberikan penyadaran kelas ekonomi. Artinya, primodial akan hilang dengan sendiri, jika tercipta status sosial. "Namun 100 tahun belum tentu bisa menghilangkan primodial," katanya.
Dia menambahkan, kendati demikian, perbedaan ini tidak boleh dijadikan pemicu untuk membelah persatuan dan kesatuan bangsa. "Tetap saling menghargai dan menghormati, harus tetap terjalin," imbuhnya. (stb)
Menurutnya, berdasarkan jumlah populasi, orang Jawa lebih banyak jika dibandingkan dengan orang di luar Pulau Jawa.
"Selain itu, orang Jawa lebih percaya sukunya untuk menjadi pemimpin," kata Arbi kepada Sindonews, Rabu (28/8/2013).
Dosen Universitas Indonesia ini menilai, mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla (JK), Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa jangan berharap meraih kemenangan menjadi presiden dalam Pemilihan Presiden 2014 mendatang.
"JK, Ical dan Hatta nasibnya akan sama, tidak akan menjadi orang nomor satu di Indonesia," ungkapnya.
Di usia yang ke-68 tahun, lanjutnya, Indonesia masih belum bisa terlepas dari suku dan agama. "Sukuisme dan agama lebih kental saat ini, jika dibandingkan saat perjuangan dan kemerdekaan," ungkapnya.
Solusinya, kata Arbi, rakyat harus diberikan penyadaran kelas ekonomi. Artinya, primodial akan hilang dengan sendiri, jika tercipta status sosial. "Namun 100 tahun belum tentu bisa menghilangkan primodial," katanya.
Dia menambahkan, kendati demikian, perbedaan ini tidak boleh dijadikan pemicu untuk membelah persatuan dan kesatuan bangsa. "Tetap saling menghargai dan menghormati, harus tetap terjalin," imbuhnya. (stb)
(hyk)