Dana kampanye parpol dipertanyakan
A
A
A
Sindonews.com - Besarnya biaya politik dalam pemilihan umum (pemilu), membuat masyarakat harus mewaspadai perburuan rente atau uang oleh para aktor politik, pasalnya biaya politik kian meningkat.
Pengamat psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kewaspadaan ini tidaklah lepas dari budaya politik Indonesia yang belum memiliki budaya menyumbang dari para konstituen.
Menurutnya, saat ini sedikit sekali kontituen yang memberikan sumbangan terhadap partai politik (parpol). Padahal jumlah biaya yang dibutuhkan cukup besar. Sehingga tentunya menimbulkan pertanyaan dari mana dan bagaimana pendanaan para aktor politik diperoleh.
"Kalau kita kebalik. Bukan disumbang tetapi ada juga malah bagi-bagi kaos," kata Hamdi dalam Dialog Empat Pilar yang bertema Pengamalan Nilai-Nilai 4 Pilar dalam Meredam Berbagai Konflik di Tubuh NKRI di Gedung MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (26/8/2013).
Dia mengatakan, dalam teorinya, parpol merupakan milik publik. Seharusnya pembiayaannya pun seperti negara yang saat ini juga berasal dari pajak rakyat. Namun demikian, hal tersebut tentunya digunakan untuk publik juga nantinya.
"Negara juga dari publik ke publik. Parpol juga harus begitu. Walau sekarang parpol ada oligarki yakni partai merasa dimiliki oleh seseorang. Padahal teorinya parpol itu tidak ada milik individu," ucapnya.
Terkait dengan kerawanan konflik, Hamdi menilai jika menengok pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasalnya dalam pileg maupun pilpres tidak terlalu membara. "Di pilkada (Pemilihan Kepala Daera) ada, tetapi kausitik. Dua periode relatif aman," katanya.
Dia mengatakan konflik politik memang berpotensi terjadi dari masa pencalonan hingga penentapan hasil. Jika melihat masa pencalonan, konflik akan terjadi dalam internal partai. Kemudian terkait ketegangan masa kampanye yang melibatkan masyarakat, Hamdi menilai masyarakat sudah cukup dewasa.
"Hari pencoblosan dan pasca pemilihan. Semua rangkaian dari pencalonan hingga pasca itu akan terjadi konflik jika KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) tidak profesional," katanya.
Pengamat psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kewaspadaan ini tidaklah lepas dari budaya politik Indonesia yang belum memiliki budaya menyumbang dari para konstituen.
Menurutnya, saat ini sedikit sekali kontituen yang memberikan sumbangan terhadap partai politik (parpol). Padahal jumlah biaya yang dibutuhkan cukup besar. Sehingga tentunya menimbulkan pertanyaan dari mana dan bagaimana pendanaan para aktor politik diperoleh.
"Kalau kita kebalik. Bukan disumbang tetapi ada juga malah bagi-bagi kaos," kata Hamdi dalam Dialog Empat Pilar yang bertema Pengamalan Nilai-Nilai 4 Pilar dalam Meredam Berbagai Konflik di Tubuh NKRI di Gedung MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (26/8/2013).
Dia mengatakan, dalam teorinya, parpol merupakan milik publik. Seharusnya pembiayaannya pun seperti negara yang saat ini juga berasal dari pajak rakyat. Namun demikian, hal tersebut tentunya digunakan untuk publik juga nantinya.
"Negara juga dari publik ke publik. Parpol juga harus begitu. Walau sekarang parpol ada oligarki yakni partai merasa dimiliki oleh seseorang. Padahal teorinya parpol itu tidak ada milik individu," ucapnya.
Terkait dengan kerawanan konflik, Hamdi menilai jika menengok pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasalnya dalam pileg maupun pilpres tidak terlalu membara. "Di pilkada (Pemilihan Kepala Daera) ada, tetapi kausitik. Dua periode relatif aman," katanya.
Dia mengatakan konflik politik memang berpotensi terjadi dari masa pencalonan hingga penentapan hasil. Jika melihat masa pencalonan, konflik akan terjadi dalam internal partai. Kemudian terkait ketegangan masa kampanye yang melibatkan masyarakat, Hamdi menilai masyarakat sudah cukup dewasa.
"Hari pencoblosan dan pasca pemilihan. Semua rangkaian dari pencalonan hingga pasca itu akan terjadi konflik jika KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) tidak profesional," katanya.
(maf)