Lagi-lagi, kerusuhan lapas

Rabu, 21 Agustus 2013 - 09:23 WIB
Lagi-lagi, kerusuhan...
Lagi-lagi, kerusuhan lapas
A A A
MIRIS. Itulah perasaan saya melihat tayangan televisi tentang kerusuhan dan kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Labuhan Ruku, Minggu (18/8) malam.

Beritanya simpang siur. Kondisi lapas belum kondusif. Pasukan TNI dan Polri berada di lokasi, tetapi belum berhasil masuk lapas. Plk Kepala Lapas Labuhan Ruku belum dapat memastikan penyebab bentrokan. Diduga, karena dipicu bentrokan sipir dengan narapidana (napi). Bentrok membuat seorang sipir dipukul napi. Dikabarkan, 25 sampai 30 napi melarikan diri dengan cara melompati pagar belakang.

Tentu, tidak bijak saling menyalahkan atas peristiwa mengenaskan itu. Siapa pun tidak ingin menjadi penghuni lapas. Ketika seseorang berbuat jahat dan tertangkap penegak hukum kemudian diproses melalui peradilan dan akhirnya divonis masuk penjara, sebenarnya kenestapaannya merupakan buah dan konsekuensi perilakunya sendiri. Tak sepantasnya penjahat minta diringankan, apalagi dibebaskan dari hukuman. Lapas menjadi sebaik-baiknya tempat bagi penjahat.

Di situlah proses perenungan sampai berpuncak pada pertobatan diharapkan dilakukan para penjahat sehingga usai menjalani hukuman dapat kembali ke masyarakat sebagai orang “bersih”. Adalah tanggung jawab negara untuk melakukan pembinaan terhadap terpidana melalui perwujudan suasana kondusif di lapas agar proses kontemplasi berjalan sempurna. Lapas mestinya menjadi sarana proporsional bagi penjahat untuk menyucikan noda dan dosanya.

Sudah tentu, bukan dengan cara pemberian fasilitas mewah, berkecukupan, bak hotel berbintang. Tetapi, bukan pula dengan penyiksaan lahirbatin di luar batas perikemanusiaan. Proporsionalitas pemidanaan secara kualitatif penting dirumuskan kembali dan disosialisasikan agar penjahat, petugas, maupun masyarakat legawa menerima fungsi lapas tanpa bias kepentingan masing-masing.

Permasalahan overcapacity merupakan salah satu persoalan rumit bagi siapa pun penanggung jawab dan pengelola lapas. Ibarat botol, gesekan satu botol dengan botol lain dipastikan mengakibatkan benturan keras sehingga kemungkinan menjadi pecah. Gesekan antara sesama narapidana ataupun antarnarapidana dengan sipir pastilah lebih membahayakan bagi jiwa masing-masing, termasuk kemungkinan dibakarnya bangunan lapas. Jumlah penjahat di negeri ini terus meningkat.

Tak pernah terdengar ada penjahat jera. Lapas pun menjadi penuh sesak ketika penjahat baru dan kambuhan terus antre sebagai penghuni hotel prodeo itu. Haruskah pertumbuhan penjahat dan angka kejahatan diimbangi secara paralel dengan penambahan ruang tahanan? Hingga saat ini belum jelas kebijakan komprehensif macam apa yang telah dipikirkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah membeludaknya penghuni lapas itu.

Berbagai pernyataan wakil menteri hukum dan HAM mengesankan bahwa pemerintah belum menemukan formula perubahan konsep pemidanaan yang tepat. Dikhawatirkan, pemerintah kalah berpacu dengan kerusuhan lapas yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Sungguh ngeri bila suatu saat kerusuhan beberapa lapas terjadi serentak, kemudian napi kabur tanpa dapat dikendalikan petugas. Naudzubillah.

Tak salah memaknakan fenomena kerusuhan lapas akhir-akhir ini sebagai cermin bahwa negeri ini sedang berada dalam pusaran zaman Kalabendu. Inilah suatu masa yang disebut Francis Fukuyama (1999) sebagai The Great Disruption yaitu terjadi guncangan keras pada budaya dan peradaban, suatu kehidupan bersama yang hampa social capital, hampa kepercayaan (trust) antara sesama manusia, dan justru semua tergerak untuk saling menihilkan.

Satu hal yang tragis, pada saat yang sama kita rentan tersungkur karena hampir tidak memiliki pegangan. Karena itulah, angka kejahatan dan penjahat naik tajam. Hemat saya, The Great Disruption terjadi terkait runtuhnya beberapa lembaga besar yang pengaruhnya kian menurun. Pertama, institusi keluarga. Kemesraan antarsesama anggota keluarga sulit dikelola karena sibuk dengan urusan masing-masing.

Perceraian dianggap sebagai penyelesaian terbaik ketika terjadi cekcok antara suami-istri. Dapat dibayangkan, ketika bahtera rumah tangga hancur, ke manakah anak-anak berlabuh? Menjadi penjahat atau lari ke narkoba sebagai sensasinya. Kedua, lembaga pendidikan. Wibawa institusi maupun pendidik menurun drastis karena orientasi pendidikan bukan mencetak manusia cerdas, berbudi luhur, dan memiliki moralitas tinggi, melainkan bergeser menjadi ”pasar jual beli ijazah dan gelar”.

Guru besar pun terlibat dugaan korupsi. Ini sangat memprihatinkan. Ketiga, institusi hukum. Sebagai negara hukum, pemahaman atas hukum terlalu sempit. Paham positivisme begitu dominan sehingga hukum negara sebagai produk politik menyingkirkan hukum alam, hukum adat, maupun hukum agama. Koruptor rajin mempelajari dan berkonsultasi tentang hukum positif kepada pengacara bukan untuk taat terhadap hukum, melainkan untuk menyiasati agar kejahatannya lolos dari jeratan hukum.

Sembari meneruskan tulisan ini, terdengar wamen hukum dan HAM diwawancarai oleh reporter televisi. Salah satu pernyataannya, aparat penegak hukum harus bersikap tegas dan menjalankan fungsinya sesuai hukum berlaku. Dalam hati, saya bertanya, hukum yang mana? Saya yakinalammemiliki hukum lengkap dan lebih bagus daripada hukum negara. Bila ingin angka kejahatan menurun dan kerusuhan lapas teratasi, ikutilah hukum alam. Misal, belajarlah dari air. Dengan kelembutannya, air pantang menyerah, terus mengalir dari gunung sampai ke laut.

Siapa pun mampu menjaga kebersihan batin, tak perlu larut menjadi penjahat, dan tak perlu gagal mengatasi kerusuhan lapas. Walau jalannya terjal, berkelok, laluilah dengan ketekunan, terus mengalir, cari formula pemidanaan baru yang alamiah, sesuai kodrat manusia yang potensial menjadi abdillah maupun khalifatullah. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0663 seconds (0.1#10.140)