Pernyataan Ketua MK soal putusan DKPP dikritik

Senin, 12 Agustus 2013 - 11:15 WIB
Pernyataan Ketua MK soal putusan DKPP dikritik
Pernyataan Ketua MK soal putusan DKPP dikritik
A A A
Sindonews.com - Pengamat politik dari Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, mengkritik pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak cepat menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang melanggar kode etik.

Menurut Ray, hal itu merupakan anjuran yang dapat memundurkan pencapaian penegakan integritas penyelenggara pemilihan umum (pemilu). "Pernyataan itu seperti memberi kembali peluang bagi penyelenggara pemilu, terus untuk melanggar kode etik. Karena sekalipun kelak diadukan ke DKPP ada kemungkinan hanya mendapat sanksi tertulis," kata Ray lewat rilisnya kepada Sindonews, Senin (12/8/2013).

Dia menjelaskan, sanksi yang faktanya tak ampuh untuk membuat penyelenggara pemilu lebih berpihak pada pemilu jujur dan adil (jurdil). "Pernyataan itu pula seolah menyiratkan bahwa berbagai pelanggaran kode etik bahkan ancaman pelaksanaan pemilu atau pilkada yang tidak jurdil tidak lebih penting dari pelaksanaan itu sendiri," ungkapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, artinya lebih baik menyelamatkan anggota KPUD yang melanggar dan membuat pemilu atau pilkada jadi cacat, dari pada memberhentikan mereka.

"Karena ancaman pemilu atau pilkada yang macet. Cara berpikir sepertt inilah selama ini yang membuat banyak anggota penyelenggara pemilu tidak peduli pada asas pelaksanaan pemilu atau pilkada yang jurdil, bersih dan partisipasif," jelasnya.

Pasalnya, berbagai pelanggaran dilakukan. Umumnya tidak bersikap independen, tidak jujur dan adil dalam mengelola tahapan pemilu atau pilkada. Penyakit ini hampir merata di seluruh Indonesia.

"Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengaduan pelanggaran penyelenggara pemilu ke DKPP yang mencapai 200 kasus. Sementara hampir 80 persen hasil pilkada disengketakan ke MK," ucapnya.

Menurutnya, data ini menunjukan luasnya praktik perusakan pemilu atau pilkada yang dilakukan justru oleh penyelenggaranya sendiri. Ancaman bagi pemilu yang demokratis tidak berasal dari peserta pemilu atau masyarakat, tapi dari dalam, dari penyelenggara pemilu.

"Situasi buruknya pengelolaan pemilu yang demokratis sebenarnya telah mulai dirasakan sejak Pemilu 2004. Berlanjut pada Pemilu 2009 sampai pada pilkada tahun 2013. Untungnya semua berbagai macam praktik anti pemilu demokratis itu mulai terungkap dan terbukti di sidang DKPP," tuturnya.

"Dengan begitu, sejatinya kita harus terus mendorong DKPP membersihkan penyelenggara pemilu atau pilkada yang melanggar kode etik guna menyelematkn pemilu yang demokratis di masa depan," ujarnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6846 seconds (0.1#10.140)
pixels