KPK dituntut respon bola panas Nazaruddin secara profesional
A
A
A
Sindonews.com - Pengakuan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin terhadap 12 proyek yang dikorup bersama oleh para politikus DPR, pejabat kementerian, dan oknum menteri terus mengundang kecurigaan. Unsur politis dinilai menjadi motif kuat Nazaruddin mengungkap kasus-kasus tersebut.
Pengamat Politik dari Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian menyangsikan apakah pengakuan Nazaruddin ingin membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasari ketulusan. Ia malah khawatir motif politis lebih kuat ketimbang keinginan yang besar mengungkap kebenaran.
"Tentu saja bakal jadi berita menghebohkan. Tetapi tetap harus dilakukan cek dan ricek secara mendalam, karena reputasi Nazaruddin sendiri yang buruk," ujarnya kepada Sindonews, Senin (5/8/2013) malam.
Karena itu, lanjutnya, KPK harus berhati-hati dalam menindaklanjuti berbagai kasus yang dilaporkan terpidana kasus Wisma Atlet itu. Agar KPK tidak terjebak pada tudingan terkungkung pada pusaran permainan politik kelompok tertentu.
"Inilah tugasnya KPK, supaya bisa merespons lemparan bola panas ini secara profesional. Jangan ada politisasi," tegasnya.
Seperti diberitakan, Nazaruddin mengklaim bahwa semua bukti yang dimiliki telah disampaikan ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, dia tidak canggung mengaku terlibat dalam beberapa kasus itu.
"Saya laporkan tentu saya bukan sekedar melaporkan. Semua bukti-buktinya sudah saya kasih ke KPK. Apa yang saya laporkan itu saya alami dan saya jalani," kata Nazar di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 2 Agustus 2013.
Mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat ini sudah meringkuk di Lapas Sukamiskin. Dia menegaskan bukti-bukti kasus yang diketahui sudah diserahkan ke penyidik.
"Oh saya kasih berdasarkan bukti, semua sudah saya serahkan ke KPK, semua berkas-berkasnya sudah saya kasih," pungkasnya.
Sebelumnya, Nazaruddin melempar bola panas dan menuding sejumlah anggota DPR terlibat kasus korupsi di sejumlah proyek. Proyek yang diungkap yakni, pengadaan e-KTP, pengadaan baju hansip, Merpati, pembangunan gedung pajak, 60 proyek fiktif nilainya hampir Rp2 triliun, pembangunan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) senilai Rp300 miliar, dan Diklat MK senilai Rp200 miliar.
Pengamat Politik dari Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian menyangsikan apakah pengakuan Nazaruddin ingin membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasari ketulusan. Ia malah khawatir motif politis lebih kuat ketimbang keinginan yang besar mengungkap kebenaran.
"Tentu saja bakal jadi berita menghebohkan. Tetapi tetap harus dilakukan cek dan ricek secara mendalam, karena reputasi Nazaruddin sendiri yang buruk," ujarnya kepada Sindonews, Senin (5/8/2013) malam.
Karena itu, lanjutnya, KPK harus berhati-hati dalam menindaklanjuti berbagai kasus yang dilaporkan terpidana kasus Wisma Atlet itu. Agar KPK tidak terjebak pada tudingan terkungkung pada pusaran permainan politik kelompok tertentu.
"Inilah tugasnya KPK, supaya bisa merespons lemparan bola panas ini secara profesional. Jangan ada politisasi," tegasnya.
Seperti diberitakan, Nazaruddin mengklaim bahwa semua bukti yang dimiliki telah disampaikan ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, dia tidak canggung mengaku terlibat dalam beberapa kasus itu.
"Saya laporkan tentu saya bukan sekedar melaporkan. Semua bukti-buktinya sudah saya kasih ke KPK. Apa yang saya laporkan itu saya alami dan saya jalani," kata Nazar di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 2 Agustus 2013.
Mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat ini sudah meringkuk di Lapas Sukamiskin. Dia menegaskan bukti-bukti kasus yang diketahui sudah diserahkan ke penyidik.
"Oh saya kasih berdasarkan bukti, semua sudah saya serahkan ke KPK, semua berkas-berkasnya sudah saya kasih," pungkasnya.
Sebelumnya, Nazaruddin melempar bola panas dan menuding sejumlah anggota DPR terlibat kasus korupsi di sejumlah proyek. Proyek yang diungkap yakni, pengadaan e-KTP, pengadaan baju hansip, Merpati, pembangunan gedung pajak, 60 proyek fiktif nilainya hampir Rp2 triliun, pembangunan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) senilai Rp300 miliar, dan Diklat MK senilai Rp200 miliar.
(kri)