Desentralisasi korupsi ancam otonomi daerah
A
A
A
Sindonews.com - Otonomi daerah sebagai buah reformasi 1998 mengamanahkan pemerataan pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia sampai pelosok desa. 17 tahun bergulir, otonomi daerah menyisakan banyak masalah dalam proses pengejawantahannya. Satu di antaranya, desentralisasi korupsi yang semakin mengancam.
Data yang diperoleh SINDO dari Humas KPK tertuang, kurun 10 tahun terakhir atau 2004-2013 (Juli) ada 42 kepala daerah yang dijerat KPK. Gubernur 8 orang, wali kota sembilan orang, wakil wali kota satu orang, bupati 23 orang, dan wakil bupati satu orang.
Sebarannya dari Aceh hingga Papua. Dengan 36 orang berstatus inkracht (berkekuatan hukum tetap), satu kasasi, empat tersangka, dan satu dihentikan karena kesehatan terdakwa tidak memungkinan.
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas menyatakan, data itu tentu membuat mata kita semakin terbuka. Desentralisasi yang merupakan amanah UU No 22 /1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu membuahkan korupsi yang dulu hanya tersentral di pemerintah pusat.
Salah satu penyebabnya ialah efek dari perubahan amandemen UUD yang struktur pemerintahan daerah dalam menjalankan desentralisasi itu tidak diimbangi dengan infrastruktur bangunan-bangunan moral dan budaya lokal yang siap dalam mengimbangi sebaran kekusaaan.
"Realitas sekarang ini terjadi desentralisasi (korupsi), masifikasi korupsi. Akibatnya terjadi kefakiman (kekacauan) budaya. Budaya itu termasuk budaya lokal dan moral, untuk mengimbangi kekuasaan. Nah ketika korupsi itu masif dari pusat ke daerah-daerah, tidak ada pembangunan yang utuh dan menyeluruh," kata Busyro kepada SINDO di Gedung KPK, Jakarta, akhir pekan lalu.
Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) ini menilai, Otda termasuk otonomi khusus (Otsus) belum tentu menjamin arus dan penyebaran korupsi akan berhenti. Analisis kedua, merujuk pada suksesi kepala-kepala daerah yang dilakukan lewat partai politik (parpol). Apalagi kini parpol semakin kehilangan jati diri sebagai instrumen demokrasi. Mengalami perubahan menjadi industri politik dan industri kuasa. Yang acap kali mengandalkan politik tranaksional.
“Itu memperparah korupsi politik. Itu penyebab kedua. (Sementara) kebutuhan rakyat untuk memperoleh asupan-asupan pendidikan politik mengalami pelemahan,” bebernya.
Selain kepala daerah, data 2004-2013 itu juga memuat 17 anggota DPRD (kota/kabupaten/provinsi), 5 sekretaris daerah, dan 27 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda yang sebagian besar setingkat kepala seksi (kasi), kepala dinas (kadin), kepala bagian (kabag), dan kepala bidang (kabid).
Busyro menekankan, laku korup anggota DPRD, sekda, dan PNS daerah ini semakin memperparah korupsi politik di daerah. Apalagi korupsi terutama yang melibatkan anggota partai dilakukan secara sistemik, modus yang semakin canggih dan kompleks. Akibatnya, masyarakat kita mengalami proses pelemahan sistemik dari sudut kebutuhan, kebutuhan dasar rakyat.
"Ya, jadi itu (korupsi yang dilakukan DPRD, sekda, dan PNS daerah) justru mempekuat analisis saya," jelasnya.
Data KPK juga menegaskan, bentuk/jenis korupsi yang dilakukan para pejabat daerah itu sebagian besar yakni, suap-menyuap, penyalagunaan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara, penyalahunaan/penyimpangan anggaran, dan penyalahgunaan perizinan. Suap menyuap dan penyalagunaan kewenangan menempati posisi teratas tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat daerah.
Sementara objek korupsinya setelah diolah, SINDO membaginya menjadi empat hal. Pertama, pengadaan barang dan jasa di antaranya terkait pesawat helikopter, pembangunan bandara, mobil pemadam kebakaran, pembangunan pasar sentral, terminal induk, rumah dinas, renovasi untuk kantor, dermaga, dan pembangunan perkebunan. Kedua, anggaran yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Belanja Rutin Pos Kepala Daerah (ABRPKD), bantuan sosial, kas daerah, bencana alam, otonomi khusus, dan alokasi Dana Bantuan Daerah (DBD).
Ketiga, penerbitan izin mencakup pemanfaatan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUP HHK-HT), alih fungsi hutan lindung, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Keempat, objek lainnya seperti perolehan Adipura, penerbitan laporan keuangan Pemda, dan pengurusan perkara yang disidang di pengadilan.
Busyro menuturkan, jika melihat modus korupsinya saat ini paling banyak adalah suap menyuap. Prosentasenya mengalahkan dugaan korupsi yang sering kali dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa. Korupsi pengadaan dengan jalan menyalahgunakan kewenangan atau mark up jelas sekali digusur dengan suap menyuap. Angkanya sudah sering dikemukakan KPK.
“Nah, itu karena partai politik yang sebagai alat demokrasi berubah menjadi industri politik, industri kekuasaan. Akibatnya kepala-kepala daerah yang terpilih atau pejabat daerah yang diangkat itu kepala daerah atau pejabat daerah yang berjalan dari mesin industri tadi,” bebernya.
Melihat masifitas korupsi di daerah itu, jelas membutuhkan perbaikan yang menyeluruh. Korupsi di daerah harus dicegah sedini mungkin. Dalam pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD harus tidak boleh lagi ada politik uang. Karena nantinya saat terpilih para pejabat itu berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan nya dengan cara-cara mengambil dari anggaran milik daerah. Padahal anggaran itu harusnya dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Siapapun boleh naik tapi korupsi harus turun.
“Pengembalian uang itu bisa juga dengan menyalahgunakan kewenangannya dengan menjual perizinan di daerah. Berikutnya, anggaran daerah harus akuntable dan transparan, sampaikan ke rakyat,” imbuh Busyro.
Terkait korupsi dana APBD dalam satu kesempatan, Busyro menjelaskan, korupsi terhadap APBD seperti juga APBN terjadi karena adanya kerusakan moral oknum pejabat dengan melakukan mark up anggaran. Penyakit ini bahkan sampai pada taraf akut. Sebenarnya penyakit ini bisa dicegah bila sebelum penyusunan dan digelontorkan dilakukan tinjauan atau menerima masukan secara akademis metodologis dengan melibatkan kampus di daerah masing-masing untuk mencari solusinya.
Karenanya, untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi anggaran, pemerintah baik pusat maupun daerah, memberi kemudahan bagi rakyat untuk mengetahui alokasi APBN/D. Hal ini juga untuk menjaga proses pengawasan pengeluaran anggaran.
"Selama ini APBN/D tidak ada yang ditempel di kampus, masjid, gereja, dan sebagainya. Harusnya ditempel supaya rakyat tahu berapa uang mereka yang akan dipakai dan sudah dipakai,” tandasnya.
Dalam penanganan kasus-kasus korupsi di tingkat daerah, KPK selalu melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang ada di berbagai daerah. Temasuk supervisi.
Selain itu bersama dua penegak hukum itu KPK memberikan pelatihan bersama dan sosialisasi pencegahan korupsi yang diikuti aparatur daerah. Bahkan saat ini koordinasi dan supervisi (korsup) KPK sudah mencakup 33 provinsi serta 33 Kabupaten dan kota dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Data yang diperoleh SINDO dari Humas KPK tertuang, kurun 10 tahun terakhir atau 2004-2013 (Juli) ada 42 kepala daerah yang dijerat KPK. Gubernur 8 orang, wali kota sembilan orang, wakil wali kota satu orang, bupati 23 orang, dan wakil bupati satu orang.
Sebarannya dari Aceh hingga Papua. Dengan 36 orang berstatus inkracht (berkekuatan hukum tetap), satu kasasi, empat tersangka, dan satu dihentikan karena kesehatan terdakwa tidak memungkinan.
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas menyatakan, data itu tentu membuat mata kita semakin terbuka. Desentralisasi yang merupakan amanah UU No 22 /1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah itu membuahkan korupsi yang dulu hanya tersentral di pemerintah pusat.
Salah satu penyebabnya ialah efek dari perubahan amandemen UUD yang struktur pemerintahan daerah dalam menjalankan desentralisasi itu tidak diimbangi dengan infrastruktur bangunan-bangunan moral dan budaya lokal yang siap dalam mengimbangi sebaran kekusaaan.
"Realitas sekarang ini terjadi desentralisasi (korupsi), masifikasi korupsi. Akibatnya terjadi kefakiman (kekacauan) budaya. Budaya itu termasuk budaya lokal dan moral, untuk mengimbangi kekuasaan. Nah ketika korupsi itu masif dari pusat ke daerah-daerah, tidak ada pembangunan yang utuh dan menyeluruh," kata Busyro kepada SINDO di Gedung KPK, Jakarta, akhir pekan lalu.
Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) ini menilai, Otda termasuk otonomi khusus (Otsus) belum tentu menjamin arus dan penyebaran korupsi akan berhenti. Analisis kedua, merujuk pada suksesi kepala-kepala daerah yang dilakukan lewat partai politik (parpol). Apalagi kini parpol semakin kehilangan jati diri sebagai instrumen demokrasi. Mengalami perubahan menjadi industri politik dan industri kuasa. Yang acap kali mengandalkan politik tranaksional.
“Itu memperparah korupsi politik. Itu penyebab kedua. (Sementara) kebutuhan rakyat untuk memperoleh asupan-asupan pendidikan politik mengalami pelemahan,” bebernya.
Selain kepala daerah, data 2004-2013 itu juga memuat 17 anggota DPRD (kota/kabupaten/provinsi), 5 sekretaris daerah, dan 27 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda yang sebagian besar setingkat kepala seksi (kasi), kepala dinas (kadin), kepala bagian (kabag), dan kepala bidang (kabid).
Busyro menekankan, laku korup anggota DPRD, sekda, dan PNS daerah ini semakin memperparah korupsi politik di daerah. Apalagi korupsi terutama yang melibatkan anggota partai dilakukan secara sistemik, modus yang semakin canggih dan kompleks. Akibatnya, masyarakat kita mengalami proses pelemahan sistemik dari sudut kebutuhan, kebutuhan dasar rakyat.
"Ya, jadi itu (korupsi yang dilakukan DPRD, sekda, dan PNS daerah) justru mempekuat analisis saya," jelasnya.
Data KPK juga menegaskan, bentuk/jenis korupsi yang dilakukan para pejabat daerah itu sebagian besar yakni, suap-menyuap, penyalagunaan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara, penyalahunaan/penyimpangan anggaran, dan penyalahgunaan perizinan. Suap menyuap dan penyalagunaan kewenangan menempati posisi teratas tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat daerah.
Sementara objek korupsinya setelah diolah, SINDO membaginya menjadi empat hal. Pertama, pengadaan barang dan jasa di antaranya terkait pesawat helikopter, pembangunan bandara, mobil pemadam kebakaran, pembangunan pasar sentral, terminal induk, rumah dinas, renovasi untuk kantor, dermaga, dan pembangunan perkebunan. Kedua, anggaran yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Belanja Rutin Pos Kepala Daerah (ABRPKD), bantuan sosial, kas daerah, bencana alam, otonomi khusus, dan alokasi Dana Bantuan Daerah (DBD).
Ketiga, penerbitan izin mencakup pemanfaatan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUP HHK-HT), alih fungsi hutan lindung, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Keempat, objek lainnya seperti perolehan Adipura, penerbitan laporan keuangan Pemda, dan pengurusan perkara yang disidang di pengadilan.
Busyro menuturkan, jika melihat modus korupsinya saat ini paling banyak adalah suap menyuap. Prosentasenya mengalahkan dugaan korupsi yang sering kali dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa. Korupsi pengadaan dengan jalan menyalahgunakan kewenangan atau mark up jelas sekali digusur dengan suap menyuap. Angkanya sudah sering dikemukakan KPK.
“Nah, itu karena partai politik yang sebagai alat demokrasi berubah menjadi industri politik, industri kekuasaan. Akibatnya kepala-kepala daerah yang terpilih atau pejabat daerah yang diangkat itu kepala daerah atau pejabat daerah yang berjalan dari mesin industri tadi,” bebernya.
Melihat masifitas korupsi di daerah itu, jelas membutuhkan perbaikan yang menyeluruh. Korupsi di daerah harus dicegah sedini mungkin. Dalam pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD harus tidak boleh lagi ada politik uang. Karena nantinya saat terpilih para pejabat itu berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan nya dengan cara-cara mengambil dari anggaran milik daerah. Padahal anggaran itu harusnya dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Siapapun boleh naik tapi korupsi harus turun.
“Pengembalian uang itu bisa juga dengan menyalahgunakan kewenangannya dengan menjual perizinan di daerah. Berikutnya, anggaran daerah harus akuntable dan transparan, sampaikan ke rakyat,” imbuh Busyro.
Terkait korupsi dana APBD dalam satu kesempatan, Busyro menjelaskan, korupsi terhadap APBD seperti juga APBN terjadi karena adanya kerusakan moral oknum pejabat dengan melakukan mark up anggaran. Penyakit ini bahkan sampai pada taraf akut. Sebenarnya penyakit ini bisa dicegah bila sebelum penyusunan dan digelontorkan dilakukan tinjauan atau menerima masukan secara akademis metodologis dengan melibatkan kampus di daerah masing-masing untuk mencari solusinya.
Karenanya, untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi anggaran, pemerintah baik pusat maupun daerah, memberi kemudahan bagi rakyat untuk mengetahui alokasi APBN/D. Hal ini juga untuk menjaga proses pengawasan pengeluaran anggaran.
"Selama ini APBN/D tidak ada yang ditempel di kampus, masjid, gereja, dan sebagainya. Harusnya ditempel supaya rakyat tahu berapa uang mereka yang akan dipakai dan sudah dipakai,” tandasnya.
Dalam penanganan kasus-kasus korupsi di tingkat daerah, KPK selalu melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang ada di berbagai daerah. Temasuk supervisi.
Selain itu bersama dua penegak hukum itu KPK memberikan pelatihan bersama dan sosialisasi pencegahan korupsi yang diikuti aparatur daerah. Bahkan saat ini koordinasi dan supervisi (korsup) KPK sudah mencakup 33 provinsi serta 33 Kabupaten dan kota dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
(lal)