Pengamat: Wakil rakyat kini berubah jadi wakil parpol
A
A
A
Sindonews.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Profesor Asep Warlan Yusuf menyayangkan, tidak adanya upaya DPR mengajukan uji materil kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat dimakzulkan jika ternyata terbukti kebijakannya menaikkan harga BBM bersubsidi menyengsarakan rakyat dengan landasan melanggar Pasal 33 UUD 45.
“Sayangnya meski telah terjadi pelanggaran yang nyata-nyata oleh pemerintah, DPR yang adalah bagian dari negara dan bertugas mengkontrol serta mewakili rakyat telah berubah menjadi wakil parpol. Terlebih dengan adanya koalisi atau Setgab pendukung pemerintahan rasanya sulit mengharapkan DPR mengajukan hal ini ke MK," ujar Asep kepada Sindonews, Jakarta, Selasa (25/6/2013).
Menurutnya, pelanggaran konsitisi pun selalu diarahkan untuk diselesaikan secara politik. Inilah dinilainya dapat merusak seluruh tatanan bernegara.
Ia menilai, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan dasar negara pun tidak dipedulikan lagi. Selama ini penyelesaian secara politik dipandang sama sekali tidak membawa perubahan pada rakyat.
”Padahal ini pelanggaran hukum konstitusi yang penyelesaiannya harusnya di MK. Inilah kelemahan dari sistem yang ada. Hal ini seperti sengaja dilakukan, semua selalu diarahkan ke politik yang tidak membawa manfaat sama sekali buat rakyat."
"Apa pedulinya rakyat apakah satu partai ditendang atau dipertahankan dalam koalisi, apa manfaatnya buat rakyat koalisi itu? Ini kan hanya permainan politik untuk kekuasaan semata, kepentingan rakyat tidak pernah dipikirkan," tegasnya.
Asep menambahkan, pemerintahan SBY selalu mengingatkan partai-partai koalisi akan janjinya untuk setia pada koalisi, tapi pemerintahan ini pula yang selalu melupakan janjinya pada rakyat.
"Inilah salah satu kegagalan besar pemerintahan saat ini yang selalu mengingatkan kepada partner koalisinya untuk ingat janjinya, tapi tidak pernah mengingatkan diri sendiri yang telah berjanji pada rakyat,” pungkasnya.
Padahal, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat dimakzulkan jika ternyata terbukti kebijakannya menaikkan harga BBM bersubsidi menyengsarakan rakyat dengan landasan melanggar Pasal 33 UUD 45.
“Sayangnya meski telah terjadi pelanggaran yang nyata-nyata oleh pemerintah, DPR yang adalah bagian dari negara dan bertugas mengkontrol serta mewakili rakyat telah berubah menjadi wakil parpol. Terlebih dengan adanya koalisi atau Setgab pendukung pemerintahan rasanya sulit mengharapkan DPR mengajukan hal ini ke MK," ujar Asep kepada Sindonews, Jakarta, Selasa (25/6/2013).
Menurutnya, pelanggaran konsitisi pun selalu diarahkan untuk diselesaikan secara politik. Inilah dinilainya dapat merusak seluruh tatanan bernegara.
Ia menilai, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan dasar negara pun tidak dipedulikan lagi. Selama ini penyelesaian secara politik dipandang sama sekali tidak membawa perubahan pada rakyat.
”Padahal ini pelanggaran hukum konstitusi yang penyelesaiannya harusnya di MK. Inilah kelemahan dari sistem yang ada. Hal ini seperti sengaja dilakukan, semua selalu diarahkan ke politik yang tidak membawa manfaat sama sekali buat rakyat."
"Apa pedulinya rakyat apakah satu partai ditendang atau dipertahankan dalam koalisi, apa manfaatnya buat rakyat koalisi itu? Ini kan hanya permainan politik untuk kekuasaan semata, kepentingan rakyat tidak pernah dipikirkan," tegasnya.
Asep menambahkan, pemerintahan SBY selalu mengingatkan partai-partai koalisi akan janjinya untuk setia pada koalisi, tapi pemerintahan ini pula yang selalu melupakan janjinya pada rakyat.
"Inilah salah satu kegagalan besar pemerintahan saat ini yang selalu mengingatkan kepada partner koalisinya untuk ingat janjinya, tapi tidak pernah mengingatkan diri sendiri yang telah berjanji pada rakyat,” pungkasnya.
(kri)