Menag: Protes keberadaan Ahmadiyah sejak tahun 1930
A
A
A
Sindonews.com - Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali membantah, jika keberadaan Ahmadiyah di Indonesia baru dikritisi pada tahun 2000an. Pasalnya, kritikan itu sudah ada tidak lama dari Ahmadiyah muncul di negeri ini.
"Ini keliru ya. Ahmadiyah itu datang ke Indonesia pada tahun 1926. Pada tahun 1930, itu sudah dipermasalahkan," ujar pria yang biasa disapa SDA ini di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Jalan Medan Merdeka Barat No. 3, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2013).
Bahkan, kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, protes keberadaan Ahmadiyah ketika itu sudah banyak dari berbagai Organisasi Islam.
"Larangan-larangan dari organisasi-organisasi Islam sampai dengan Kejaksaan-Kejaksaan tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota itu sudah bermunculan, juga larangan-larangan dari gubernur bupati/wali kota. Jadi, jauh sebelum tahun 2000," terangnya.
Akan tetapi, kata dia, eskalasi terhadap keberadaan Ahmadiyah terus meningkat dari tahun ketahun. Hal itu juga, kata dia, yang membuat pemerintah membentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri.
"Kemudian pemerintah melahirkan SKB 3 menteri ini untuk landasan penyelesaian Ahmadiyah itu. Ahmadiyah punya kewajiban, non Ahmadiyah punya kewajiban. Nah kemudian pemerintah akan melihat bagaimana kedua belah pihak ini melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan SKB 3 menteri," tuturnya.
Maka itu, lanjut SDA, perlunya evaluasi kepatuhan pelaksanaan SKB 3 menteri tersebut. "Nanti setelah ada evaluasi, lalu pemerintah akan mengambil sikap tegas atas posisi hukum Ahmadiyah di Indonesia," tandasnya.
"Ini keliru ya. Ahmadiyah itu datang ke Indonesia pada tahun 1926. Pada tahun 1930, itu sudah dipermasalahkan," ujar pria yang biasa disapa SDA ini di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Jalan Medan Merdeka Barat No. 3, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2013).
Bahkan, kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, protes keberadaan Ahmadiyah ketika itu sudah banyak dari berbagai Organisasi Islam.
"Larangan-larangan dari organisasi-organisasi Islam sampai dengan Kejaksaan-Kejaksaan tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota itu sudah bermunculan, juga larangan-larangan dari gubernur bupati/wali kota. Jadi, jauh sebelum tahun 2000," terangnya.
Akan tetapi, kata dia, eskalasi terhadap keberadaan Ahmadiyah terus meningkat dari tahun ketahun. Hal itu juga, kata dia, yang membuat pemerintah membentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri.
"Kemudian pemerintah melahirkan SKB 3 menteri ini untuk landasan penyelesaian Ahmadiyah itu. Ahmadiyah punya kewajiban, non Ahmadiyah punya kewajiban. Nah kemudian pemerintah akan melihat bagaimana kedua belah pihak ini melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan SKB 3 menteri," tuturnya.
Maka itu, lanjut SDA, perlunya evaluasi kepatuhan pelaksanaan SKB 3 menteri tersebut. "Nanti setelah ada evaluasi, lalu pemerintah akan mengambil sikap tegas atas posisi hukum Ahmadiyah di Indonesia," tandasnya.
(mhd)