Konsumen Indonesia masih buta hak

Selasa, 28 Mei 2013 - 09:29 WIB
Konsumen Indonesia masih buta hak
Konsumen Indonesia masih buta hak
A A A
Konsumen adalah raja, demikian pameo klasik yang sering kita dengar. Tentu saja raja dalam artian untuk mendapatkan layanan terbaik agar membeli produk yang ditawarkan para produsen atau penjual.

Sayangnya, hak-hak perlindungan konsumen sebagai raja masih terabaikan di negeri ini. Setidaknya mengacu pada data pengaduan konsumen lewat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang masih minim tembus di meja hijau alias pengadilan.

Mengapa? Selain tingkat kesadaran konsumen atas hak-haknya yang masih rendah, juga dipicu oleh lembaga yang berpihak pada konsumen masih terbatas.

Simak saja, dari sekitar 1.253 kasus pengaduan konsumen yang diterima BPSK dan sebanyak 2.920 pengaduan melalui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, baru sekitar 721 kasus yang mendapat perhatian alias diproses Kemendag. Sedangkan kasus yang lolos ke tingkat pengadilan hanya 15 kasus.

Berdasarkan informasi yang dikeluarkan Kemendag, kasus pengaduan tersebut cukup beragam mulai persoalan yang menyangkut lembaga keuangan perbankan, leasing, kartu kredit, asuransi, hingga kredit pemilikan rumah (KPR) listrik, dan penerbangan.

Sementara itu, data pengaduan konsumen yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didominasi kasus sektor industri keuangan nonbank (IKNB) terdiri atas asuransi dan dana pensiun, diikuti kasus perbankan dan pasar modal.

Sepanjang periode Januari hingga April 2013 tercatat 191 kasus pengaduan kepada lembaga yang baru terbentuk itu. Pengaduan kasus asuransi terkait kebenaran janjijanji yang biasa dilontarkan agen asuransi yang berhubungan kontrak dan klaim bayar. Sedangkan kasus perbankan meliputi soal ATM dan kartu kredit pengaduan ini tetap direspons meski sektor perbankan belum masuk lingkup OJK.

Belakangan ini kasus yang paling mencolok adalah investasi bodong yang meresahkan konsumen. Sedangkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) panen kasus pengaduan kartu kredit menyangkut kesulitan konsumen untuk menutup kartu kredit.

Sebenarnya banyak sekali praktik curang yang merugikan konsumen untuk urusan belanja sehari-hari, mulai dari keakuratan timbangan pedagang hingga persoalan komplain konsumen yang diabaikan.

Kemendag, sebagaimana diakui Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, secara intensif melakukan gerakan perlindungan terhadap konsumen baru sekitar setahun lebih. Proses kasus pengaduan konsumen membutuhkan waktu yang tidak singkat karena terkait dua perlindungan antara konsumen dan produsen.

Dengan begitu, tidak bisa hanya memutuskan sepihak dan sangat ditentukan oleh bukti terkait kasus yang diadukan. Persoalan krusial selain harus cermat memproses setiap pengaduan konsumen adalah terbatasnya ahli hukum konsumen di Indonesia. ”Ahli hukum konsumen masih terbatas, jadi proses hukum tidak bisa dilakukan secepatnya,” ungkap Bayu seusai peresmian call centerperlindungan konsumen kemarin.

Kita harus beri apresiasi kepada Kemendag yang telah menghadirkan call centerperlindungan konsumen 153. Nomor call centeritu disesuaikan Hari Hak Konsumen Sedunia yang dirayakan setiap 15 Maret. Kemendag juga segera menambah unit perwakilan BPSK di daerah. Saat ini dari sekitar 99 unit BPSK sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk sebanyak 240 juta.

Tindakan tak kalah penting adalah bagaimana mengedukasi konsumen untuk menggunakan haknya. Dari catatan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, hanya sekitar 38 persen menyadari bahwa konsumen memiliki hak di antaranya hak terhadap barang yang dibeli harus nyaman dan aman. Berarti 62 persen belum paham tentang hak-hak perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No 8/1999.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3548 seconds (0.1#10.140)